Forkopi saat beraudiensi dengan perwakilan dari Fraksi PPP DPR. Foto: Dok Forkopi
Forkopi saat beraudiensi dengan perwakilan dari Fraksi PPP DPR. Foto: Dok Forkopi

5 Alasan Forkopi Agar Koperasi Tak di Bawah Pengawasan OJK

Media Indonesia.com • 18 November 2022 07:04
Jakarta: Dua hari terakhir Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) gencar menolak koperasi berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Aturan ini memungkinkan jika Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) disahkan.
 
Setidaknya ada lima alasan yang diungkapkan Forkopi agar koperasi tak diawasi OJK. Kelima alasan ini disampaikan sejumlah jajaran pengurus Forkopi saat beraudiensi dengan legislator dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI, kemarin.
 
Mewakili Forkopi dan 15 perwakilan koperasi Indonesia, Ketua Umum Presidium Forkopi, Andy A Djunaid, mengawali penyampaian aspirasi dan pendapatnya.
 

1. Kehilangan jati diri

Menurut Andy, masuknya koperasi dalam pengawasan OJK akan membuat koperasi kehilangan jati dirinya. Andy yang juga Ketua Kospin Jasa Pekalongan ini menyampaikan kekhawatiran jika RUU PPSK terutama Pasal 191, Pasal 192, dan Pasal 298 diberlakukan. 

Menurutnya, sampai saat ini ada 2.300 koperasi yang tergabung di Forkopi. Dengan anggota lebih dari 30 juta orang. 
 
"Mereka bergerak masif karena khawatir koperasi akan kehilangan jati dirinya," ujar Andy.
 
Andy mengatakan koperasi lahir dari gerakan moral dengan asas kekeluargaan dan kegotongroyongan. Andy khawatir OJK yang selama ini menerapkan manajemen risiko di lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan berbasis modal akan mengeliminasi pertimbangan-pertimbangan benefit bagi anggota koperasi.
 

2. Lebih tepat diawasi Kemenkop

Lebih lanjut, Andy mengatakan bahwa pengawasan OJK bukan solusi. Karena menurutnya sampai saat ini banyak lembaga yang diawasi oleh OJK yang juga menimbulkan masalah besar bagi nasabahnya. Karenanya Andy menilai bahwa seharusnya koperasi diperkuat melalui pengawasan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop). 
 
Menurutnya, justru aturan di Kemenkop yang harus dikuatkan jika ada koperasi yang bermasalah. Elemen koperasi sendiri bisa duduk bersama membentuk pengawasan yang efektif.
 
Menurutnya, telah 75 tahun koperasi menjadi milik masyarakat Indonesia. Koperasi saat ini tetap menjadi milik rakyat. Adapun perbankan saat ini dimiliki pihak asing hampir 97 persen.
 
"Jika kita masih mencintai kultur bangsa ini, maka kita minta pasal yang mengatur koperasi dikeluarkan dari RUU PPSK. Koperasi mestinya tetap diatur pada RUU Perkoperasian yang saat ini sedang dalam pembahasan," ujar dia.
 

3. Hanya ulah 9 oknum koperasi

Perwakilan Forkopi lain yang mewakili kelompok koperasi syariah, Kamaruddin Batubara, meminta agar aturan tidak dibuat karena ulah segelintir oknum. Menurut dia, lahirnya Pasal 191, 192, dan 298 di RUU PPSK tak lain hanya karena kesalahan 9 oknum koperasi.
 
"Ada 127 ribu koperasi dan 69 ribu koperasi simpan pinjam. Di antara ribuan koperasi yang baik, hanya segelintir koperasi yang bermasalah," kata dia.
 
Kamaruddin lantas mengutip ucapan Wakil Presiden Pertama Indonesia, Mohammad Hatta. Bung Hatta kerap menyatakan koperasi tidak hanya bicara soal keuntungan. Tidak hanya bicara soal laba.
 
