Strategi ini juga telah menjadi komitmen bersama negara-negara G20 dalam KTT di Bali November 2022 lalu. Meskipun demikian, Indonesia perlu mengantisipasi dampak strategi baru ini terhadap bisnis UMKM, mengingat UMKM memiliki keterbatasan sumber daya internal untuk mentransformasikan usahanya.
Trade and Industry Brief edisi Januari 2023 ini membahas bagaimana UMKM dapat berperan sejak awal dalam implementasi pilar-pilar ekonomi hijau, meliputi transisi energi, pertanian berkelanjutan, produk hijau, ekonomi sirkular, dan pembiayaan berkelanjutan. Trade and Industry Brief kali ini juga membahas kinerja neraca perdagangan Indonesia yang pada Desember 2022 lalu mencatat surplus USD3,89 miliar, yang merupakan surplus ke-32 bulan berturut-turut, dan sepanjang 2022 juga mencatat surplus USD54,46 miliar.
Peningkatan keterlibatan UMKM dalam strategi ekonomi hijau
Ekonomi hijau dapat dipahami sebagai suatu aktivitas ekonomi yang pertumbuhannya bercirikan rendah karbon, penggunaan sumber daya alam yang efisien, serta inklusivitas sosial. Pada dasarnya, ekonomi hijau dapat mencakup seluruh kegiatan ekonomi baik pada tataran makro maupun mikro, baik pada sektor barang dan jasa maupun keuangan. Beberapa pilar ekonomi hijau meliputi transisi energi, pertanian berkelanjutan, produk hijau, ekonomi sirkular, dan pembiayaan berkelanjutan.Dalam jangka panjang, terjaganya kualitas lingkungan dan terjadinya pemerataan hasil pembangunan diharapkan akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian, dalam jangka pendek, transformasi dunia usaha menuju ekonomi hijau tentunya memerlukan penyesuaian dan menimbulkan konsekuensi biaya.
Baca juga: Kian Cemerlang, Pahami Jurusnya Sebelum Memilih Investasi Hijau |
Oleh karena itu, terdapat kekhawatiran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) akan tertinggal dalam strategi ekonomi hijau karena terbatasnya sumber daya internal untuk melakukan transisi dan terbatasnya akses terhadap sumber daya eksternal. Diperlukan upaya serius dan sistematis untuk melibatkan UMKM dalam pertumbuhan hijau sejak awal. Pelibatan ini penting mengingat peran UMKM yang sangat besar dalam perekonomian, yang saat ini UMKM merepresentasikan 99 persen dari seluruh unit usaha, menyumbang 60,5 persen dari PDB Indonesia, dan menyediakan sekitar 96,9 persen dari total penyerapan tenaga nasional.
Pertama, dalam hal transisi energi perlu pertimbangan tentang sumber energi bersih dan terbarukan yang tersedia secara lokal dan dapat diakses secara mudah oleh UMKM. Terdapat beberapa praktik baik yang dapat menjadi model transisi energi untuk UMKM. Di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, energi biogas yang dihasilkan dari limbah organik seperti kotoran ternak terus dikembangkan untuk mewujudkan kemandirian energi di tingkat desa. Di daerah ini, UMKM yang banyak bergerak pada sektor pengolahan makanan dan minuman dapat memanfaatkan biogas sebagai substitusi LPG. Sebagai contoh, UMKM pengolahan tahu di Kabupaten Gunungkidul telah berhasil memanfaatkan energi biogas dalam proses produksinya.
Kedua, UMKM perlu mendapat pendampingan untuk dapat mengadopsi ekonomi sirkular. Ekonomi sirkular pada dasarnya merupakan pendekatan untuk memperpanjang siklus hidup dari suatu produk, bahan baku, atau sumber daya yang ada, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan, pada akhirnya, mewujudkan nir-sampah (zero waste). Salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam mengurangi sampah oleh produsen diwujudkan dalam Permen LHK 75/2019. Melalui permen ini, pemerintah melarang penggunaan plastik sekali pakai secara nasional yang akan dimulai sejak 1 Januari 2030 dan mendorong upaya daur ulang sampah sebelum tanggal waktu pelarangan tersebut dimulai.
Untuk UMKM, penerapan model ekonomi sirkular pada proses bisnis dapat dilakukan melalui usaha pengelolaan sampah 3R (reduce, reuse, recycle). Terdapat beberapa praktik baik yang telah dilakukan pelaku UMKM, misalnya: UKM Namu yang memanfaatkan limbah industri kayu untuk memproduksi alat makan; Pavettia Skincare yang memanfaatkan limbah industri organik seperti biji pepaya gunung sebagai bahan dasar produk kecantikan; dan Perca Ayu yang memanfaatkan limbah industri tekstil seperti kain perca untuk memproduksi pakaian dan produk fesyen lainnya.
Di Indonesia, ekonomi sirkular secara umum berpotensi menghasilkan tambahan PDB sebanyak Rp593 triliun-Rp638 triliun, menciptakan 4,4 juta lapangan kerja hijau, menurunkan 126 juta ton emisi CO2-ek, mengurangi 18-25 persen limbah di sektor prioritas, dan mengurangi 6,3 miliar m3 penggunaan air pada 2030. Jika dibandingkan dengan perusahaan besar, sebenarnya UMKM memiliki posisi yang lebih baik dalam mengadopsi ekonomi sirkular, mengingat kebanyakan UMKM lebih dekat dengan pengguna akhir (end consumer).
Meskipun demikian, kebanyakan pelaku UMKM di Indonesia masih memiliki keterbatasan pengetahuan mengenai ekonomi sirkular sehingga dibutuhkan upaya pemerintah dalam mendorong adopsinya dengan mempertimbangkan variasi dalam kemampuan adaptasi dan jenis usaha UMKM.
Ketiga, UMKM yang bergerak pada sektor pertanian juga dapat turut berkontribusi dalam perwujudan ekonomi hijau dengan menerapkan pertanian berkelanjutan. Proses produksi pertanian membutuhkan sumber daya dan energi yang besar, dengan sektor pertanian menyumbang 13 persen dari total emisi gas rumah kaca di Indonesia yang berperan pada perubahan iklim. UMKM di bidang pertanian dapat berperan dengan mengurangi penggunaan pestisida dan pupuk kimia dalam proses produksinya.
Baca juga: Lawan Kompetitor, Ini Sembilan Tips Kembangkan UMKM |
Salah satu inisiatif yang perlu dikembangkan lebih lanjut adalah pengendalian hama tanpa menggunakan pestisida, melainkan dengan musuh alami hama serta sistem rotasi tanaman untuk memutus rantai pertumbuhan hama. Dalam pengelolaan nutrisi tanaman, UMKM sektor pertanian dan perkebunan juga dapat menggunakan pupuk organik sebagai alternatif dari pupuk kimia.
Keempat, UMKM juga dapat didorong untuk melakukan inovasi produk hijau. Memanfaatkan peluang yang muncul akibat pengurangan pemakaian plastik, UKM Bukan Plastik telah memproduksi kantong belanja ramah lingkungan yang terbuat dari saripati singkong, serta Bamboo Arum Straw yang memproduksi sedotan ramah lingkungan yang terbuat dari bambu. Selain itu, UKM Deboara Art juga telah menghasilkan produk fesyen dan kerajinan tangan ramah lingkungan yang terbuat dari bahan serat alam dan/atau dengan memanfaatkan teknik ecoprint.
Berbagai produk UMKM tersebut telah dipasarkan bukan hanya secara domestik, tetapi juga telah menjangkau pasar internasional. Potensi komersial dari produk-produk hijau ini sangat besar. Tidak hanya di negara maju, di negara berkembang terdapat tren 23-29 persen konsumen bersedia membayar lebih tinggi produk hijau, yang didasari oleh sikap kepedulian lingkungan dan nilai sosial.
Peran UMKM dalam ekonomi hijau
Seluruh upaya peningkatan peran UMKM dalam ekonomi hijau tersebut tentunya memerlukan dukungan pembiayaan. Kementerian Keuangan telah meluncurkan kerangka kerja dan manual ESG untuk pembiayaan infrastruktur. UMKM dapat memanfaatkan insentif pajak dan subsidi bunga untuk investasi energi terbarukan dan efisiensi energi. Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 23/13/PBI/2021 yang menentukan rasio pembiayaan inklusif bagi perbankan, dan perbankan diwajibkan mengalokasikan suatu persentase dari pinjamannya untuk UMKM.Melalui peraturan tersebut, Bank Indonesia dapat mencapai kedua target (keberlanjutan dan pembiayaan inklusif) dalam satu paket kebijakan. UMKM Indonesia yang mencapai/memenuhi kualifikasi sebagai pelaku bisnis yang hijau/tidak merusak lingkungan dapat memenuhi kualifikasi sebagai penerima pendanaan hijau. Pendanaan hijau ini sendiri dapat diberikan insentif oleh pemerintah dengan tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan dengan pinjaman lain.
Untuk memberikan kejelasan kualifikasi dan standardisasi akan kegiatan usaha yang bersifat 'hijau', telah diluncurkan taksonomi hijau oleh OJK yang merupakan bagian dari peta jalan keuangan berkelanjutan tahap II. Taksonomi Hijau disusun secara struktural berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dan tidak hanya berfokus pada subsektor/kelompok/kegiatan usaha yang dikategorikan sebagai hijau, tetapi disertakan juga sektor/kelompok/kegiatan usaha yang belum terklasifikasi ke dalam kategori hijau.
Taksonomi Hijau juga tetap membuka ruang untuk sektor/kelompok/kegiatan usaha yang belum tercantum di KBLI sesuai klarifikasi dari kementerian terkait.
Analis LPEM FEB UI
Revindo, Rama Vandika, Calista
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News