"Kita harus optimistis, Indonesia memiliki peluang dalam memenangkan gugatan ini. Meski begitu, kita juga mengantisipasi adanya kemungkinan banding dari Uni Eropa apabila Indonesia menang dalam gugatan ini," kata Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Kemenko Perekonomian Edy Yusuf, dilansir dari Antara, Selasa, 1 November 2022.
Edy menjelaskan penerapan kebijakan RED II oleh Uni Eropa yang diterapkan sejak Desember 2018 itu diskriminatif terhadap produk minyak sawit Indonesia dan bisa mengurangi ekspor ke Uni Eropa yang berdampak pada kesejahteraan petani kelapa sawit.
Pada kebijakan RED II, Uni Eropa membuat batasan dan mengkategorikan biofuel berbahan baku kelapa sawit sebagai high ILUC (indirect land use change) risk karena menyebabkan ekspansi signifikan terhadap lahan dengan stok karbon tinggi ke area produksi.
Baca: Menteri PPN Ingin Pembangunan Light Rail Transit Dibahas Detail |
Selain itu, Uni Eropa memberlakukan penghentian biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit secara bertahap hingga 2030 atau yang disebutnya Phase Out 2030. Uni Eropa juga menetapkan konsumsi penggunaan energi berbahan baku food and feed corps untuk transportasi tidak boleh melebihi tujuh persen sejak 2020.
Edy menegaskan kebijakan RED II terkait sawit tersebut tidak berdasarkan pada kajian ilmiah dan tidak memiliki bukti saintifik. Saat ini, Edy menjelaskan posisi Indonesia sedang menunggu terbitnya laporan terkait gugatan pada akhir 2022 atau awal 2023.
Dia menjelaskan, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan antisipasi dari berbagai skenario yang mungkin terjadi dari keputusan yang dikeluarkan oleh WTO dan langkah yang akan diambil kemudian oleh Uni Eropa.
"Tentunya, Indonesia perlu terus mengantisipasi hasil gugatan yang mungkin terjadi. Pemerintah akan segera menentukan pilihan langkah yang diambil untuk menyelesaikan sengketa banding atau tidak banding atas rekomendasi dan keputusan panel," pungkas Edy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News