Padahal jauh sebelum aturan ini menjadi polemik kembali, Indonesia bersama dengan negara lainnya pernah menggugat Australia yang dinilai melemahkan daya saing produk rokok Indonesia di pasar Internasional. Terlebih banyak perusahaan, termasuk di industri tembakau, berinvestasi besar dalam riset dan pengembangan merek mereka.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasasmita mengkritik kebijakan ini mengingat Israel adalah satu-satunya negara yang menerapkan kemasan polos untuk rokok elektronik. Kemasan polos dapat memperburuk masalah rokok ilegal, membuka celah bagi produk ilegal yang lebih murah dan menarik.
“Artinya mereka meniru regulasi Israel untuk mematikan industri ini, kita harus waspada terhadap aturan yang dibuat tanpa dasar yang jelas,” ucap dia kepada media dilansir Jumat, 13 September 2024.
Rokok ilegal meningkat
Kebijakan serupa di Australia, Britania Raya, dan Perancis justru meningkatkan peredaran rokok ilegal tanpa mengurangi konsumsi. Di Australia, peredaran rokok ilegal melonjak mendekati 30 persen pada 2023, di Britania Raya jumlah perokok naik menjadi 17,1 persen dan Perancis juga mengalami penurunan penjualan tembakau.Rancangan Permenkes ini pun dipertanyakan sebab Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 sudah mengatur kemasan rokok dengan detail. Dalam Rancangan Permenkes ini, Pasal 4 ayat 2a, Pasal 5, hingga Pasal 7 mengatur secara rinci standar kemasan produk tembakau, termasuk desain, ukuran, dan warna, yang mengarah pada implementasi kemasan polos.
Baca juga: Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek, Asosiasi Lintas Sektor Menolak |
Kebijakan ini mencakup semua jenis produk tembakau, rokok konvensional maupun rokok elektronik. Draft regulasi ini juga menjelaskan visual dari standar kemasan yang akan diimplementasikan pada berbagai jenis kemasan rokok konvensional dan elektronik, seperti kotak persegi panjang dan kemasan silinder.
Jika Kemenkes memaksakan aturan kemasan polos ini diterapkan, sudah pasti Permenkes mencoba melampaui PP 28/2024 yang lebih menekankan aturan peringatan kesehatan pada kemasan. Selain itu, perlu dipertanyakan apakah tembakau adalah satu-satunya produk yang berbahaya bagi kesehatan yang harus dikenakan aturan serupa.
“Kita bisa melihat bahwa Kemenkes secara membabi buta menekan industri, tanpa memikirkan dampak-dampak yang ditimbulkan, serta tanpa menghiraukan peraturan yang sudah ada di Kementrian yang lain,” jelas Garindra.
Kemasan polos berisiko memperburuk masalah rokok ilegal. Aturan ketat pada produk resmi bisa membuka celah bagi rokok ilegal yang lebih menarik dan murah. Akibatnya, konsumen mungkin beralih ke produk ilegal, justru bertentangan dengan upaya pemerintah menurunkan angka perokok.
Ketua Umum Kadin Jatim Adik D. Putranto mengatakan, polemik seputar tembakau di negeri ini seakan tak berkesudahan. Usai pengesahan PP 28/2024, kini para pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) kembali ditekan dengan adanya peraturan-peraturan ekstrem melalui Rancangan Permenkes.
“Saat ini IHT memberi kontribusi terhadap 10 persen penerimaan negara, serta menjadi sumber penghidupan jutaan masyarakat. Namun, seperti diketahui, berbagai tekanan yang luar biasa, baik dari sisi kebijakan fiskal dan nonfiskal, telah berakibat tidak tercapainya target penerimaan cukai pada tahun 2023 lalu,” ucap Adik.
Sebagai aturan induk dari Rancangan Permenkes, Kadin juga menyoroti dan meminta pemerintah untuk mengkaji kembali beberapa pasal terkait pengamanan zat adiktif yang diamanatkan dalam PP 28/2024, diantaranya pasal 431 tentang pembatasan tar dan nikotin pada rokok konvensional dan pasal 432 terkait larangan bahan tambahan.
Sebelum PP 28/2024, IHT menghadapi 400 regulasi (89,68 persen) berbentuk kontrol, 41 aturan (9,19 persen) lainnya mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya lima regulasi (1,12 persen) yang mengakomodasi isu ekonomi dan kesejahteraan. Dengan rencana kenaikan cukai dan pajak rokok tahun depan, ekosistem tembakau juga akan menghadapi ancaman serius.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News