"Tetapi ada manfaat, ada benefit. Ini tertuang di Pasal 4 UU No 25 Tahun 1992, tentang Fungsi dan Peran Koperasi. Bahwa selain ekonomi, ada juga sosial," kata dia.
 
Kamruddin menyarankan agar koperasi tetap di bawah Kemenkop. Terutama untuk koperasi yang hanya melayani anggota saja atau sering disebut dengan close loop model
 

4. Kumpulan orang, bukan uang

Mewakili koperasi kredit, Stephanus, menegaskan bahwa koperasi pada dasarnya merupakan kumpulan orang. Baru kemudian menjadi kumpulan uang. 
 
"Bergesernya pengawasan koperasi pada OJK tentu menggeser manajemen risiko yang mempertimbangkan nilai-nilai koperasi menjadi bergeser dengan menempatkan uang di atas segalanya," kata dia. 
 
Stephanus mengatakan prinsip-prinsip koperasi akan menghilang seiring dengan pemberlakuan manajemen risiko yang semata-mata berbasis uang. 
 
"Kita saat ini memberikan relaksasi, namun relaksasi kita berbeda dengan perbankan. Relaksasi kita menghentikan bunga dan memberikan waktu kepada anggota yang sedang bermasalah dalam pinjamannya. Apakah hal seperti ini dimungkinkan di perbankan?" jelas Stephanus.
 
Dia melanjutkan pengawasan menjadi syarat mutlak bagi tata kelola koperasi yang baik. Namun, pengawasan terhadap koperasi harus bersifat self-regulated
 
Dalam hal ini, pengawasan bisa dilakukan oleh unsur koperasi dan pemerintah yang mengerti bahwa manajemen koperasi bukan hanya untung dan rugi. Menurutnya, manajemen risiko di koperasi adalah manajemen risiko ekonomi kerakyatan.
 
"Koperasi itu berbasis saling dukung dan saling percaya," kata dia. 
 

5. Berbeda dengan lembaga Keuangan 

Perwakilan dari Persatuan BMI Indonesia (PBMTI), Budi Santoso, ikut angkat suara. Dia menyampaikan aspirasi dengan menjelaskan beda antara perbankan dengan koperasi. 
 
Menurutnya, koperasi melayani anggotanya karena ia juga pemilik dari koperasi. Hal ini tentu beda dengan perbankan yang menempatkan nasabah sebagai pihak lain. Perbankan pun dinilai hanya berhitung soal terminologi bisnis untung rugi semata. 
 
"Di koperasi, aspek sosial menjadi pertimbangan selain pertimbangan bisnis," ujar Budi. 
 
Di koperasi, lanjut dia, prinsip profit dan benefit harus berjalan seirama. Untuk itu, dia berharap pasal 191, 192, dan 298 dikeluarkan dari RUU PPSK dan masuk dalam RUU Perkoperasian.
 
Baca: Forkopi Berharap Koperasi Tak di Bawah Pengawasan OJK
 

Irisan koperasi dengan OJK

Menjawab kegelisahan Forkopi, Anggota Komisi VI dari Fraksi PPP DPR RI, Achmad Baidowi, menjelaskan RUU PPSK disusun dan dirancang di Komisi XI DPR RI. Menurutnya, koperasi berada di Komisi VI. 
 
"Kenapa kemudian masuk dalam RUU PPSK (yang merancang RUU PPSK), karena ada simpan pinjam dalam koperasi sehingga OJK masuk di dalamnya," kata Achmad. 
 
Untuk itu, ia mengarahkan Forkopi untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada fraksi-fraksi lain di DPR. Agar suara pelaku koperasi lebih didengar dan keinginan mereka bisa diserap dalam RUU PPSK. 
 
Hadir dalam audiensi tersebut, Andy Arslan Djunaid (Ketum Kospin Jasa), Kamaruddin Batubara (Ketua KSPPS BMI), Budi Santoso (PBMTI), M Machi (Kospin Jasa), Stepahnus TS (GM-Inkopdit), Sularto (KSPPS BMI), dan Fathurrahman (KSPPS BMI).
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan