Perdana Menteri Thailand Sretha Thavisin menyebutkan, tingkat utilisasi industri turun hingga di bawah 60 persen sehingga membuat pertumbuhan ekonomi tak sesuai harapan. Badan perencanaan nasional Thailand menilai, masalah tersebut muncul salah satunya karena arus deras barang impor dari Tiongkok yang membuat industri dalam negerinya kesulitan bersaing.
Abdillah mengaku khawatir masalah serupa bisa terjadi di Indonesia jika pemerintah tidak cepat tanggap. Menurutnya tanda-tanda kondisi tersebut kelihatan pada banyaknya PHK di industri tekstil yang selama ini menerima hantaman cukup besar dari barang-barang impor.
“Berkaca dari kondisi yang terjadi di Thailand, utilisasi yang rendah menunjukkan permintaan konsumen yang rendah juga. Hal ini bisa disebabkan oleh efek substitusi karena ada barang yang jauh lebih murah dari luar negeri misalnya. Selain itu karena penurunan daya beli di dalam negeri,” kata Abdillah kepada wartawan, Kamis, 18 Juli 2024.
Dalam situasi ini, Abdillah menyarankan untuk beberapa kementerian yang langsung terkait memperhatikan fenomena impor barang murah dari Tiongkok yang bisa berdampak bagi industri dalam negeri. Pertama, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian harus mampu mengkoordinir semua kepentingan, baik produsen maupun konsumen dalam negeri.
Kedua, ia menyebut, Kementerian Perindustrian harus menjalankan kebijakan seleksi impor yang ketat dan selalu mempertimbangkan dengan dalam dampak kebijakan terhadap daya saing industri dalam negeri. Ketiga, Kementerian Keuangan harus mampu menciptakan kebijakan tarif impor yang mendukung daya saing industri dalam negeri.
“Keempat, Kementerian Perdagangan perlu menegaskan sikapnya dalam mendukung kepentingan nasional dengan tidak menghalangi pelaksanaan regulasi pengetatan impor yang sekarang dilakukan,” ujar Abdillah.
Baca juga: Dituding Jadi Penyebab Industri Tekstil Tumbang, Pemerintah Masih Enggan Revisi Permendag 8/2024 |
Menurutnya penegasan sikap dari kementerian-kementerian yang bertanggung jawab dalam memajukan sektor industri dalam negeri menjadi krusial. Apalagi peningkatan barang impor ini setelah berlakunya Permendag No. 8 Tahun 2024 yang merelaksasi aturan impor dan protes pelaku industri dalam negeri.
“Kita harus fokus pada industri yang padat karya, dimana goncangan usaha akan berpotensi mendorong pemutusan hubungan kerja. Jika relaksasi ini dinikmati oleh importir barang yang padat karya, maka pemerintah harus memitigasi konsekuensinya,” kata Abdillah.
Abdillah juga mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memerintahkan penghentian relaksasi impor terutama di sektor tekstil yang padat karya. Sebelumnya Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mendorong agar relaksasi impor dihentikan karena merugikan industri dalam negeri.
Ia menilai, penghentian relaksasi impor akan memberikan waktu bagi pengambil kebijakan untuk merumuskan kebijakan yang komprehensif. Menurut Abdillah pembatasan impor untuk barang-barang nonesensial yang produksinya bersifat padat karya perlu dikedepankan pemerintah untuk menjaga penyerapan tenaga kerja.
“Impor untuk barang yang tidak esensial sebaiknya dibatasi, dan menunggu industri dalam negeri mandiri. Apalagi impor barang yang padat karya seperti tekstil, itu harus sangat dibatasi dengan menaikkan tarif bea masuk, karena tekstil bukanlah barang esensial dan dia menyerap tenaga kerja yang banyak,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News