Adapun komitmen pemerintah dalam melindungi merek terkenal telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek).
"Dalam UU tersebut secara tegas menyebutkan bahwa suatu permohonan pendaftaran merek akan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; atau merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu. Ini adalah merupakan bukti bahwa rezim hukum merek di Indonesia melindungi merek terkenal," ungkap Konsultan Komersialisasi Kekayaan Intelektual yang juga mantan Dirjen HKI, KemenkumHAM RI Andy N. Sommeng, dalam keterangan resminya, Selasa, 30 Maret 2021.
Oleh karena itu, guna mendukung perlindungan atas merek terkenal, pemerintah juga telah membuat kriteria merek terkenal dengan menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek Terkenal (Permenkumham 67/2016) yang mengadopsi ketentuan internasional World Intellectual Property Organizations/ WIPO).
Andy menjelaskan, berdasarkan Permenkumham 67/2016, kriteria merek terkenal itu antara lain dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan, volume penjualan barang dan atau jasa, pangsa pasar yang dikuasai, durasi penggunanan merek, pendaftaran merek di banyak negara serta keberhasilan penegakan hukum di bidang merek.
"Kriteria itu menjadi pegangan pemeriksa merek dan aparat penegak hukum dalam menentukan apakah merek itu merek terkenal atau tidak terkenal," ungkap Andy.
Dia menjelaskan alasan diperlukannya perlindungan terhadap merek terkenal, yakni merupakan asset intangible yang tidak ternilai harganya bagi suatu perusaahan. Merek merupakan cermin reputasi suatu barang yang diproduksi atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan. Maka, reputasi atau citra sebuah merek akan memengaruhi aktivitas pemasaran. Reputasi itu diyakini oleh pemilik merek terkenal akan mampu memengaruhi persepsi pelanggan tentang produk yang ditawarkan kepada konsumen.
Aspek persaingan curang
Praktisi HKI Suyud Margono menambahkan konsep perlindungan atas merek terkenal tidak seharusnya diterapkan untuk merek sekunder (secondary brand). Merek sekunder biasanya dikenal juga sebagai nama varian (variant name) atau merek dagang yang merupakan suatu kalimat atau istilah yang deskriptif."Istilah deskriptif itu kadang hanya bertujuan untuk menjelaskan fungsi dari produk dan bukan merupakan elemen utama dari kesatuan merek tersebut, namun diajukan sebagai merek yang sesungguhnya merupakan extension dari brand yang sudah dikenal," jelas Suyud, yang juga sebagai Ketua Umum Asosiasi Konsultan HKI Indonesia (AKHKI) ini.
Dia menjelaskan, klaim merek terkenal atas secondary brand yang bersifat deskriptif atau generic words berpotensi negatif. Serta dapat menimbulkan dan persaingan curang (unfair business practices) antar sesama pelaku usaha (competitor bisnis). Sebab, pada praktiknya, pemilik merek lainnya akan terhambat dan kesulitan untuk memiliki ruang gerak dan kreativitas apabila secondary brand/merek sekunder yang bersifat deskriptif atau generic words.
"Karena itu hanya dapat digunakan oleh salah satu pihak saja, mengingat pelaku usaha biasanya menggunakan secondary brand hanya sebagai variasi tambahan dari produk-produk utamanya," ujar Suyud.
Sebagai contoh, saat ini, perusahaan kerap kali mendaftarkan berbagai macam merek yang merupakan perluasan dari merek terkenal utama (primary house brand) perusahaan yang telah terdaftar demi memperluas variasi dari produknya. Misalnya perusahaan yang bergerak di bidang elektronik LG Corp selaku pemilik merek terkenal LG, secara aktif menciptakan berbagai varian dari merek LG salah satunya LG Magnit dan LG Mini untuk produk-produk elektronik.
Oleh karena itu, diharapkan suatu pemeriksaan merek oleh Direktorat Merek maupun sengketa pada tahap Pengadilan Niaga atas penggunaan secondary brand yang bersifat umum/deskriptif pada merek terkenal, unsur main brand/merek utama harus dipertimbangkan secara mendalam, mengingat unsur tersebut dapat dikategorikan sebagai unsur esensial dan daya pembeda yang sangat kuat untuk mencegah terjadinya dilusi, khususnya di mata konsumen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News