Ilustrasi pedagang telur di pasar induk Kramat Jati. (Foto: Medcom.id/Kautsar Widya Prabowo).
Ilustrasi pedagang telur di pasar induk Kramat Jati. (Foto: Medcom.id/Kautsar Widya Prabowo).

'Mengeram' Untung dari Kenaikan Harga Telur

Desi Angriani • 23 Juli 2018 07:03
MELAMBUNGNYA harga telur ayam dalam sepekan terakhir membuat konsumen menjerit, khususnya para ibu rumah tangga. Pasalnya, telur ayam merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako).
 
Memang kenaikan ini bagi sebagian orang terdengar lazim lantaran terjadi setiap tahun menjelang lebaran dan tahun baru. Namun, kali ini kenaikan justru terjadi selepas Idulfitri. Apalagi harga telur ayam melejit hingga Rp35 ribu per kilogram (kg).
 
Naiknya harga telur tersebut tampaknya tidak ditolerir oleh Barisan Emak-Emak Militan (BE2M) Indonesia. Puncaknya, mereka melakukan unjuk rasa di depan Istana Merdeka demi menuntut pemerintah untuk menurunkan harga sembako.

Berkaca pada lima tahun ke belakang, harga telur ayam pernah mencapai Rp23 ribu per kg dari sebelumnya Rp19 ribu per kg pada 2014. Saat itu kenaikan dipicu oleh harga pakan ternak impor.
 
Pada tahun sebelumnya, harga telur ayam naik dari Rp18 ribu per kg menjadi Rp20 ribu per kg akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kemudian pada 2015, harga telur ayam juga naik menjadi Rp22 ribu per kg. Kenaikan ini disebabkan oleh tingginya biaya distribusi dari peternak seiring dengan naiknya harga BBM dan harga elpiji 12 kg.
 
Tahun berikutnya, harga telur dan daging ayam kembali naik tapi dengan harga yang  lebih rendah dari kenaikan sebelumnya. Rata-rata harga telur pada 2016 berkisar antara Rp19.500-Rp19.800 per kg di tingkat peternak.
 
Pada 2017, konsumen kembali dihadapkan pada kenaikan harga yakni, menjelang perayaan Natal dan pergantian tahun. Harga telur merangkak naik dari kisaran Rp17 ribu per kg menjadi Rp22 ribu per kg.
 
Sementara harga rata-rata telur ayam ras secara nasional pada 2018 mencapai level tertinggi Rp35 ribu per kg. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), harga tertinggi ada di wilayah Maluku Utara Rp36.550 per kg dan harga terendah di Wilayah Sumatera Utara Rp21.300 per kg.
 
Harga tersebut terhitung jauh dari harga yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27 Tahun 2017, di mana harga di tingkat konsumen Rp22 ribu per kg. Artinya harga di tingkat peternak telah melampaui Harga Pokok Produksi (HPP) di sekitar Rp17.500-Rp18.000 per kg.
 


 
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Petelur Nasional Yudianto Yosgiarso, ada sejumlah faktor yang mendorong kenaikan harga telur ayam. Pertama, momentum libur Lebaran yang panjang disertai tingginya tingkat hajatan di daerah membuat permintaan akan daging ayam melambung. Hal tersebut dimanfaatkan peternak untuk menjual ayam petelur lama lantaran stok telur digudang menumpuk akibat proses breeding atau pembibitan yang dihentikan.
 
Di sisi lain, dorongan untuk menjual daging petelur didukung oleh sentimen negatif yang diciptakan pedagang ke peternak berupa isu tenggelamnya kapal hingga penurunan harga telur. Tentunya, para peternak ketakutan hingga terpaksa menjual ayam petelurnya demi mengurangi stok telur di gudang.
 
"Karyawan libur siapa yang mau mengurus ayam yang umurnya satu hari. Peternak berpikir sekarang mendekati Lebaran telur enggak laku dan numpuk karena harga turun apalagi nanti setelah lebaran dan libur cukup panjang. Wajar dong waktu itu dijual karena kebutuhan hajatan untuk daging ayam meningkat, jadi harga ayam juga meningkat," ungkapnya saat dihubungi Medcom.id.
 
Selanjutnya, pelarangan pemakaian antibiotic growth promotor (AGP) juga menjadi pemicu dari melonjaknya harga telur ayam di pasaran. Pelarangan ini sendiri dimaksudkan membuat kualitas ternak ayam lebih baik dan tak mengandung obat-obatan. Namun sebaliknya, daya tahan hidup ayam justru berkurang hingga 5 sampai 10 persen sehingga menurunkan produktivitas di kandang.
 
Penyebab lain ialah harga pakan ayam impor yang meningkat karena rupiah mengalami pelemahan mendalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sementara selama ini 30 persen dari komponen pakan ayam jadi merupakan barang impor.
 
"Begitu AGP diterapkan pabrik juga beberapa yang belum siap dan bikin produksi kita goyang, itu juga mempengaruhi," imbuh dia.
 


 
Hal senada disampaikan Peternak Layer Jenny Soelistiyani, sekitar 60 persen bahan baku pakan ternak masih diimpor dari Australia, Brasil, hingga Amerika Serikat (AS). Di samping itu, produksi bahan baku ternak dalam negeri seperti jagung juga membuat harga pakan semakin tinggi.
 
Di sisi lain, minimnya impor layer atau bibit ayam petelur juga membuat harga telur ayam mahal. Setelah 2015, impor grand parent layer yang dilakukan Indonesia di bawah 30 ribu ekor per tahun. Oleh sebab itu, produksi telur mengalami penurunan hingga 20 persen dari total produksi yang biasanya mencapai sembilan ribu ton per hari.
 
"Produktivitas berkurang antara 10 sampai 20 persen," katanya kepada Medcom.id.
 
Adapun Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menuding gelaran piala dunia menjadi salah satu faktor yang menyebabkan permintaan telur ayam menjadi tinggi. Katanya, pertandingan untuk ajang bergengsi atlet-atlet internasional cabang olahraga sepak bola yang disiarkan di Indonesia pada malam hari menyebabkan penonton rentan kelaparan.
 
"Demand-nya memang meningkat tajam, dari sisi liburan sampai sepak bola. Karena tengah malam itu makan nasgor (nasi goreng) pakai telur, mi telur kornet, pakai telur juga," ujarnya pada Senin 16 Juli 2018.
 
Pernyataan Mendag pun dibenarkan oleh Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Fini Murfiani. Dia mengatakan permintaan terhadap telur di tengah masyarakat terjadi hingga mencapai 30 persen selama musim pertandingan piala dunia.
 
"Kalau demand masing-masing tiap daerah akan beda. Ternyata adanya pertandingan piala dunia memengaruhi juga," imbuhnya.
 
Baca: Operasi Pasar Telur Murah, Angin Segar bagi Warga
 
Di balik sejumlah faktor itu, tentu peternak dan pedagang telur ayam mendapat keuntungan yang melimpah. Sebut saja, harga telur di tingkat peternak mencapai Rp25 ribu per kg dari harga yang seharusnya di jual ke konsumen Rp22 ribu per kg. Setidaknya peternak mendapatkan untung Rp3.000 untuk 1 kg telur ayam. Jika seorang peternak menjual 10 ton telur maka sedikitnya akan meraup untung sebesar Rp30 juta.
 
Namun, keuntungan tersebut lebih banyak diraup oleh penjual atau distributor. Bila konsumen membeli terlur ayam dengan harga Rp35 ribu per kg maka pedagang tentu meraup untung hingga Rp10 ribu per kg. Untuk penjualan 10 ton telur ayam, setidaknya pedagang atau distributor akan memperoleh keuntungan Rp100 juta. Artinya keuntungan yang diperoleh pedagang bisa tiga kali lipat dari keuntungan yang diperoleh peternak.
 
Meski demikian, Yudianto Yosgiarso mengungkapkan tak semua peternak tradisional bergembira dengan kenaikan harga telur ayam. Pasalnya, banyak pula kegagalan produksi yang mengakibatkan sebagian peternak menggunakan keuntungan tersebut untuk menambal kerugiannya.
 
Sebab itu, lanjutnya harga telur yang sempat naik di tingkat peternak wajar dengan berbagai risiko yang harus dihadapi. Lagi pula keuntungan yang diperoleh Rp.3000 per kg tidak sebanding dengan keuntungan para pedagang.
 
Berbeda dengan peternak modern dengan status perusahaan Tbk. Mereka dapat meraup untung triliunan rupiah karena menggunakan teknologi dan industri yang terintegrasi sehingga memberikan efesiensi yang besar terhadap produktivitas.
 
"Coba pedagang tahu kita naik, mereka langsung jual naik walaupun stok telur dengan harga normal masih ada. Saya enggak rela anggota kami dimarahi terus," tutur dia.
 
Adapun nilai HPP dihitung 3,5 kali dari harga pakan yang kini mencapai Rp5.400 per kg. Dengan begitu, harga normal telur ayam di tingkat peternak semestinya Rp21 ribu per kg.
 
Saat ini, kata Yudianto, harga telur di tingkat peternak sudah terkoreksi antara Rp21 ribu-Rp22 ribu per kg dari sebelumnya Rp25 ribu per kg. Jika harga masih melambung maka terjadi permainan harga komoditas atau mafia telur di pasaran.
 
"Ditingkat peternak kondisi harga telur ayam telah turun, kalau kemarin itu ditingkat peternak  sampai Rp25 ribu sekarang sudah terkoreksi antar Rp21 ribu-Rp22 ribu," tegasnya.
 
Mafia Telur Masih 'Bergentayangan'
 
Satuan Tugas (Satgas) Pangan mencurigai adanya permainan harga di level tertentu yang mengakibatkan harga telur melambung tinggi. Karenanya penyelidikan akan dilakukan mulai dari di tingkat hulu, khususnya di sentra produksi telur seperti Bandung, Tasikmalaya, dan Ciamis.
 
Kepala Satgas Pangan Irjen Pol Setyo Wasisto menilai ada yang janggal dibalik kenaikan harga telur ayam. Padahal, kebutuhan masyarakat sudah menurun lantaran telah melewati fase tertinggi pada saat Lebaran.
 
"Jadi memang sekarang sedang diteliti, karena dari para peternak sendiri mengatakan stoknya cukup dan harga di kandang tidak setinggi itu," ucap Setyo pada Selasa 17 Juli 2018.
 
Dugaan tersebut dibenarkan Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Petelur Nasional Yudianto Yosgiarso. Dia bilang mafia-mafia telur masih bergentayangan untuk menahan harga tetap tinggi di pasaran. Hal tersebut sudah terjadi dalam waktu lama dan mengakibatkan efek domino.
 
Akibatnya, Jakarta sebagai pusat pasar di Indonesia mengalami kenaikan harga yang cukup tinggi. Dengan kata lain, para trader bisa menekan harga ke peternak lalu menjual dengan harga setinggi-tingginya ke konsumen.
 
"Mafia-mafia telur masih gentayangan dan banyak nih coba di daerah Blitar kasihan mbak kalau ditekan pedagang mereka yang ketawa lebar. Padahal dari pengaruh telur goyang sedikit dampaknya luar biasa," ungkap Yudianto kepada Medcom.id.
 


 
Untuk mengatasi hal tersebut, Mendag meminta agar pelaku usaha tidak mengambil keuntungan melebihi harga wajar. Mereka diberi tenggat waktu satu pekan untuk menurunkan harga telur ayam secara bertahap.
 
Penurunan harga mengarah ke batas harga patokan yang relevan. Bukan berarti menurunkan harga telur secara drastis sehingga memangkas laba peternak.
 
Jika harga telur tidak kunjung menurun, Kemendag akan melakukan intervensi pasar dengan mengeluarkan stok telur ayam milik para integrator atau perusahaan besar pengepul komoditas pangan tersebut.
 
Dalam jangka menengah, Enggar akan melakukan stabilisasi harga telur melalui audit kapasitas produksi. Audit ini menjadi wewenang Kementerian Pertanian (Kementan).
 
"Jangka menengah kami lakukan audit. Nanti kami minta Kementan datang untuk ambil langkah yang intinya bicara soal suplai," kata Enggar.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan