Ilustrasi energi terbarukan. FOTO: AFP
Ilustrasi energi terbarukan. FOTO: AFP

Transisi Energi Terbarukan di Jalur Cepat

Angga Bratadharma • 03 April 2023 15:05
MEMPERCEPAT transisi energi terbarukan sudah menjadi harga yang tak bisa ditawar lagi bagi Indonesia. Transisi tersebut sangat penting karena bisa berdampak positif terhadap pembangunan berkelanjutan di Tanah Air sekaligus upaya Indonesia berkontribusi menekan terjadinya perubahan iklim demi kepentingan bersama yang lebih besar lagi.
 
Pemerintah mengajak semua pihak terkait untuk turut serta mengawal transisi energi tersebut. Paling baru, sebagai bagian dari perhelatan ASEAN Finance Ministers' and Central Bank Governors' Meeting 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membahas mengenai transisi kegiatan ekonomi dan instrumen keuangan yang berkelanjutan.
 
Tidak ditampik, kawasan ASEAN merupakan salah satu kawasan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim yang diperkirakan berdampak pada perekonomian negara-negara anggotanya. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia tak berdiam diri dan terus melakukan berbagai macam cara agar perubahan iklim bisa ditekan sedemikian rupa.

Sebagai komitmen regional dalam mendukung ASEAN berkelanjutan, Taksonomi ASEAN Berkelanjutan (ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance/ATSF) diperbaharui dan diterbitkan pada 27 Maret 2023, dengan berfokus pada sektor energi, salah satu sektor dari enam fokus sektor pada ATSF. Pembaharuan menunjukkan komitmen ASEAN mewujudkan ekonomi rendah karbon.
Baca: Guys, Yuk Simak Ini Cara Bukber Kekinian Tanpa Bikin Dompet Jebol!

Dengan fokus pada sektor energi, ekonomi regional dan global dapat melihat bagaimana ATSF menarik investasi berkelanjutan, dan bagaimana taksonomi ASEAN yang dikembangkan untuk membiayai transisi merupakan salah satu arah kebijakan menuju transisi bertahap dari bahan bakar fosil menuju sumber energi terbarukan.
 
Karenanya, mandat Keketuaan Indonesia dalam ASEAN dengan tema 'ASEAN Matters: Epicentrum of Growth' menjadi peluang Indonesia untuk menciptakan panduan pembangunan ekonomi berkelanjutan di level global. Apalagi ASEAN juga telah terbukti sebagai kawasan yang stabil dan tangguh yang dapat menunjukkan kemajuan dalam integrasi keuangan.
 
Taksonomi ASEAN adalah contoh nyata bagaimana anggota ASEAN memastikan kawasan ini tetap menarik bagi investor. Setidaknya ada tiga isu penting dan relevan yang menjadi pembahasan utama dalam Taksonomi ASEAN Versi II yakni pertama mekanisme transisi energi terbarukan yang menjadi roda pertumbuhan ekonomi ke depan.
 
Kedua, dukungan pembiayaan transisi berkelanjutan yang bermanfaat bagi seluruh negara anggota ASEAN. Ketiga, prinsip adil dan terjangkau yang wajib mendasari mekanisme transisi energi hijau.

Mengurangi emisi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah kesempatan menyampaikan Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN berkomitmen untuk mengurangi emisi CO2. Pemerintah Indonesia juga sudah memperkuat Nationally Determined Contribution (NDC) dari 29 persen menjadi 31,8 persen jika menggunakan sumber pendanaan domestik.
 
Dengan upaya dan dukungan global, Indonesia mampu meningkatkan pengurangan CO2 dari 41 persen menjadi 43,2 persen. Dalam melaksanakan NDC ini, salah satu aspek yang paling penting adalah transisi energi. Sri Mulyani pun mengapresiasi OJK yang memberikan kerangka mengenai bagaimana taksonomi Indonesia untuk mobilisasi berbagai pendanaan dari sektor swasta.
 
"Terutama untuk pendanaan berkelanjutan dan juga untuk mekanisme transisi energi," kata Sri Mulyani.
 
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyampaikan OJK berkomitmen mendorong pelaksanaan transisi energi terbarukan di ASEAN. OJK senantiasa aktif menyampaikan pentingnya untuk terus mendukung transisi energi secara bertahap, khususnya penghentian secara bertahap pembangkit listrik tenaga uap batu bara.
 
Kemudian, tambahnya, secara bersamaan memastikan pertumbuhan sosial dan ekonomi ASEAN tidak dikesampingkan. "OJK dan Kementerian Keuangan telah melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dalam menyampaikan pandangan Indonesia dalam setiap pertemuan ASEAN Taxonomy Board," kata Mahendra.

Pamer pencapaian peralihan energi terbarukan

Di sisi lain, pemerintah tampak percaya diri dengan pencapaian yang sudah dilakukan terkait transisi energi. Bendahara Negara Sri Mulyani Indrawati, misalnya, sempat memamerkan upaya dan pencapaian peralihan energi terbarukan di Munich Security Conference 2023.
 
Konferensi ini merupakan forum informal yang jadi ajang terobosan politik keamanan baru, dengan mempertemukan para pembuat kebijakan dan pejabat keamanan global. Menurutnya Indonesia berpeluang dan berpotensi sangat besar dalam proses peralihan energi terbarukan. Ini karena Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya energi alternatif.
 
"Cadangan energi panas bumi kita merupakan yang paling banyak di dunia karena terletak pada Ring of Fire. Kita bahkan memiliki 800 sungai yang dapat menyediakan tenaga hidro," sebut Sri Mulyani.
Baca: Asyik, Sejumlah Emiten Ini Bakal Tebar Dividen! Ada yang Kamu Punya?

Sri Mulyani menambahkan, transisi kendaraan listrik juga menjadi peluang besar bagi Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia. Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia terus memperbaiki iklim investasi bisnis sehingga investor akan datang untuk membangun smelter dan bahkan membuat kendaraan listrik serta baterai.
 
"Jadi, Indonesia memainkan peranan penting di tengah perubahan yang sangat signifikan ini," ujarnya.
 
Namun, kala itu Sri Mulyani tak hanya pamer. Sebab, ia juga menggarisbawahi komitmen pemerintah untuk membenahi berbagai kebijakan agar dapat melakukan proses transisi energi ke arah yang lebih terbarukan sekaligus restrukturisasi industri sehingga Indonesia dapat mengantisipasi tren peralihan energi kedepannya.
 
Menkeu pun mengungkapkan posisi Indonesia terkait penerapan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), merupakan instrumen yang dikenakan terhadap produk impor ke negara Uni Eropa apabila proses produksinya dianggap menimbulkan emisi CO2.
 
Sri Mulyani menjelaskan, penerapan CBAM akan memberikan peluang bagi banyak negara termasuk Indonesia yang memiliki ambisi sangat tinggi dalam peralihan energi jika instrumen tersebut memberikan keleluasaan bagi negara berkembang untuk bisa menyesuaikan diri sekaligus menggali potensi mereka di bidang energi terbarukan.

Mitigasi dampak perubahan iklim

Lebih lanjut, Sri Mulyani mengungkapkan sejumlah strategi Indonesia dalam memitigasi dampak perubahan iklim. Hal itu dilakukan supaya pertumbuhan ekonomi di dalam negeri terus berkelanjutan. "Mencakup pembuatan pasar karbon dan pajak karbon. Kita juga memakai dukungan fiskal," katanya.
 
Adapun dukungan keuangan itu terkait dukungan transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan. Teranyar, Indonesia mengamankan bantuan internasional. "Pada G20 Indonesia menandatangani kerja sama senilai USD20 miliar untuk transisi dan harus direalisasikan," ujar dia.
 
Sri Mulyani mengaku transisi energi bukan perkara mudah. Banyak tantangan menanti seperti perkembangan situasi global. "Tapi komitmen menuju energi baru terbarukan dan mengurangi energi fosil adalah jalannya," papar dia.
Baca: Sstt, Ini Ternyata Kunci Pertumbuhan Berkelanjutan Indonesia di Tengah Ancaman Resesi!

Tak hanya itu, Sri Mulyani menambahkan, terdapat hal positif soal keuangan transisi energi yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini, beberapa lembaga internasional mengaku siap membantu agenda tersebut. "ADB (Asian Development Bank) dan World Bank berkomitmen untuk support financial terkait agenda perubahan iklim dan transisi serta adaptasi," kata Sri.
 
