Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Reni Yanita mengatakan penarikan cukai plastik hanya akan berdampak negatif kepada industri kecil menengah yang mencapai 99,7 persen dan industri makanan minuman yang jumlahnya hampir mencapai 1,68 juta unit usaha. Ia mengkhawatirkan, penarikan cukai plastik nantinya justru akan mengganggu sisi permintaannya yang pasti akan berkurang.
“Ketika demand berkurang pasti kebutuhan yang ada akan diisi oleh produk impor yang cenderung lebih murah. Ini juga yang harus kita sikapi. Karena demand tetap ada tetapi konsumen pasti cenderung memilih harga yang lebih murah. Harga murah karena tidak ada pengenaan cukai di kemasan plastiknya,” ujarnya dalam diskusi dilansir, Rabu, 22 November 2023.
Dalam kaitannya dengan plastik, Kementerian Perindustrian melihatnya dari sisi lingkungan hidupnya. Jika terhadap kemasan-kemasan plastik itu dikenakan cukai, menurut Reni, pasti ada koreksi di harga yang akan ditanggung oleh konsumen sehingga permintaan juga akan terkoreksi.
“Kalau kita menganggap kemasan plastik, sebagai limbah, itu salah. Karena itu masih bisa diolah lagi bahkan bisa menjadi bahan baku. Takutnya kita dengan kondisi seperti ini industri dalam negeri yang sudah tumbuh bisa terhambat,” ungkapnya
Dampaknya, kata Reni, utilisasi industri nasional akan terkoreksi menjadi lebih rendah sehingga daya saingnya juga menjadi lebih rendah. Selain itu, pangsa pasar produk ini juga akan diisi oleh impor yang tentunya akan menekan kebangkitan industri usai dihantam pandemi covid.
Ia menegaskan bahwa kemasan plastik itu bukan limbah karena bisa diolah lagi menjadi bahan baku untuk industri lainnya, termasuk di sini untuk industri berbasis sandang, karpet, kemudian ada juga industri alas kaki. Apabila dikenakan cukai, maka industri daur ulang plastik juga diprediksi kekurangan bahan baku.
“Jadi, perlu dipertimbangkan, perlu dipikirkan dampak dari cukai. Kemudian penerimaan negara dari cukai ini akan dikelola dengan baik untuk kemakmuran juga. Yang namanya pengenaan cukai bukan strategi yang utama atau yang prioritas menurut kami,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pengelolaan Sampah, Ditjen PSLB3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Novrizal Tahar menjelaskan ada yang belum beres dalam hal persoalan sampah terkait waste management. Meski begitu, ia mengakui 60 persen sampah sudah dikelola dengan benar.
“Memang belum beres. Jadi, kalau di data kita, pengolahan sampah mungkin baru 60 persen yang kita anggap (terkelola) secara baik dan benar. Dan masih ada mungkin sekitar 40 persen itu memang masih terbuang ke lingkungan dan menjadi persoalan,” ungkapnya.
Anggota Komite Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Rachmat Hidayat menyampaikan pengendalian sampah plastik seharusnya dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan cost dan benefit. Menurutnya, penarikan cukai plastik ini akan memicu terjadinya kenaikan harga yang otomatis akan menyebabkan permintaan turun.
“Kami sepakat bahwa cukai itu salah satu pilihan pilihan, tapi untuk saat ini adalah bukan pilihan pertama. Ada pilihan lain yang lebih baik kita ambil yang ongkosnya tidak sebesar itu, misalnya pengelolaan sampah yang lebih baik,” katanya.
Baca juga: Teknologi Pengelolaan Limbah oleh Industri Mampu Tekan Efek Rumah Kaca |
Berdasarkan kajian yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan penarikan cukai plastik akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dari yang harusnya tumbuh enam persen menjadi hanya 5,9 persen.
Menurut perhitungan Indef, pengenaan cukai pada kemasan plastik tidak hanya berdampak ke industri kemasan plastik atau sejenisnya saja, tapi juga industri terkait yang menggunakan. Sebagai contoh pengguna kemasan plastik FMCG, karena produk makanan dan kebutuhan sehari-hari salah satu input produksinya adalah kemasan plastik.
“Nah, ketika terjadi kenaikan harga input, sebagai pengusaha atau produsen, apabila harga input mengalami kenaikan meskipun nanti akan dibebankan kepada konsumen, tetapi estimasinya konsumen ini akan merespon dengan menyesuaikan konsumsinya yang pada akhirnya akan direspon juga oleh industri di hulunya,” katanya.
Jadi, lanjutnya, ketika FMCG-nya mengalami kenaikan harga, salah satu input produksi atau bahan penolongnya akan direspon dengan penyesuaian terhadap berapa jumlah yang akan diproduksi, berapa tenaga kerja yang direkrut dan berapa keuntungan dari penjualannya.
“Jadi, yang perlu dilihat lagi adalah berapa yang diterima pemerintah kalau menerapkan cukai kemasan plastik ini. Yang saya yakin, di awal mungkin tidak terlalu besar, sekitar Rp1-2 triliun. Tetapi, kerugian dan dampak ekonomi itu lebih dari apa yang diterima pemerintah,” ungkap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News