Ilustrasi petani tembakau. Foto: dok MI/Tosiani.
Ilustrasi petani tembakau. Foto: dok MI/Tosiani.

Berkontribusi Positif ke Perkonomian, Tembakau Tidak Bisa Disamakan Barang Ilegal

Eko Nordiansyah • 07 Juni 2023 15:17
Jakarta: Lintas komisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kompak menolak pasal yang menyetaraan tembakau dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan. Beda dengan barang terlarang, tembakau dan produk hasil tembakau adalah legal yang berkontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia.
 
Wakil Ketua Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh, mengaku heran kenapa tiba-tiba ada penyamaan tembakau dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika dalam pasal 154 RUU Kesehatan. 
 
"Saya tidak tahu bagaimana pembahasannya di Baleg (Badan Legislatif) dulu kok pasal itu bisa masuk draft RUU Kesehatan," ujarnya keheranan, saat dimintai pendapatnya oleh media dilansir, Rabu, 7 Juni 2023.

Melihat banyak pihak menolak adanya bunyi pasal dimaksud, kata Nihayatul, besar kemungkinan draft-nya akan ditinjau ulang. Saat ini pembahasan RUU Kesehatan sedang berjalan, namun tidak berurutan dari pasal 1 ke pasal kedua dan seterusnya. Pembahasannya dilakukan sesuai klaster. 
 
"Ada klaster-klasternya. Kami juga mulai bahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Tapi pasal soal tembakau belum dibahas," ungkapnya.
 
Baca juga: Serikat Pekerja Rokok Minta RUU Kesehatan Hapus Aturan soal Tembakau

 
Penolakan atas pasal dimaksud juga disampaikan anggota Komisi IV DPR, Firman Soebagyo. Menurutnya, tembakau memiliki latar belakang dan sejarah yang panjang sebagai produk legal di Indonesia, yang sarat akan nilai budaya hingga ekonomi.
 
"Saya tidak setuju kalau tembakau disetarakan dengan narkotika. Kita harus melihat latar belakang sejarahnya. Kapan tembakau itu masuk Indonesia dan kapan narkoba membudaya di Indonesia," tegasnya.
 
Firman menjelaskan bahwa tembakau sebagai sebuah varietas yang dibawa oleh perusahaan dagang Belanda (VOC) dan bukan hanya dikonsumsi di dalam negeri melainkan juga bernilai ekonomi yang tinggi. Termasuk sebagai produk ekspor, terutama untuk produk cerutu di sejumlah negara.
 
"Tembakau memiliki nilai ekonomi tinggi. Bahkan nilai ekonominya lebih tinggi dari sawit. Kemudian juga bisa mensejahterakan petani kita yang jumlahnya jutaan orang," ujarnya.
 
Dari sisi industrinya, ia menyebut, serapan tenaga kerjanya kurang lebih ada 5 juta. Kemudian dari sisi cukai rokoknya mencapai ratusan triliun Rupiah sehingga tembakau ini sangat positif bagi pertumbuhan ekonomi maupun bagi kesejahteraan masyarakat
 
"Maka tembakau sebagai produk legal tidak bisa disamakan dengan narkotika dan psikotropika yang dilarang keras oleh hukum. Kami tidak sepakat disamakan dengan narkotika," imbuhnya. 
 
Penolakan atas pasal penyamarataan tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebenarnya bukan hanya datang dari parlemen sebagai perwakilan rakyat. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga secara tegas menolak ini.
 
Kemenperin menolak bunyi pasal 154 dalam RUU Kesehatan dimaksud dan merasa keberatan. Sebab pengelompokan tembakau yang seolah sama dengan narkotika sebagai zat adiktif dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman publik. 
 
”Kita memang sudah melakukan komunikasi, sudah mendiskusikan untuk mempertimbangkan kembali pengelompokan tersebut. Jadi memang sudah dalam proses agar tidak disalahmengertikan,” ujar Direktur Jenderal Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan