Dalam rapat kerja Kementerian Perindustrian 2023, akhir pekan lalu, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pihaknya menyiapkan enam langkah untuk menahan laju perlambatan di sektor industri manufaktur itu, mulai fokus pada hilirisasi hingga implementasi industri 4.0.
"Setidaknya terdapat enam langkah yang perlu dijalankan. Pertama, pentingnya menentukan fokus dan prioritas penting dalam menjalankan industrialisasi melalui hilirisasi," katanya, Jumat, 16 Juni 2023.
Langkah kedua, yaitu menentukan target dengan tepat sehingga dapat menentukan langkah yang strategis dan efektif untuk mencapainya.
"Ketiga, mendorong industri jasa turut diperhitungkan sebagai kontributor PDB karena merupakan unsur yang tidak dapat dilepaskan dari sektor industri," katanya.
Keempat, mengakselerasi implementasi industri 4.0 agar industri dapat bekerja dengan lebih efisien yang mendukung penurunan biaya produksi sehingga meningkatkan daya saing.
Langkah kelima, yakni mengambil langkah-langkah out of the box dan mengevaluasi relevansi kebijakan yang telah berjalan. Keenam, meningkatkan koordinasi dan sinergi dengan kementerian/lembaga serta stakeholder terkait menentukan kebijakan yang tepat dan memberikan kemudahan bagi sektor industri.
"Seluruh upaya tersebut juga bertujuan menjaga optimisme para pelaku bisnis akan kondisi usaha enam bulan ke depan yang mencapai 66,2 persen dari hasil survei IKI. Para pelaku usaha optimistis karena percaya pasar global akan segera pulih dan meyakini kebijakan pemerintah dapat mendukung bisnis tetap kondusif," kata Menperin.
Kemenperin mencatat sepanjang 2022 hingga Mei 2023 sektor industri terus berekspansi selama 21 bulan berturut-turut yang ditunjukkan PMI manufaktur. Meski terus berekspansi, capaian PMI juga menunjukkan sektor industri tidak seekspansif tahun sebelumnya dan ada kecenderungan tumbuh melambat.
Kondisi itu juga sejalan dengan hasil indeks kepercayaan industri (IKI) yang surveinya telah dilakukan Kemenperin sejak November 2022. IKI pada Januari hingga Mei 2023 menunjukkan kecenderungan melambat.
"Dua indeks tersebut bisa menjadi alert indicator bagi kita untuk menganalisis kinerja makro industri. Dengan demikian, kita dapat merumuskan upaya-upaya untuk menjaga kinerja sektor manufaktur dan menaruh perhatian lebih terhadap subsektor yang mengalami tren melemah atau kontraksi," kata Agus.
Baca juga: Meski Terkontraksi, Ekonomi Indonesia di Kuartal I-2023 Masih Tumbuh di Atas 5% |
Permintaan global
Dalam kesempatan berbeda, Pengamat ekonomi dari Institut for Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda mengungkapkan melemahnya PMI manufaktur Indonesia saat ini disebabkan kondisi global yang tengah bergejolak, termasuk inflasi tinggi di beberapa negara Eropa. Kedua hal itu membuat permintaan dari pasar-pasar global terhadap produk manufaktur Indonesia melemah.
"Penurunan permintaan ini terutama berasal dari industri-industri orientasi ekspor seperti tekstil. Ditambah lagi dengan kondisi pasar domestik yang belum pulih sepenuhnya," ujarnya.
Kemudian, lanjutnya, dari sisi suplai juga sedang mengalami gejolak yang disebabkan krisis geopolitik Rusia-Ukraina. Hal itu membuat pasokan bahan baku produksi dari kedua negara itu menjadi terganggu.
"Dampak dari semua adalah akan adanya deindustrialisasi yang terus terjadi dan bisa memburuk. Kemudian utilitas industri dan penyerapan tenaga kerja akan semakin terhambat serta pengangguran semakin tidak terserap. Jadi, dampaknya berantai," tutur Nailul.
Karena itu, sambungnya, pemerintah perlu memperkuat pangsa pasar domestik dan mencari demand baru selain negara tradisonal. Selain itu, dari sisi suplai, pemerintah juga perlu mencari sumber bahan baku baru dari negara lain.
"Penguatan pangsa pasar domestik sangat diperlukan dalam meningkatkan indeks PMI agar tidak semakin memburuk. Pemerintah juga harus mencari sumber input baru dari negara-negara lainnya," jelasnya.
Saat dihubungi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengungkapkan tren PMI manufaktur Indonesia mengalami perlambatan karena industri manufaktur saat ini belum merasakan adanya peningkatan permintaan pasar domestik yang signifikan pasca-Ramadan Idulfitri. Hal itu disebabkan efek akumulatif inflasi terhadap daya beli masyarakat dan kurangnya lapangan kerja baru.
"Ini kemungkinan disebabkan oleh efek akumulatif inflasi terhadap daya beli masyarakat yang ditambah dengan lambatnya penciptaan lapangan kerja baru. Ini akibat iklim usaha yang relatif stagnan dan tidak memiliki banyak stimulasi untuk perluasan investasi secara agresif," kata Shinta.
Ia melanjutkan penyebab lainnya ialah dinamika pasar global yang juga tidak mendukung perluasan kinerja sektor manufaktur nasional. Di saat yang sama, beban produksi manufaktur juga tergolong tinggi karena harga komoditas global dan nilai tukar dolar.
"Hal-hal itu yang secara keseluruhan menyebabkan pelaku usaha di sektor manufaktur sangat enggan ekspansi produksi yang sifatnya agresif dalam jangka pendek. Risiko kerugian akan lebih tinggi jika output produksi tidak diserap pasar," tuturnya. (Ficky Ramadhan)
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News