Kendaraan listrik saat ini tengah digandrungi hampir semua negara di dunia. Bukan tanpa sebab, kendaraan ini menjadi salah satu upaya dalam menekan pemanasan global yang kian menjadi-jadi, karena ramah lingkungan dan rendahnya emisi karbon yang dihasilkan.
Maklum, kendaraan berbahan bakar fosil menjadi salah satu penyebab terbesar pemanasan global imbas pelepasan karbon dioksida (CO2). Karenanya, dunia saat ini tengah ditekan untuk mengurangi emisi karbon lewat penggunaan kendaraan listrik.
Hal tersebut menjadi peluang bagi Indonesia untuk berbisnis, menarik investasi, yang pada akhirnya bisa mempercepat impian jadi negara maju. Itu dilakukan pemerintah dengan menjadi produsen baterai kendaraan listrik, melihat melimpahnya cadangan nikel di dalam negeri.
Kepedean pemerintah
Presiden Joko Widodo (Jokowi) optimistis Indonesia bakal menjadi sumber baterai bagi produsen kendaraan listrik dunia. Kondisi ini otomatis akan membuat negara-negara lain bakal ketergantungan dengan Indonesia.
Banyak negara yang akan bergantung dengan Indonesia karena sumber daya alam yang tersedia di beberapa lokasi. Bahkan, produsen otomotif global akan mengincar baterai buatan Indonesia karena punya material untuk produksi baterai.
"Nikel kita kita nomor satu, timah nomor dua, bauksit nomor enam, tembaga nomor tujuh dunia. Punya semuanya," tegas Jokowi dengan pedenya.
Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan Indonesia akan menjadi tiga pemain besar di dunia dalam hal produksi baterai kendaraan listrik.
Hal itu didukung dengan ditandatanganinya pembangunan baterai kendaraan listrik antara CATL dan holding BUMN Industri Pertambangan MIND ID.
Jika pengembangan baterai listrik melalui pembangunan pabrik sudah berjalan, Luhut menyatakan Indonesia akan mulai memproduksi baterai kendaraan listrik pertama pada 2025.
Kemudian pada 2027, diprediksi Indonesia menjadi salah satu tiga besar pemain dunia yang memproduksi baterai kendaraan listrik.
"Baterai pertama kita produksi pada 2025 dan di 2027 kita jadi salah satu tiga besar dunia yang produksi baterai kendaraan listrik," tuturnya.
Baca juga: Kemarin Pede Banget, Sekarang Malah Kesulitan Rajai Baterai Kendaraan Listrik |
Terkendala karena tak punya litium
Sayangnya, semua mimpi tersebut hanya akan menjadi angan-angan jika Indonesia tak bergerak mencari partner. Pasalnya, Indonesia tidak memiliki sumber daya alam litium sebagai bahan dasar baterai kendaraan listrik, selain nikel.
Kondisi ini membuat pemerintah tertunduk lesu. Luhut bilang, meski kaya akan nikel dengan 52 persen cadangan berasal dari Indonesia, hal ini dianggap belum mampu menjadikan Indonesia sebagai raja baterai kendaraan listrik dunia.
"Ini karena kita tidak punya litium yang notabene menjadi bahan utama pengembangan industri baterai kendaraan listrik," jelas dia.
Jokowi juga sama, Kepala Negara tertunduk lesu lantaran Indonesia kurang litium dalam mengembangkan baterai kendaraan listrik. "Membangun ekosistem baterai kendaraan listrik, kita hanya kurang litium, enggak punya," akunya.
Gandeng Australia
Keputusasaan tersebut akhirnya terjawab, karena Australia ternyata punya banyak cadangan litium. Maka dari itu, Indonesia butuh dukungan Australia untuk menjadi pemain baterai kendaraan listrik skala dunia.
"Saat ini Indonesia berfokus untuk mengembangkan dan memperluas industri hilir, dalam hal ini industri baterai litium. Untuk memenuhi target, kami menjadi produsen baterai litium terbesar di dunia, kami berharap dapat meningkatkan impor litium dari Australia," kata Luhut.
Luhut memaparkan pada 2021, Indonesia-Australia telah menandatangani pernyataan bersama tentang Kerja Sama Ekonomi Hijau dan Transisi Energi. Oleh sebab itu, ia berharap kolaborasi itu akan mendatangkan manfaat ekonomi bagi kedua negara.
"Sehingga kita bisa bersama-sama berkontribusi terhadap pertumbuhan kebutuhan industri baterai secara global. Semoga pertemuan saya dengan PM Albanese di Gedung Parlemen Australia kali ini, hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia, khususnya di sektor ekonomi, terjalin lebih kuat dan konstruktif bersama-sama," ujar Luhut.
Sebelum bertemu Albanese, Luhut juga bertemu dengan para pengusaha litium Australia untuk menjajaki peluang kerja sama pengembangan baterai kendaraan listrik.
"Di hadapan para pengusaha litium, saya sampaikan Australia adalah kandidat terbaik dan partner potensial kami untuk mengembangkan industri baterai EV karena setengah dari litium dunia ada di 'Negeri Kangguru'," katanya.
Baca juga: Indonesia Ingin Impor Lebih Banyak Lithium dari Tetangga |
Kebutuhan tembaga
Di kesempatan berbeda, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) Tony Wenas mengungkapkan tembaga juga merupakan komponen penting dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
"Tembaga adalah salah satu komponen penting juga dalam ekosistem kendaraan listrik, terutama baterai. Di dunia ini, 65 persen sampai 70 persen tembaga itu digunakan untuk menghantarkan listrik," katanya.
Ia menuturkan, dengan perannya untuk menghantarkan listrik, kebutuhan tembaga di kendaraan listrik juga sangat krusial. Ia menyebut kendaraan listrik akan menggunakan tembaga sekitar empat hingga lima kali lebih banyak ketimbang mobil konvensional.
Ia mencontohkan, pembangkit listrik bertenaga angin (pembangkit listrik tenaga bayu/PLTB) yang membutuhkan tembaga hingga 1,5 ton untuk menghantarkan setiap megawatt. Demikian pula PLTS atau solar panel yang membutuhkan 3-4 ton tembaga untuk setiap megawattnya.
"Mobil listrik empat kali lipat. Jadi memang ke depannya tembaga ini akan jadi salah satu mineral utama untuk mendukung renewable energy dan untuk mendukung ekosistem EV yang sedang dicanangkan pemerintah," katanya.
Karena itu, sambungnya, upaya yang dilakukan PT Freeport yang tengah membangun smelter kedua di Gresik, Jawa Timur, sejalan dengan program pemerintah yang ingin mewujudkan hilirisasi untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik.
"Kita punya banyak nikel, kita punya banyak tembaga, kita punya cukup kobalt, dan juga kita punya bauksit yang cukup banyak. Ini elemen-elemen yang dibutuhkan untuk satu ekosistem kendaraan listrik dan renewable energy," ujarnya.
Jadi, sebenarnya Indonesia bisa saja merajai industri baterai kendaraan listrik dunia. Hanya saja, semua butuh komitmen dan upaya yang lebih dari pemerintah dalam mengajak dan melobi negara lain, yang memiliki banyak cadangan bahan dasar lain dalam memproduksi baterai kendaraan listrik, agar mau bekerja sama.
*Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id*
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News