"Ada inclussion error di sini. Oleh karena itu, karena sebetulnya ada batasan atau kuota BBM bersubsidi, maka ini perlu dikontrol, diarahkan, diurus oleh pemerintah bagaimana kemudian mekanismenya. Supaya yang memanfaatkan BBM bersubsidi itu ialah memang kalangan yang berhak," tutur Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal saat dihubungi.
Faisal pun berujar, pembatasan BBM subsidi itu seharusnya lebih menyasar pada orang yang betul-betul membutuhkan atau kendaraan yang betul-betul diasosiasikan atau merupakan representasi konsumen menengah ke bawah, seperti kendaraan umum dan sepeda motor. Adapun mobil atau mobil yang mahal semestinya tidak boleh menerima BBM bersubsidi.
"Ini semestinya yang sudah dilakukan sejak lama supaya subsidi BBM menjadi lebih tepat sasaran dan dampaknya ke fiskal menjadi kuotanya tidak terlewati," imbuh dia.
Faisal juga mengingatkan, jangan sampai nanti apabila telah diimplementasikan, pembatasan BBM subsidi tersebut justru menimbulkan masalah baru yang tidak diinginkan. "Maka, dalam implementasinya tidak perlu buru-buru sebetulnya. Jadi planning dan juga sistemnya secara teknis harus disiapkan dengan matang, termasuk hitung-hitungan bagaimana potensi dampaknya," jelas Faisal.
Senada dengan Faisal, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyampaikan setidaknya ada alokasi anggaran Rp90 triliun untuk subsidi BBM yang masih salah sasaran. "Maka, pembatasan subsidi tadi untuk menyelamatkan Rp90 triliun yang masih dinikmati oleh konsumen yang tidak berhak tadi, hanya mekanismenya yang harus dilakukan dengan tepat," terang Fahmy saat dihubungi.
Mekanisme pembatasan subsidi bisa saja disederhanakan. Misalnya, untuk pertalite dan solar diberikan kepada sepeda motor dan kendaraan angkutan orang seperti transportasi umum, angkutan online, dan kendaraan pengangkut barang-barang sehari-hari.
"Tapi kalau truknya itu dari pemilik perusahaan sawit dan tambang, ya itu enggak boleh (gunakan BBM subsidi). Kemudian pemilik kendaran pribadi, mobil pribadi yang tidak masuk dalam kriteria tadi harus pindah ke pertamax. Apalagi yang mobil mewah, haram hukumnya membeli pertalite," kata Fahmy.
Baca juga: Luhut Ungkap Wacana Pembatasan BBM Subsidi, Ini Kata Menteri ESDM |
Di lain pihak, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, meragukan wacana pemerintah yang akan melaksanakan pembatasan penjualan BBM bersubsidi mulai 17 Agustus 2024. Sebab, imbuh Mulyanto, sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyampaikan pembatasan distribusi BBM bersubsidi akan dijalankan pada 2025 sebagaimana tercantum dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2025.
Ia pun meminta pemerintah tidak sembarangan melontarkan pernyataan karena hal itu nantinya akan membingungkan masyarakat yang sedang berupaya bangkit dari kondisi ekonomi yang sedang sulit. "Wacana ini kan sudah lama berkembang, karena diketahui terjadi ketidaktepatan sasaran yang memicu ketidakadilan dalam distribusi BBM bersubsidi. Orang kaya atau mobil mewah kedapatan masih banyak yang menggunakan BBM bersubsidi," ungkapnya dalam keterangan yang diterima pada Kamis, 11 Juli 2024.
Padahal, lanjut Mulyanto, BBM bersubsidi ini ditujukan bagi masyarakat miskin dan rentan. Akan tetapi, pada kenyataannya pemerintah mengambil sikap pembiaran. "Sementara Pertamina proaktif dengan aplikasi MyPertamina yang melakukan pembatasan penjualan BBM bersubsidi di lapangan. Padahal ini kan aksi korporasi yang tidak ada dasar hukumnya," lanjut dia.
Di sisi lain, Mulyanto juga menyoroti masih terjadinya pendistribusian BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Misalnya, kendaraan tambang, industri, dan perkebunan yang semestinya tidak menggunakan BBM bersubsidi, ternyata di lapangan diketahui masih menggunakan BBM bersubsidi. "Jadi, pemerintah wajib menertibkan soal distribusi BBM ini dengan merevisi perpres terkait agar semakin berkeadilan," tegasnya.
