Ilustrasi. Foto: MI/Gino.
Ilustrasi. Foto: MI/Gino.

Kebijakan DMO Dinilai Menyulitkan Pelaku Usaha dan Timbulkan Ketidakpastian

Husen Miftahudin • 11 November 2022 20:51
Jakarta: Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) dinilai menyulitkan pelaku usaha dan menimbulkan risiko ketidakpastian dan inefisiensi perdagangan. Hal ini karena kendali untuk mengontrol distribusi itu bukan berada di pelaku usaha.
 
Presiden Direktur PT Sari Agrotama Persada Thomas Muksim mengaku mengusulkan agar Permendag Nomor 8/2022 yang mewajibkan DMO sebesar 20 persen sebagai syarat persetujuan ekspor CPO dikembalikan ke peraturan sebelumnya, Permendag Nomor 2/2022. Alasannya, ketentuan dalam Permendag yang mewajibkan DMO menyulitkan bagi pelaku usaha, khususnya produsen dan eksportir.
 
"Itu menyulitkan, karena kendali untuk mengontrol distribusi itu bukan ada di kami. Makanya, saya usulkan agar dikembalikan ke peraturan seperti sebelumnya. Tetapi, usulan tersebut tidak pernah dijalankan oleh Kementerian Perdagangan," jelas Thomas dalam keterangan resminya, Jumat, 11 November 2022.
 
Di tempat terpisah, Akademisi Universitas Al- Azhar Indonesia Sadino menyatakan, penerapan DMO dan DPO bukan hanya menyulitkan pengusaha sawit, namun juga merugikan petani kelapa sawit.
 
"Bayangkan berapa banyak TBS petani yang tidak terbeli pabrik kelapa sawit (PKS) akibat kebijakan DMO dan DPO. Banyak PKS tidak mau membeli TBS petani dengan alasan, penuhnya tangki timbun karena tidak adanya ekspor. Tentu ini sangat merugikan petani," sebutnya.
 
Selain itu, tambah Sadino, gonta-ganti kebijakan terkait DMO dan DPO tentu tidak menguntungkan bagi dunia usaha yang membutuhkan kepastian dalam berusaha. "Perusahaan rugi, petani rugi, pendapatan negara berkurang dan merugikan perekonomian negara karena berkurangnya penerimaan devisa dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan yang keliru," ungkap dia.
 
Menurut Sadino, seharusnya tidak boleh ada hambatan ekspor. Jika menyangkut pemenuhan kebutuhan di dalam negeri, pemerintah hanya perlu fokus supaya ketersediaan untuk kelompok masyarakat tertentu terjamin. Negara bisa menjamin ketersediaan minyak goreng untuk kelompok masyarakat tertentu, tanpa harus mengorbankan yang lain.
 
Sadino berharap, pemerintah segera melakukan penghapusan DMO dan DPO minyak sawit/CPO. Pasalnya, kebijakan DMO dan DPO merupakan salah satu penyebab hancurnya harga TBS petani. "Mendag tak perlu ragu lagi untuk penghapusan DMO dan DPO ini. Agar tidak ada yang dirugikan," jelasnya.
 
Baca juga: Perlu Inovasi, Program Perbaikan Perkebunan Sawit Rakyat Tingkatkan Kesejahteraan Petani

 
Sadino menilai, kebijakan DMO dan DPO berpotensi menimbulkan risiko ketidakpastian dan inefisiensi perdagangan CPO. Dan itu terbukti setelah diterapkan beberapa bulan belakangan ini. "Kebijakan tersebut justru membatasi volume ekspor pertumbuhan ekonomi terhambat," tegasnya.
 
Akibatnya, ekspor CPO dan produk turunannya anjlok signifikan. Dampaknya, petani kesulitan menjual tandan buah segar (TBS) karena pabrik pengolahan sawit (PKS) engga membeli dengan alasan penuhnya tangki timbun. "Kebijakan DMO dan DPO harus dihapuskan karena terbukti tidak efektif dan merugikan banyak pihak. Kebijakan ini juga berisiko karena pemerintah tak memiliki kajian yang lengkap dan komprehensif," jelasnya.
 
"Jika ini dilakukan, otomatis, harga TBS akan naik dengan sendirinya serta produktivitas dan kesejahteraan petani meningkat," tambahnya.
 
Dia juga berpendapat, kebijakan DMO tidak dapat menurunkan harga minyak goreng, namun justru akan menurunkan ekspor CPO yang pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi.
 
"Kenaikan harga minyak goreng selama ini bukan disebabkan oleh ketersediaan CPO di dalam negeri, namun karena terjadinya kenaikan harga CPO di market internasional. Naiknya migor juga dipengaruhi oleh kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang membuat produsen mengurangi suplai sehingga terjadi kelangkaan," pungkas dia.
 
*Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id*
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan