Ilustrasi. Foto: dok MI/Tosiani.
Ilustrasi. Foto: dok MI/Tosiani.

Kedaulatan Pangan Tinggal Kenangan

Media Indonesia • 31 Januari 2024 09:45
JALAN Indonesia mendapatkan kembali kedaulatan pangan seperti di era Orde Baru akan sangat terjal. Hal itu tak lepas dari orientasi pemerintah pascareformasi yang menempatkan BUMN dan pengusaha sebagai puncak piramida, sedangkan petani berada di lapisan bawah.
 
"Kalau memang kita ingin membangun pertanian yang berbasis petani kecil, piramida ini harus kita balik sehingga pertanian keluarga dan agroekologi ini pada puncak piramida, sedangkan BUMN, korporasi, dan entrepreneur mendukung dari bawah," kata Research Associate Center of Reform on Economics (CORE) yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dwi Andreas Santosa.
 
Untuk mencapai tujuan kedaulatan pangan, terangnya, perlu dilakukan pembalikan konsep itu agar pembangunan pertanian lebih terfokus pada peningkatan kesejahteraan petani, terutama petani kecil (small-scale farmer based agricultural development).

"Selain itu, guna mencapai kedaulatan pangan, perlu dilakukan juga upaya peningkatan diversifikasi dan produktivitas pertanian. Jawa, sebagai pusat pertanian yang strategis, perlu dipertahankan sebagai lumbung pangan yang memiliki produktivitas tinggi," papar Dwi.
 
Ia merujuk pada data hasil Sensus Pertanian 2023 Badan Pusat Statistik untuk menjadi parameter mirisnya kehidupan petani.
 
 
Baca juga: Anies Sindir Food Estate: Cuma Tanam Singkong dan Gagal Pula

 
Hasil sensus itu menunjukkan adanya kenaikan jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) dari 26,14 juta pada 2013, menjadi 28,42 juta pada 2023. Namun, kenaikan jumlah RTUP itu tidak diikuti dengan penurunan jumlah usaha pertanian perorangan.
 
Begitu pula dengan data pertumbuhan subsektor pertanian yang mengalami penurunan. Contohnya, subsektor tanaman pangan turun sebesar 12,28 persen, hortikultura turun 10,44 persen, perkebunan turun 14,82 persen, peternakan turun 7,12 persen, diikuti perikanan, kehutanan, dan jasa pertanian yang juga turun.
 
"Apa maknanya ketika jumlah RTUP meningkat, tetapi jumlah rumah tangga semua subsektor menurun? Artinya, sebelumnya petani bisa menanam padi sambil punya usaha ternak, masih bisa mengusahakan hortikultura. Sekarang petani hanya bisa tanaman padi, tidak ada pendapatan di luar tanaman padi. Ini berisiko," ujar Dwi.
 
Data BPS juga menunjukkan meningkatnya jumlah petani berlahan sempit, yakni lahan dengan luas di bawah 0,5 hektare, dari 55,3 persen pada 2013 menjadi 62,05 persen pada 2023. Fenomena itu utamanya terjadi di Pulau Jawa.
 
Selain itu, populasi petani yang menua juga menjadi isu serius. Situasi terakhir, persentase petani berumur di atas 45 tahun naik dari 61,86 persen pada 2013 menjadi 66,4 persen pada 2023.
 
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, dari total luas lahan sawah 7,46 juta hektar, terdapat 659.200 ha yang mengalami alih fungsi lahan dengan rincian 179.539 ha terbangun infrastruktur maupun perumahan, dan 479.661 ha menjadi perkebunan.
 

Impor serampangan


Ketidakberpihakan pemerintah pada petani, sambung Dwi, juga dapat dilihat dari rencana impor tiga juta ton beras pada awal tahun ini. Impor besar-besaran yang menurutnya melampaui kebutuhan domestik itu akan memukul harga beras dari petani.
 
"Pemerintah berencana untuk mengimpor tiga juta ton beras pada awal tahun guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dampaknya harga beras turun di tingkat konsumen ataupun produsen. Ini keputusan impor yang serampangan, tanpa dasar, tanpa data, dan tanpa perhitungan," tegasnya.
 
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya mengungkapkan rencana tambahan impor tiga juta ton beras pada 2024 untuk mengatasi defisit beras akibat El Nino.
 
"Beras itu tahun kemarin kita impor sekitar 3,5 juta ton. Sebanyak tiga juta sudah masuk, 500 ribu diharapkan masuk pada Januari ini. Pemerintah sudah memutuskan untuk impor juga di tahun ini sebanyak tiga juta ton, dua juta sedang berproses di Bulog," papar dia.
 
 
Baca juga: Tanam Padi Berjalan Maksimal, Mentan: Biar 3 Bulan ke Depan Bisa Panen!

 
Hal tersebut, jelas dia, dilakukan untuk mengurangi dampak dari El Nino yang mengakibatkan defisit beras nasional hingga 2,3 juta ton. Pemerintah tak punya jalan lain untuk memenuhi kekurangan beras itu selain lewat impor beras.
 
Sementara itu, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyampaikan kebijakan impor yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk mengatasi defisit beras mengingat saat ini stok beras di Bulog tinggal 1,4 juta ton.
 
Ia menuturkan, akibat El Nino, Indonesia kekurangan 2,8 juta ton beras. Padahal, kebutuhan untuk satu bulan sekitar 2,5 juta ton sampai 2,6 juta ton.
 
Percepatan impor, ucapnya, berkaitan dengan persiapan kebutuhan untuk program stabilisasi pasokan dan harga pangan menjelang Ramadan dan Lebaran 2024.
 
"Mohon maaf harus mengambil keputusan pahit harus mengimpor, tapi ini impor yang terukur. Importasi ini masuk ke gudang Bulog dan akan dipakai untuk intervensi pemerintah, seperti bantuan pangan, kemudian stabilisasi pasokan dan harga pangan," jelas Arief. (Naufal Zuhdi)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan