Kasubdit SDM dan Pembiayaan Kesehatan Bappenas Renova Siahaan mengatakan, apabila tidak ada intervensi aturan maka target pemerintah untuk tujuan berkelanjutan pasti tidak tercapai. Apalagi menurut data, sebesar 52,1 persen penduduk pertama kali merokok di usia 15-16 tahun.
"Bahkan 23,1 persen itu di usia 10-14 tahun. Ada di usia 5-9 tahun sebesar 2,5 persen. Tentu ini menjadi awareness kita bersama bahwa anak-anak di Indonesia sudah merokok," kata dia dalam diskusi 'Harga Rokok Mahal Upaya Efektif Melindungi Remaja Menjadi Perokok' di Jakarta, Selasa, 25 Agustus 2020.
Renova menjelaskan, upaya pencegahan akses anak terhadap rokok sudah menjadi prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 lalu. Namun pencapaiannya sangat jauh dari target yang diharapkan. Di 2019, diharapkan prevalensi merokok anak usia 10-18 tahun sebesar 5,4 persen, justru meningkat jadi 9,1 persen.
Situasi tersebut dinilai Renova tidak sejalan dengan tujuan RPJMN 2020-2024 yang ingin menciptakan sumber daya manusia unggul dan menjadi tantangan yang besar bagi peningkatan sumber daya produktivitas manusia ke depan.
“Kenapa sebenarnya konsumsi rokok di Indonesia itu tinggi? Terutama meningkat di kalangan anak-anak dan remaja. Jadi kalau kita lihat, faktanya harga rokok itu memang masih murah dan terjangkau,” ujar Renova.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (ALIT) Indonesia Yuliati Umrah menyatakan, saat ini anak-anak masih dapat mengakses rokok secara bebas dan terbuka. Padahal seharusnya seperti halnya obat dan alkohol, konsumsi rokok dikendalikan agar tidak menyasar anak -anak.
Menurut Yuliati, salah satu hal yang perlu dilakukan agar anak-anak tidak terpapar penyalahgunaan konsumsi rokok yakni meningkatkan edukasi manfaat dan bahaya produk tembakau. Anak-anak harus tahu apa sesungguhnya manfaat dan bahaya produk tembakau, khususnya rokok. Dengan demikian, ia akan mampu mengukur risiko yang timbul.
“Kita juga perlu sepaham bahwa kondisi saat ini tidak boleh menggerus bonus demografi yang akan disumbang generasi saat ini. Oleh karenanya edukasi adalah kunci untuk mengatasi penyalahgunaan konsumsi dan merawat generasi,” jelas Yuliati.
Oleh karena itu Renova menekankan, salah satu tools untuk mengurangi keterjangkauan remaja terhadap rokok yakni melalui reformasi kebijakan fiskal yaitu kebijakan cukai. Artinya kalau harga dinaikkan, tapi sistem cukai seperti saat ini, berpeluang pada tidak efektifnya kebijakan kenaikan cukai, maupun peluang penghindaran pajak. Upaya menuju pengendalian tembakau atau mengurangi prevalensi anak ini sebenarnya bukan hanya tanggung jawab dari satu sektor.
"Beberapa reformasi atau inovasi telah dilakukan, diantaranya kaitannya dengan reformasi fiskal. Di bab ketahanan ekonomi sendiri, secara khusus salah satu strategi kita adalah menyederhanakan struktur tarif cukai," ungkapnya.
"Jadi di dalam RPJMN ini, menurunkan prevalensi merokok tidak hanya menyasar pada meningkatkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing, tetapi juga sebagai upaya untuk memperkuat ketahanan ekonomi yang berkualitas," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News