Ilustrasi pembangkit listrik EBT. Foto: Schneider.
Ilustrasi pembangkit listrik EBT. Foto: Schneider.

Power Wheeling Berisiko Jadi Jebakan Pemerintah Mendatang, Kok Bisa?

Husen Miftahudin • 02 Agustus 2024 22:02
Jakarta: Peneliti dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai usulan skema power wheeling yang diiming-iming menjadi pemanis dalam investasi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) bisa menjadi jebakan bagi pemerintah mendatang.
 
"Lonjakan beban APBN berisiko muncul karena adanya tambahan Biaya Pokok Penyediaan listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan karena sifatnya yang intermiten," jelas Abra, dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 2 Agustus 2024.
 
Sebagai dampak langsung, kata Abra, bakal muncul tambahan cadangan putar (spinning reserve atau backup cost) untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem, sehingga setiap masuknya 1 gigawatt (GW) pembangkit pada power wheeling akan merugikan Rp3,44 triliun.

"Dan itu akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp3,44 triliun (biaya Take or Pay+backup cost) yang tentu akan membebani keuangan negara. Jika dikalkulasi, tambahan biaya bisa mencapai Rp165 triliun hingga Rp192 triliun," tutur dia mengingatkan.
 
Abra menambahkan, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran energi baru terbarukan sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
 
Menurutnya, pemerintah tidak perlu memberikan 'gula-gula' pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Dalam RUPLT terbaru, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 GW, porsi swasta sudah mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.
 
"Hanya dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen," tutur dia.

 
Baca juga: Daftar Tarif Listrik Agustus 2024, Nggak Naik!
 

Skema power wheeling sudah tak relevan


Abra memaparkan, ide penerapan skema power wheeling sudah tidak relevan mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menyusul masih adanya kelebihan suplai listrik.
 
Kondisi sektor ketenagalistrikan, aku dia, sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara supply dan demand listrik.

 
"Kondisi tersebut juga tidak lepas dari melesetnya asumsi pertumbuhan demand listrik dan pada RUPTL 2019-2028 ditargetkan pertumbuhan demand rata-rata 6,4 persen per tahun. Namun karena pandemi covid, realisasinya selama 2015-2023 rata-rata hanya 4,3 persen per tahun," jelas Abra.
 
Sekali lagi, Abra menegaskan pemerintah harus terus waspada terhadap pembahasan RUU EBET yang didalamnya memuat pasal power wheeling.
 
"Risiko terbesarnya adalah membebani keuangan negara yang bisa berdampak langsung terhadap pembangunan dan masyarakat kecil," tukas dia.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan