Tak heran bila pemerintah Indonesia getol berkoar-koar soal penanganan perubahan iklim. Net Zero Emission (NZE) atau nol emisi karbon pun digencarkan. Tidak hanya di Indonesia, seluruh dunia bahu membahu mengatasi masalah ini.
Laman Kementerian ESDM menjabarkan, Net Zero Emission adalah kondisi saat jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap bumi. Untuk mencapainya, diperlukan sebuah transisi dari sistem energi yang digunakan sekarang ke sistem energi bersih, guna mencapai kondisi seimbang antara aktivitas manusia dengan keseimbangan alam.
Masyarakat di dunia pun harus bisa berperan mengurangi jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dari berbagai kegiatan (aktivitas) pada kurun waktu tertentu, atau lebih sering dikenal dengan jejak karbon. Jejak karbon yang dihasilkan akan berdampak negatif bagi kehidupan di bumi, seperti kekeringan dan berkurangnya sumber air bersih, timbul cuaca ekstrem dan bencana alam, perubahan produksi rantai makanan, dan berbagai kerusakan alam lainnya.
Populernya program NZE berawal setelah diadakan Paris Climate Agreement pada 2015. Program ini bertujuan menekan pencemaran lingkungan yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global. Pemerintah Indonesia juga sangat menyeriusi komitmen NZE ini pada 2060. Jika bisa lebih cepat, tentu lebih baik.
Baca juga: Bos Pertamina Berambisi Bisa Capai Emisi Nol Bersih pada 2060 |
Upaya mencapai net zero emission
Lalu, bagaimana kita bisa memenuhi program NZE? Energi menjadi salah satu kuncinya. Regulasi demi regulasi dalam menyediakan energi listrik bergulir demi mencapai program ini.Berdasar ini, pemerintah Indonesia berpegang teguh pada lima prinsip untuk mengurangi jejak karbon dan capai kondisi NZE di 2060, yakni:
- Peningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).
- Pengurangan energi fosil.
- Penggunaan kendaraan listrik di sektor transportasi.
- Peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri.
- Pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS).
Komitmen ini dilakukan sebagai rencana mengembangkan energi baru terbarukan. International Energy Agency (IEA) mendefinisikan energi terbarukan sebagai energi yang berasal dari proses alam dan bisa dimanfaatkan terus-menerus. Ini merupakan solusi atas potensi keterbatasan sumber energi tak terbarukan atau biasa disebut energi fosil yang banyak dipakai saat ini.
Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari proses alam yang berkelanjutan, seperti tenaga surya, tenaga angin, arus air, proses biologi, dan panas bumi.
Demi mereduksi energi yang "mengancam" kehidupan manusia, Pemerintah sedang menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk penutupan PLTU batu bara. Penutupan dilakukan dalam rangka mencapai komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) untuk menurunkan emisi 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.
"Kita dari masing-masing kementerian sedang menyiapkan roadmap untuk transisi energi. Jadi misal dalam roadmap ini berapa gigawatt yang akan ditutup sampai 2040 dan seterusnya," kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro Maysita Crystallin dalam konferensi pers di Nusa Dua Bali, Kamis, 14 Juli 2022.
Baca juga: 2060, Pertamina Bidik Pengurangan CO2 hingga 81,4 Juta Ton |
Energi di masa depan
Tak hanya pemerintah, masyarakat, hingga korporasi harus bisa berjibaku melawan perubahan iklim. Salah satunya seperti yang dilakukan PT Pertamina (Persero). Perusahaan pelat merah ini mempertegas komitmennya dalam pemenuhan energi untuk masa depan Indonesia. Hal ini diwujudkan dengan berbagai agenda transisi energi yang dapat meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan di masa depan.Dalam hal ini, Pertamina mengembangkan sejumlah strategi yang diterjemahkan dalam dua pilar utama dan tiga enabler. Direktur Strategi, Portofolio dan Pengembangan Usaha Pertamina Atep Salyadi Dariah Saputra mengatakan, kedua pilar utama tersebut antara lain dekarbonisasi kegiatan usaha dan pengembangan bisnis hijau baru.
Sedangkan tiga enabler yang akan mendukung rencana Pertamina mendorong Net Zero Emission, pertama ialah mengembangkan standar penghitungan karbon yang telah disetujui oleh peraturan nasional dan internasional, serta penerapan Harga Karbon Internal Pertamina.
Kedua, membangun organisasi keberlanjutan yang akan mengawasi bisnis Pertamina berada di jalur yang benar untuk tujuan Net Zero Roadmap-nya. Ketiga, keterlibatan pemangku kepentingan untuk sepenuhnya mendukung target dan komitmen NZE nasional.
"Sebagai perusahaan energi, Pertamina memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi pilar pencapaian net zero emisi di Tanah Air, dengan prinsip keterjangkauan dan kewajaran," ujar Atep Salyadi Dariah Saputra saat dialog bertajuk Commitment on Net Zero Emission, bagian dari rangkaian acara Road to G20: SOE International Conference: "Driving Sustainable & Inclusive Growth", di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Nusa Dua, Bali, Selasa, 18 Oktober 2022.
Salyadi mengatakan, Pertamina menargetkan pengurangan karbon dioksida (CO2) hingga 81,4 juta ton pada 2060. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang menargetkan pada 2030 penurunan emisi sebesar 29 persen dengan kemitraan global.
Sejalan dengan transisi energi, ujar Salyadi, Pertamina juga berkomitmen mengembangkan infrastruktur Energi Baru dan Terbarukan (EBT), yang diharapkan dapat menghasilkan pendapatan sebesar USD30 miliar-USD40 miliar pada 2060.
"Penandatanganan NZE Commitment sebagai langkah konkret untuk mendukung agenda transisi energi Pemerintah Indonesia dalam mencapai target ZE nasional," katanya.
Salyadi menuturkan, Pertamina juga melibatkan mitra nasional dan global untuk menjajaki kemitraan dalam program dekarbonisasi dan mempercepat pertumbuhan EBT, sebagai upaya mencapai Net Zero Emission. Kolaborasi ini dipandang penting, terlebih dalam menghadapi tantangan yang sama dalam proses transisi energi, khususnya di bidang teknologi dan pembiayaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News