Kepala Pusat Studi Sawit IPB Budi Mulyanto mengatakan, HGU adalah salah satu bentuk Hak Atas Tanah (HAT) yang diberikan oleh negara berdasarkan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria atau UU PA. Sayangnya HGU yang telah dikantongi pelaku usaha dimasukkan ke dalam kawasan hutan oleh pemerintah daerah.
"Jika HAT yang telah terbit sah berdasarkan hukum negara, kemudian dimasukkan ke dalam kawasan hutan, ini akan menimbulkan berbagai persoalan agraria di lapangan yang ujungnya akan terjadi sengketa konflik agraria," kata Budi, Rabu, 4 Oktober 2023.
Regulasi turunan dari UU PA pun amat beragam, dan HGU akan diterbitkan oleh pemerintah selama memenuhi seluruh ketentuan yang ada. Seluruh kawasan yang tercakup dalam HGU itu pun telah terverifikasi dengan baik dan resmi melalui sebuah panitia yang anggotanya berasal dari berbagai instansi termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Baca juga: Reforma Agraria Dorong Pembangunan dan Pemerataan Ekonomi |
Apabila sengkarut perizinan ini menimbulkan konflik agraria, maka pemerintah akan dirugikan karena Indonesia merupakan salah satu penghasil sawit terbesar di dunia. Sebab sektor bisnis ini pun memberikan efek berganda yang besar terhadap perekonomian, mulai dari pemberdayaan masyarakat hingga aktivitas ekspor.
"Sawit yang berkontribusi nyata dalam penyediaan lapangan kerja dan pengembangan ekonomi lokal, regional, nasional maupun global," ujarnya.
Ia mengungkapkan, tanah yang mendapatkan HGU adalah area yang telah bebas dari status kawasan hutan, konflik perizinan, garapan masyarakat, kayu atau hasil hutan, peta moratorium izin, dan inti-plasma. Sehingga, ketika telah mendapatkan HGU maka lahan tersebut dinyatakan sepenuhnya layak dan legal untuk dimanfaatkan menjadi kawasan produktif.
"Jadi kalau HGU telah diterbitkan selayaknya hukum negara melindungi dan jangan diganggu-ganggu lagi. Jangan pula dimasukkan ke dalam status kawasan hutan," tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News