Lifting minyak yang semula diasumsikan 625 ribu barel per hari naik menjadi 635 ribu barel per hari. Adapun harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia crude price (ICP) naik menjadi USD82 per barel dari sebelumnya USD80 per barel.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, faktor terbesar pendorong perubahan asumsi itu disebabkan oleh kebijakan Arab Saudi dan Rusia yang menahan produksi minyak mentah dan mengakibatkan kenaikan harga minyak dunia.
"Beberapa minggu terakhir harga minyak melonjak, bahkan sekarang naik di sekitar USD90 per barel," kata dia dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR, Kamis, 7 September 2023.
Dari data yang dihimpun Media Indonesia, harga minyak mentah dunia pada Jumat, 8 September 2023 tercatat melemah setelah mengalami kenaikan sekitar dua pekan. Harga minyak mentah WTI (West Texas Intermediate) tercatat turun 0,10 persen menjadi USD86,78 per barel dan harga minyak mentah Brent turun 0,14 persen menjadi USD89,79 per barel.
Harga tertinggi minyak mentah tercatat terjadi pada Rabu, 6 September 2023 yakni USD87,54 per barel untuk minyak mentah WTI dan USD90,6 per barel untuk minyak mentah Brent. Kenaikan harga minyak dipicu oleh keputusan Arab Saudi dan Rusia yang memperpanjang pengurangan pasokan minyak hingga 1,3 juta barel per hari hingga akhir 2023.
Perubahan asumsi lifting dan harga ICP untuk RAPBN 2024 itu turut mengubah postur anggaran di tahun depan. Perubahan tersebut turut mengerek perkiraan pendapatan negara sebesar Rp21 triliun dari Rp2.781,3 triliun menjadi Rp2.802,3 triliun.
Kenaikan pendapatan negara tersebut berasal dari prakiraan kenaikan penerimaan pajak sebesar Rp2 triliun menjadi Rp1.989,9 triliun dari sebelumnya Rp1.986,9 triliun. Sebanyak Rp19 triliun sisanya diperkirakan berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menjadi Rp492 triliun.
Baca juga: Sri Mulyani Incar Pendapatan Negara hingga Rp2.781 Triliun dalam RAPBN 2023 |
Selain mengubah perkiraan pendapatan negara di tahun depan, perubahan asumsi lifting minyak dan ICP turut mengerek proyeksi belanja negara. Kenaikan didorong oleh kebutuhan subsidi energi sebesar Rp3,2 triliun dari Rp185,9 triliun menjadi Rp189,1 triliun.
Kenaikan subsidi energi itu terjadi pada jenis subsidi bahan bakar minyak (BBM) tertentu sebesar Rp0,1 triliun dari Rp25,7 triliun menjadi Rp25,8 triliun. Kenaikan subsidi untuk elpiji tabung 3 kilogram diperkirakan naik Rp3,1 triliun dari Rp84,3 triliun menjadi Rp87,5 triliun. Dus, belanja negara diproyeksikan bakal naik menjadi Rp3.325,1 triliun dari sebelumnya Rp3.304,1 triliun.
Kendati terjadi perubahan dalam postur RAPBN 2024, defisit anggaran diperkirakan tetap sama dari usulan sebelumnya, yakni 2,29 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), setara Rp522,8 triliun. "Artinya kenaikan ini (pendapatan dan belanja) tidak mengurangi defisit. Defisit tetap dijaga Rp522,8 triliun secara nominal atau secara PDB 2,29 persen," jelas Sri Mulyani.
Sementara itu, asumsi makro lain untuk RAPBN 2024 sejauh ini masih sama seperti yang diusulkan pemerintah, yaitu pertumbuhan ekonomi di angka 5,2 persen, inflasi 2,8 persen, suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun 6,7 persen, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat Rp15 ribu, dan lifting gas 1.033 ribu barel setara minyak per hari.
Ketua Banggar DPR Said Abdullah menyampaikan, perubahan asumsi lifting dan harga minyak ICP dalam asumsi makro RAPBN 2024 masih relevan dan rasional. Menurutnya, penyesuaian perlu dilakukan untuk mengikuti dinamika perekonomian global. Di saat yang sama, naiknya asumsi lifting minyak mentah juga diyakini akan mempertebal dompet pemerintah di tahun depan.
"Ini lebih didasari agar pemerintah bisa mendorong keran investasi lebih besar pada sektor hulu. Dengan produksi minyak bumi lebih besar, pemerintah memiliki dompet lebih tebal, devisa lebih kuat, serta untuk melindungi rakyat di sektor hilir dari lonjakan harga minyak dunia," ujarnya.
Perubahan postur RAPBN harus komprehensif
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai perubahan asumsi lifting minyak dan ICP itu mestinya juga diikuti dengan perubahan asumsi makro lain. Hal itu juga selayaknya diikuti dengan perubahan postur RAPBN secara komprehensif.
Sebab, menurutnya, kenaikan harga minyak mentah dunia dapat berimbas pada harga-harga di sektor lain. Bila itu dibiarkan terjadi, konsekuensi yang menanti ialah kenaikan inflasi dan melemahnya daya beli masyarakat.
"Karena kalau menaikkan ICP, dari sisi belanja subsidi sudah ada kenaikan. Sementara dari sisi pendapatan belum tentu terjadi, di mana kenaikan harga minyak akan menyeret harga batu bara, CPO, atau nikel. Kalau yang terjadi justru ialah decoupling, antara harga minyak mentah naik sementara batu bara melandai, maka akan ada dampak negatif kepada PNBP, terutama di sektor batu bara, perkebunan, dan barang tambang lainnya," terang Bhima.
"Jadi merevisi itu penting, terutama banyak sekali asumsi seperti pertumbuhan ekonomi dengan harga minyak mentah naik, belanja subsidi semakin banyak. Harusnya pertumbuhan ekonomi targetnya bisa lebih moderat. Misal 4,9-5 persen. Jadi asumsi lain semestinya ikut diubah, termasuk soal kurs," lanjutnya.
Bhima turut menekankan agar penaikan asumsi ICP tak hanya didasari alasan untuk memperbesar anggaran subsidi energi, utamanya BBM dengan tujuan politis menjelang pemilu. Hal itu menurutnya perlu diperhatikan dan dikawal agar kebijakan anggaran negara tak digunakan untuk menunjang kepentingan golongan-golongan tertentu.
"Jangan sampai itu dinaikkan karena ada alasan politis di belakangnya, yaitu untuk menaikkan subsidi BBM, misalnya, sehingga masyarakat itu bisa membeli BBM dengan harga terjangkau karena alasan politik mendekati pemilu," tutur dia.
Baca juga: Pemerintah Pede Target Kemiskinan Ekstrem Capai 0% pada 2024 |
Sementara itu, periset dari Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan, pemerintah dan DPR mesti bisa membaca pergerakan perekonomian global ke depan. Itu dapat dilakukan dengan meningkatkan fleksibilitas anggaran tahun depan.
Hal tersebut bertujuan agar APBN nantinya mampu menghadapi ketidakpastian ekonomi dunia yang diperkirakan masih akan terjadi di 2024. "Fleksibilitas dari perubahan APBN 2024 juga menjadi hal yang perlu dipertimbangkan," ujar dia saat dihubungi, Sabtu, 9 September 2023.
APBN yang fleksibel, lanjut Yusuf, menjadi salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memitigasi ketidakpastian global, utamanya terkait dengan harga minyak mentah dunia. Sebab, imbuhnya, bila nantinya asumsi makro yang bakal disepakati berbeda jauh dengan realitasnya, pengelola keuangan negara dapat segera melakukan penyesuaian.
"Perlu diperhatikan sebenarnya ialah perkembangan atau dinamika dari harga minyak itu sendiri. Karena harga minyak ini tentu juga akan ikut memengaruhi sensitivitas perubahan dari beberapa asumsi makro dan juga target penerimaan dan belanja di APBN. Sehingga perubahan pada APBN nanti itu juga menurut saya menjadi penting, apalagi jika deviasi dari target dan realisasi itu sangat berbeda jauh," lanjut Yusuf.
Senada dengan Yusuf, Ekonom Makroekonomi dan Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky memandang perubahan asumsi lifting minyak dan ICP cukup relevan. Pasalnya, kebijakan yang diterapkan Arab Saudi dan Rusia akan memengaruhi harga dan volume minyak dunia. Koreksi dari asumsi tersebut, menurutnya, merupakan langkah antisipasi.
"Apa yang dilakukan Arab Saudi dan Rusia akan memengaruhi pasokan minyak global sehingga lifting ini perlu terus ditingkatkan. Jadi memang koreksi ini ke atas ini cukup realistis, dan kenaikannya tidak signifikan," jelas dia.
"Yang perlu dicermati dari asumsi makro selain harga minyak ialah kita perlu lihat asumsi pertumbuhan ekonomi yang 5,2 persen. Itu memang lebih rendah dari target pertumbuhan 2023 yang 5,3 persen karena salah satunya ialah ketidakpastian global saat ini masih tinggi," ujar Riefky.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News