Kendati demikian, Mulyanto menerangkan bahwa apabila dalam kondisi tertentu, misalnya harga minyak naik, nilai tukar dolar AS meningkat, dan keuangan negara mengalami kesulitan, maka pembatasan BBM bersubsidi bisa menjadi pilihan ketimbang menaikkan harga BBM bersubsidi.
Belum pasti
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pembelian BBM bersubsidi mulai 17 Agustus 2024 akan dibatasi. "Pemberian subsidi yang tidak tepat. Itu sekarang Pertamina sudah menyiapkan. Kami berharap 17 Agustus ini, kami sudah bisa mulai, di mana orang yang tidak berhak dapat subsidi itu akan bisa kami kurangi," kata Luhut dikutip melalui akun Instagram resminya, Jumat, 12 Juli 2024.
Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika membahas permasalahan penggunaan bensin yang berhubungan dengan defisit APBN 2024. Ia meyakini, dengan pengetatan penerima subsidi, pemerintah dapat menghemat APBN 2024.
Selain memperketat penyaluran BBM bersubsidi, Luhut juga mengungkapkan pemerintah sedang berencana untuk mendorong alternatif pengganti bensin melalui bioetanol. Ia meyakini penggunaan bioetanol tidak hanya mampu mengurangi kadar polusi udara. Tingkat sulfur yang dimiliki bahan bakar alternatif itu juga tergolong rendah. "Itu akan mengurangi orang yang sakit ISPA (Infeksi saluran pernapasan akut)," kata Luhut.
Berbeda dengan pernyataan Luhut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan bahwa pembatasan BBM bersubsidi belum pasti. Ia menegaskan kebijakan itu hingga kini belum diputuskan oleh Presiden. "Enggak ada batas-batas (BBM bersubsidi) pada 17 Agustus, masih belum ini (diputuskan) kok," terang dia.
Baca juga: Mulai 17 Agustus, Pemerintah Bakal Perketat Pembelian BBM Subsidi |
Selain itu, ia menegaskan tidak akan ada penaikan atau perubahan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Merespons soal pembatasan BBM bersubsidi, Arifin menerangkan saat ini pihaknya tengah memperdalam data mengenai masyarakat yang berhak menerima BBM bersubsidi sehingga penyalurannya tepat sasaran.
Sementara itu, aturan konsumen BBM pertalite akan tercantum dalam Revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014. Nantinya, dari revisi perpres itu akan diturunkan peraturan menteri (permen) ESDM tentang ketentuan detailnya, seperti penetapan kriteria penerima subsidi, misalnya jenis kendaraan yang berhak membeli pertalite dan solar.
Ia pun menambahkan revisi Perpres 191 tersebut saat ini masih dalam pembahasan di tiga menteri terkait, yaitu Menteri ESDM, Menteri BUMN, dan Menteri Keuangan.
Senada dengan Arifin, Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan saat ini pihaknya tengah menunggu revisi Perpres 191. "Kita sedang menunggu Perpres 191 agar BBM tepat sasaran. Jangan sampai BBM ini digunakan oleh orang mampu yang mendapatkan BBM bersubsidi," kata Erick saat ditemui di Jakarta, Rabu, 10 Juli 2024.
Lebih lanjut, Erick menegaskan pihaknya bukan pengambil sebuah kebijakan. Karena itu, Kementerian BUMN akan terus mendukung Perpres 191 untuk segera didorong, tidak hanya untuk BBM saja, tapi juga gas.
Ikuti regulasi
Penjabat Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, menuturkan pada prinsipnya Pertamina Patra Niaga akan mengikuti regulasi atau peraturan apa pun yang ditetapkan pemerintah.
"Paralel upaya-upaya subsidi tepat juga terus kami lakukan seperti pendataan pengguna BBM subsidi (biosolar dan pertalite) melalui QR code dan pendataan pengguna elpiji 3 kg dengan pendaftaran menggunakan KTP," papar Heppy saat dihubungi, Jumat, 12 Juli 2024.
Hingga saat ini, pendaftaran QR code untuk biosolar telah tercapai 100 persen dengan jumlah nomor polisi (nopol) lebih dari 4,6 juta pendaftar. Untuk pertalite juga telah mencapai lebih dari 4,6 juta pendaftar, dan Pertamina Patra Niaga masih terus mendorong. Adapun untuk elpiji 3 kg, pendataan telah mencapai sebanyak 45,3 juta nomor induk keluarga (NIK).
"Selain itu, koordinasi dengan aparat penegak hukum terus kami lakukan untuk membantu pengawasan distribusi BBM subsidi dan elpiji subsidi di lapangan," jelas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News