Ia mengatakan Presiden ADB bahkan sudah berjanji menggelontorkan USD100 juta. Bantuan itu diyakini menggenjot transisi energi bagi anggota ADB termasuk Indonesia. Sementara itu, World Bank telah membuat pernyataan mendukung agenda tersebut.
 
Dirinya menyebut tugas Indonesia dan negara ASEAN berikutnya adalah menjalankan transisi dengan maksimal. Caranya dengan membuat kerangka kerja yang jelas. "Kita akan terus bekerja sama termasuk dengan institusi internasional untuk mendesain transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan," ucap dia.
 
Sri Mulyani menuturkan seluruh dukungan itu melengkapi perjuangan Indonesia secara khusus. Sebab, Indonesia telah meneken kerja sama USD20 miliar untuk program serupa dalam Presidensi G20 tahun lalu. "Ini butuh dikerjakan dan diterjemahkan. Bantuan dari ADB, World Bank, dan filantropi internasional akan sangat penting," ucap dia.

Membentuk ekosistem sinergis

Sementara itu, Kementerian ESDM juga berkomitmen untuk mempercepat transisi energi dengan membentuk ekosistem yang sinergis dan terintegrasi antara pemerintah, media, akademik, industri (BUMN dan swasta) dan masyarakat.
 
"Dengan membentuk ekosistem yang sinergitas melalui konsep pentahelix antar pemangku kepentingan kita mempercepat pengembangan energi baru terbarukan dan konservasi energi dalam transisi energi di Indonesia," ungkap Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi.
 
"Sehingga memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan," tambahnya.
 
Pemanfaatan potensi energi baru terbarukan Indonesia masih sangat perlu didorong peningkatan pemanfaatannya. Potensi EBT Nasional tercatat 3.689 GW, yang terdiri atas surya, hidro, bioenergi, angin, panas bumi dan laut serta tersebar di berbagai wilayah indonesia. Total pemanfaatan yang telah dilakukan 12.557 MW atau baru sekitar 0,3 persen dari total potensi.
 
Tak hanya itu, dalam mendukung percepatan transisi energi di dalam negeri, pemerintah juga sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Pengembangan Proyek EBT. Hal itu guna mendorong target jangka menengah untuk penurunan emisi Indonesia 2030.
 
Adapun transisi energi menunjukkan komitmen Indonesia untuk memperluas akses terhadap teknologi yang terjangkau dan bersih guna mendorong pemulihan ekonomi yang berkelanjutan dan lebih hijau. Pemerintah telah meningkatkan target komposisi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dalam bauran energi menjadi sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050.
Baca: Berikut 3 Saham Pilihan untuk Jemput Rejeki di Awal Pekan Ini

Anggota DEN Musri menegaskan pemerintah berkomitmen penuh mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat. Komitmen tersebut juga harus dituangkan dalam regulasi yang bersifat lintas sektoral. "Dalam upaya mewujudkan ketahanan energi dan dekarbonisasi untuk mencapai NZE 2060 di Indonesia maka perlu disusun peta jalan transisi energi," jelas Musri.
 
Tahapan menuju NZE menuntut pengurangan konsumsi energi fosil, khususnya bahan bakar minyak dan batu bara secara masif dan berkelanjutan serta mendorong EBT. Selain itu bagaimana tren yang diperkirakan terjadi di masa percepatan transisi energi mendorong investasi dalam mengkomersialisasikan teknologi energi baru yang bersih, seperti CCUS dan hidrogen.
 
Pada konteks ini, universitas dan akademisi juga mempunyai peran penting untuk terus melakukan riset dan penelitian yang dapat dilakukan sendiri atau berkolaborasi khususnya teknologi energi untuk mendorong program transisi energi di Indonesia.
 
Dekan Fakultas Teknik Universitas Halu Oleo Edward Ngii menyampaikan dukungan program transisi energi dengan terus mendorong penggunaan energi bersih khususnya mendukung ketahanan dan kemandirian energi. Edward juga mendorong kedepannya peran akademisi untuk terus dapat beradaptasi dan mampu menciptakan inovasi-inovasi penelitian.
 
"Ataupun riset teknologi energi khususnya dalam pengembangan EBT di Indonesia," pungkasnya.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan