Ilustrasi. Foto: MI/Panca Syurkani.
Ilustrasi. Foto: MI/Panca Syurkani.

Kenaikan Tarif Cukai Suburkan Rokok Ilegal, Rumusan CHT 2025 Perlu Ditinjau Ulang

Eko Nordiansyah • 24 April 2024 11:57
Jakarta: Kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang berlebihan secara terus-menerus dinilai akan sangat memberatkan pelaku industri hasil tembakau (IHT). Jika pemerintah tetap ingin melanjutkan rencana kenaikan cukai, maka disarankan kenaikannya moderat, tidak lebih dari dua digit dan sesuai dengan tingkat inflasi saat ini.
 
Pasalnya kenaikan CHT pada 2023-2024 justru memicu polemik baru, seperti turunnya realisasi penerimaan negara dari CHT serta memperbesar perpindahan konsumsi ke rokok ilegal. Dalam laporan Kementerian Keuangan, penerimaan negara dari CHT sepanjang 2023 hanya Rp213,48 triliun atau minus 2,35 persen (yoy).
 
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment INDEF Andry Satrio Nugroho berpendapat bahwa jika ingin menaikkan tarif cukai di tahun 2025, Pemerintah perlu meninjau kembali rumusan yang membentuk tarif cukai. Rumusan yang baku, transparan, dan jelas sangat berpengaruh pada penerimaan negara dan juga keberlangsungan dari IHT.
 
Ia mengatakan, pemerintah harusnya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan faktor kesehatan dalam menentukan besaran cukai CHT. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi pada 2025 mencapai lima persen, inflasi tiga persen, dan faktor kesehatan tidak lebih dari satu persen, maka semestinya tarif CHT di kisaran sembilan persen. 
 
“Sehingga pelaku usaha bisa lebih bersiap untuk menaikkan setorannya pada negara. Karena implikasinya dengan kenaikan tarif cukai yang dua digit tersebut produksi dari industri hasil tembakau itu menurun dan penerimaan negara dalam bentuk cukai hasil tembakau itu juga otomatis menurun,” kata Andry kepada media dilansir Rabu, 24 April 2024.
 
Lebih lanjut, dia mengungkapkan, pengendalian konsumsi rokok tidak hanya terletak pada tarif cukai saja tetapi juga pada insentif dan fiskal. Apalagi kenaikan cukai yang eksesif bagi IHT akan berdampak ke sektor lain yang terkait seperti pertanian, padat karya, tenaga kerja, dan juga ritel. 

“Sampai saat ini belum ada arah yang jelas kesana dan masih bersifat memaksa. karena kalau kita hanya fokus pada kenaikan tarif cukai pasti akan berimplikasi pada meningkatnya rokok ilegal,” jelasnya.
 
Baca juga: Bikin Rugi, Pemerintah Diminta Bijaksana Soal Pasal Tembakau di RPP Kesehatan

Marak rokok ilegal

Dengan cukai naik terlalu tinggi, harga rokok pun langsung ikut meningkat. Sementara itu pabrikan tidak bisa begitu saja mengalihkan beban kenaikan tarif cukai secara langsung dan serentak kepada konsumen, sehingga konsumen 'terpaksa' berpindah ke rokok yang lebih terjangkau, termasuk rokok ilegal.
 
Tingginya peredaran rokok ilegal pun terlihat dari penindakan yang dilakukan Direktorat Jenderal Bea Cukai sepanjang 2023. Melalui Operasi Gempur Rokok Ilegal tahap dua ditemukan peredaran rokok ilegal melalui PJT mengalami peningkatan dengan jumlah barang hasil penindakan mencapai 73,5 juta batang. 
 
“Kami menilai estimasi rokok ilegal yang disurvei oleh Bea Cukai masih tergolong rendah. Karena etika rokok ilegal terus meningkat tentu cerminan yang buruk terhadap Bea Cukai. Padahal kalau kita berbicara rokok ilegal tidak hanya tupoksi Bea Cukai tapi sudah masuk kejahatan internasional atau kejahatan cross border,” tegas dia.
 
Menurut Andry, hal tersebut yang membuat kenapa survei rokok ilegal selalu rendah sehingga diperlukan data pembanding untuk melihat apakah betul survei yang dilakukan oleh Kemenkeu telah mencakup peredaran rokok ilegal secara menyeluruh. Bahkan peredaran rokok ilegal semakin besar seiring dengan meningkatnya tarif cukai yang cenderung eksesif.
 
Sementara Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur Adik Dwi Putranto menilai kebijakan kenaikan CHT pada 2023-2024 tidak mampu membendung maraknya perpindahan konsumsi ke rokok murah dan rokok ilegal. Dia mengimbau pemerintah harus lebih serius dalam menutup usaha rokok ilegal untuk meningkatkan penerimaan negara. 
 
“Permasalahannya kalau rokok ilegal dengan harga Rp15 ribu itu semuanya masuk ke perusahaan, sedangkan rokok legal yang masuk ke perusahaan hanya 25 persen, selebihnya masuk ke negara berupa cukai. Berarti apabila rokok legal dengan harga Rp35 ribu maka hanya sekitar Rp8 ribu-Rp9 ribu yang masuk ke perusahaan untuk biaya produksi, karyawan, dan keuntungan. Ya, pasti kalah kalau (yang legal) mau melawan yang ilegal,” kata dia.
 
Fakta lainnya populasi sejumlah pabrik rokok semakin tergerus dari 4.700 lebih pabrik pada 2019, menjadi hanya 1,000-an pada 2021 lalu. Dampak yang terasa pada pabrik golongan Tier 1 sebagai penyumbang 86 persen cukai yang saat ini hanya tersisa empat pabrik dari sebelumnya tujuh pabrik.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan