Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Ilustrasi. Foto: Medcom.id

Saham Masa Depan Membeku di Era Tech Winter

Fetry Wuryasti • 17 April 2023 11:43
GEGAP gempita menyambut kehadiran saham yang berorientasi masa depan sempat menjadi hype dalam masa dua tahun lalu. Perusahaan yang mengusung isu keberlanjutan, pemanfaatan teknologi digital dan data, serta transisi energi menjadi buruan.
 
Namun, kondisi hari ini berbeda sejak setahun lalu. Saham-saham yang mengusung prospek bisnis masa depan tersungkur. Sebut saja saham emiten teknologi dan e-commerce seperti Gojek Tokopedia (Goto) dan Bukalapak yang berada di level terendahnya, atau saham Pertamina Geothermal Energy (PGEO) yang belum mampu kembali ke harga IPO-nya. Demikian juga dengan saham-saham bank digital yang berkebalikan dengan bank konvensional yang sahamnya meroket. Kini saham bank-bank digital harus berjuang untuk tidak turun lebih dalam.
 
Dinamika perekonomian dunia yang kini melakukan pengetatan moneter akibat inflasi, kenaikan bahan bakar, harga pangan, dan hambatan distribusi perdagangan akibat fragmentasi tensi politik, membuat investor kembali merevisi dan memilah berhati-hati terhadap perusahaan yang akan mereka suntikkan dana.

PT Goto Gojek Tokopedia Tbk (Goto) menjadi contoh paling epic mewakili saham berbasis prospek masa depan yang sahamnya turun sejak IPO setahun lalu. Bahkan, di bottom line, perusahaan ini mencatatkan kenaikan rugi bersih 56 persen dari posisi 2021, yaitu Rp40,4 triliun.
 
Sejak listing di Bursa Efek Indonesia pada 11 April 2021 di harga Rp376 per saham, kini setahun kemudian, pada 14 April 2022, harga saham Goto bertengger di Rp92 per saham, merosot 75,53 persen. Kapitalisasi pasarnya pun kini sebesar Rp108,96 triliun, jauh turun dari saat IPO dengan nilai kapitalisasi Rp400,31 triliun.
 
Baca juga: Pasar Modal Berdampak Besar ke Pertumbuhan Ekonomi, Ini Penjelasannya!

Rugi bersih Goto

CEO Goto Andre Soelistyo mengatakan angka rugi bersih tersebut tidak bisa ditelan begitu saja baik sebagai penurunan kinerja maupun inefisiensi. Pasalnya, kinerja Goto tumbuh positif, dan bahkan kerugian di penyesuaian EBITDA menurun.
 
"Itu ialah tahun yang mengubah pemikiran kami dan menunjukkan bagaimana kami harus beroperasi," kata Soelistyo pada konferensi pers kinerja tahunan.
 
Meski perusahaan masih rugi, Soelistyo melihat tanda kemajuan menuju profitabilitas, dengan membuat kemajuan dalam mengurangi biaya insentif dan pemasaran produk sebesar 34 persen menjadi Rp2,8 triliun selama kuartal IV-2022.
 
Dikutip dari Financial Times, analis mengatakan tantangan Goto lebih dari sekadar pemangkasan keuangan, bahwa perusahaan harus meningkatkan fundamentalnya untuk mulai menghasilkan uang.
 
CEO Momentum Works, Jianggan Li, konsultan yang berbasis di Singapura mengatakan Goto mengumumkan akan memajukan target profitabilitas, tetapi perusahaan menghadapi modal yang sangat menantang dan lingkungan yang kompetitif, menuntut profitabilitas, bukan pertumbuhan yang cepat.
 
"Tantangan sebenarnya ialah mereka bersaing di banyak bidang dengan pesaing regional yang lebih besar yang juga memiliki posisi kas yang lebih baik," kata Jianggan.
 
Dalam laporan keuangan Goto disebutkan kerugian akibat penurunan nilai goodwill sebanyak Rp11 triliun. Beban ini baru muncul pada kinerja 2022. Nilai goodwill merupakan hasil dari bergabungnya Gojek dan Tokopedia pada 2021, dan menghasilkan selisih angka yang mencerminkan nilai wajar dan nilai pasar perusahaan pada saat itu.
 
Dua tahun lalu saat merger, valuasi perusahaan meningkat pesat sejalan dengan ekspektasi investor terhadap prospek bisnis masa depan. Kondisi ini berbalik arah ketika inflasi tinggi dan bank sentral menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Di era tech winter, valuasi perusahaan teknologi ikut turun yang berdampak pada perubahan nilai goodwill.
 
Baca juga: Strategi Ampuh dan Tepat Beli Saham di Bulan Ramadan

Saham bank digital juga goyang

Goyangnya perusahaan teknologi akibat tech winter, juga berimbas pada sentimen terhadap segmen saham bank digital. Saham Bank Jago Tbk (ARTO) pernah memetik periode emas selama sekitar satu tahun sejak Januari 2021, ketika kondisi pandemi covid-19 berada di puncak akibat virus varian delta yang ganas sehingga semua aktivitas transaksi keuangan mengandalkan digital.
 
Pada 8 Januari 2021, saham ARTO berada pada level harga Rp3.549,53 per saham, setelah bertahan di kisaran Rp2.200 per saham selama 2020. Berlanjut, puncak pertama mereka raih pada level Rp11.375 pada 12 Maret 2021, naik 220,46 persen hanya dalam waktu tiga bulan.
 
Puncak kedua ARTO raih pada level Rp17.950 per saham pada 30 Juli 2021, naik 57,8 persen dalam empat bulan dan 405,7 persen sejak awal tahun (ytd). Puncak final ARTO raih pada level harga Rp19 ribu pada 21 Januari 2022, naik 5,85 persen dari puncak kedua, dan total meroket 435,28 persen dari Januari 2021.
 
Pola serupa terjadi pada PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) yang naik ke level harga Rp1.505,51 (+185,22 persen) hanya dalam waktu tiga minggu dari Rp527,85 per saham pada 23 Juli 2021. Kemudian, mencapai puncak harga Rp2.800 (+85,98 persen) pada 24 Desember 2021.
 
Masa di puncak lebih panjang dinikmati PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI), yang menyentuh level tertinggi di harga Rp6.500 pada 28 April 2022 (+802,89 persen) dari Rp719,91 pada 2 Juli 2021, pascabalik nama hasil akuisisi dari Bank Harda di 30 Juni 2021.

Masuki normalisasi

Pada 2022 menjadi tahun normalisasi dari euforia sektor digital. Setelah 2020 dan 2021 melakukan ekspansi dan perekrutan besar-besaran, mayoritas perusahaan teknologi dan rintisan belum sempat membukukan laba bersih, dan dihantam dengan tren kenaikan suku bunga sentral dan sentimen inflasi. Padahal, perusahaan tersebut mayoritas masih butuh pendanaan untuk dapat beroperasi dalam jangka panjang.
 
Bank Indonesia total sejak Agustus 2022 hingga Januari 2023 menaikkan suku bunga 225 basis poin atau 2,25 persen, untuk menyeimbangkan kenaikan suku bunga bank sentral AS dengan total 425 basis poin, atau 4,25 persen sepanjang 2022.
 
Ini berdampak pada rontoknya saham sektor digital. Pada ARTO, dari titik tertingginya, saham merosot bebas ke harga Rp2.200 per 14 April 2023, atau merosot 88,42 persen, sedangkan BBYB amblas 79,46 persen ke harga Rp575 per 14 April 2023, dari puncak tertingginya. BBHI pun terimbas badai dan rontok 78,76 persen ke harga Rp1.380 per saham dari titik tertingginya.
 
Sejak 2022, para perusahaan ventura sudah mengimbau kepada startup untuk mengurangi perekrutan karyawan, bakar uang, dan perpanjang runaway. Dengan penurunan saham teknologi dan Nasdaq pada kuartal terburuk kedua sejak krisis keuangan 2008, investor memberi tahu perusahaan portofolio mereka, dan mereka tidak akan terhindar dari dampak tersebut, bahkan kondisi itu bisa memburuk.
 
Sequoia Capital, perusahaan ventura yang dikenal dengan investasinya di Google, Apple, dan Whatsapp, menerbitkan memo terkenal berjudul R.I.P. Good Times, menyatakan kepada startup bahwa "pengetatan menjadi keharusan" bersama untuk menjaga arus kas yang positif.
 
Sequoia mengatakan waktu itu, pengetatan suku bunga, inflasi, dan kenaikan harga bahan bakar dan pangan, pandemi yang berlangsung, dan konflik geopolitik membuat perekonomian butuh waktu lebih lama untuk pulih, tidak dapat diprediksi jangka waktunya, dan menyarankan perusahan teknologi untuk bersiap dan menghadapi "musim dingin" sebab rentetan ini membuat investor takut akan inflasi yang tidak terkendali, kenaikan suku bunga, dan resesi sekaligus.

Masih tetap optimistis

Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin mengatakan masih optimistis terkait dengan investasi jangka panjang Mandiri Capital Indonesia (MCI) di Goto.
 
MCI merupakan anak perusahaan dari Bank Mandiri, sebagai perusahaan modal ventura yang berinvestasi di berbagai startup yang berhubungan dengan bisnis perbankan, sistem pembayaran, dan teknologi finansial untuk mempelajari model bisnisnya.
 
"Kami mempelajari Goto itu bisnisnya apa saja, kemudian Amarta bisnisnya seperti apa, demikian juga dengan Koin Works dan Privy.id," kata Siddik.
 
Langkah berinvestasi di Goto, karena menurut hemat Bank Mandiri, emiten tersebut merupakan suatu franchise yang luar biasa bernilai, dan merupakan kombinasi dari dua perusahaan giant sektor teknologi di Indonesia, yaitu Tokopedia dan Gojek. Perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Amazon, Google, dan lain-lain pun juga butuh waktu untuk mengasilkan profit.
 
Investasi di sana harus dilihat untuk jangka panjang potensinya. MCI akan mempertahankan investasi di Goto ke depannya. Dalam opini mereka, investasi itu akan terbayarkan di masa mendatang.
 
"Seperti semua perusahaan teknologi, akan ada waktu di mana investasi harus dilakukan, kemudian bagaimana memonetisasi dari bisnisnya di kemudian hari. Investasi ini harus dilihat jangka menengah dan tidak bisa jangka pendek. Kami terus memonitor manajemen perusahaan untuk mempercepat profit. Itu opini kami sebagai salah satu pemegang saham," kata Siddik.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan