Penduduk Indonesia berjumlah 250 juta jiwa dengan wilayah yang teramat luas membentang. Persebaran penduduk tentu perlu menjadi perhatian dari pemerintah. Tingkat ketimpangan antara satu wilayah dengan wilayah lain penting dihilangkan yang salah satunya adalah dengan memacu aktivitas perekonomian. Di sini, ketersediaan energi menjadi strategis.
Meski perkembangan energi terbarukan yang didorong pemerintah termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus berkembang pesat, Indonesia masih akan bergantung pada energi fosil seperti minyak, gas bumi, batu bara, dan lain semacamnya. Hal ini sejalan dengan terus meningkatnya permintaan dari masyarakat yang salah satunya Bahan Bakar Minyak (BBM).
Tidak ditampik, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah berupaya agar pada 2025 porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional mencapai 23 persen. Sekarang ini, porsinya masih di bawah 10 persen. Langkah itu dilakukan agar ada keberlanjutan energi atau ketahanan energi yang menciptakan daya saing.
Di sisi lain, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) juga akan meningkat di 2025 yakni diperkirakan mencapai 2,3 juta barel per hari. Konsumsi masyarakat saat ini berkisar antara 1,6 juta hingga 1,7 juta barel per hari. Pertumbuhan akan terus terjadi sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan jumlah penduduk, dan meningkatnya jumlah kendaraan.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, cadangan minyak mentah Indonesia sekitar 3,6 miliar barel yang diperkirakan akan habis dalam 13 tahun mendatang jika tidak ada penemuan cadangan baru. Cadangan terbukti gas bumi tersisa sekitar 100 triliun kaki kubik atau diperkirakan cukup sampai 34 tahun mendatang. Cadangan batu bara tersisa 7,2 miliar ton atau akan habis dalam 16 tahun mendatang.
Meski demikian, energi berbahan fosil ini memiliki peranan amat penting dan perlu dioptimalkan sedemikan rupa guna memacu perekonomian. Energi gas bumi, misalnya, bisa menghubungkan antara satu wilayah ke wilayah lain di seluruh Tanah Air agar tingkat kesejahteraan tercipta secara adil. Artinya, gas bumi bisa digunakan untuk aktivitas perekonomian.
Tidak dipungkiri, penggunaan energi seperti gas bumi lebih murah, lebih terjangkau, dan lebih mudah digunakan bagi masyarakat. Karakteristik seperti itu yang mendorong Kementerian ESDM termasuk BUMN di bidangnya yakni PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN untuk tidak tanggung-tanggung mendorong energi gas bumi guna membangun negeri.
Setidaknya ada dua aspek penghematan yang dapat dirasakan dari penggunaan jaringan gas. Pertama, penghematan pembayaran pelanggan. Kedua, penghematan subsidi. Bahkan, dengan semakin banyak rumah tangga yang memakai gas bumi maka konsumsi Liquified Petroleum Gas (LPG/elpiji) bisa ditekan.
Gas bumi adalah energi yang murah. Tanpa disubsidi saja biaya untuk pemakaian gas bumi hanya separuh dari elpiji. Selain itu, sambungan gas ke rumah tangga lebih praktis. Para ibu rumah tangga tak perlu repot-repot ke warung dan menggendong tabung gas ketika gas di rumah habis.
Jika dilakukan perhitungan maka harga tiga tabung elpiji sekitar Rp60 ribu per bulan. Apabila harga gas rumah tangga hanya sekitar Rp30 ribu hingga Rp35 ribu per bulan maka ada penghematan sekitar 40-50 persen. Bahkan, ibu rumah tangga tidak perlu lagi menenteng tabung untuk dibawa dari warung ke rumahnya. Selain itu, sambungan gas lebih aman dari bahaya kebakaran serta api yang dihasilkan dari kompor berwarna biru yang artinya bersih dan aman termasuk tekanannya hanya 0,2 bar sedangkan LPG mencapai 5-7 bar.
Akan tetapi, pemanfaatan gas di dalam negeri bukan tanpa tantangan. PGN menyebut tantangan utama dalam pemanfaatan gas domestik adalah pembangunan infrastruktur dan teknologi yang digunakan dalam distribusi gas. Direktur Komersial PGN Danny Praditya tidak menampik ada tantangan. Namun di balik tantangan itu terdapat pula peluang yang teramat besar.
Tantangan pertama yang dimaksudkan adalah percepatan pembangunan pasar dan infrastruktur. Di 2025 target PGN adalah menambah 40 ribu km lebih jaringan pipa gas. Tantangan lain adalah Indonesia dituntut untuk lebih kompetitif dengan cara harga gas lebih kompetitif guna mengakomodasi kebutuhan pelaku industri, termasuk rumah tangga.
"Tantangan berikutnya adalah bahwa Indonesia harus mampu mengelola antara kebutuhan untuk percepatan pembangunan tapi di saat yang sama harus menjadi efisien," kata Danny, di Jakarta, beberapa waktu yang lalu.
Lebih lanjut, PGN mengungkapkan bahwa masih banyak kendala dalam mengimplementasikan penyaluran gas bumi yang khusus untuk rumah tangga. Kepala Divisi Unit Pelayanan PGN M Napitupulu mengatakan pembangunan jaringan gas oleh PGN sebenarnya sebagian besar telah dilakukan.
Namun, tambahnya, karena ada beberapa kendala implementasi tersebut membuat program itu terhambat. Seperti pada 2015, di mana perusahaan gas pelat merah ditugaskan membangun dan mengoperasikan jargas di 11 kota dengan 43.777 sambungan rumah (SR), pengoperasian terkendala pemasangan jaringan.
"Di penugasan masih ada beberapa lokasi yang masih belum terselesaikan karena memang ada kendala pemasangan. Masih ada yang perlu diperbaiki," kata Napitupulu.
Ketika penugasan pada 2016, lanjutnya, yakni saat PGN ditugaskan untuk membangun 49 ribu SR di Surabaya, Tarakan, dan Batam, juga mengalami kendala. Kendala yang dihadapi adalah konversi kompor elpiji menjadi kompor gas bumi yang selama ini belum maksimal. Kemudian, kendala lainnya terdapat pada pembangunan jaringan gas itu sendiri. Sering kali jaringan tersebut bocor dan kemasukan air.
"Saat kompor sudah dikonversi, kompor tidak bisa diubah lagi jadi kompor elpiji. Sehingga kita pastikan gasnya sudah mengalir. Ternyata kendala yang dihadapi setelah dialiri gas ada yang bocor, ada yang terisi air," jelas dia.
Namun demikian, pemerintah tetap mempercayakan PGN untuk membangun jaringan gas tersebut. Pada 2017, PGN ditugaskan membangun dan mengoperasikan jaringan gas di Lampung, Musi banyuasin, Mojokerto, dan DKI Jakarta. Lalu pada 2018, PGN ditugaskan untuk membangun empat kota yaitu Banyuasin, Bogor, Semarang, dan Blora.
Baca: Hingga 2030, Indonesia Butuh Investasi USD80 Miliar untuk Infrastruktur Gas
Langkah Kementerian ESDM termasuk PGN perlu diacungkan jempol. Pasalnya, pembangunan jaringan gas terus dilakukan ke seluruh wilayah di Tanah Air, baik untuk kebutuhan industri maupun untuk kebutuhan rumah tangga. Hal semacam ini memang sangat diperlukan lantaran momentum pertumbuhan ekonomi terus dijaga dan dipacu oleh pemerintah dan pihak terkait.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018, telah disepakati sementara pertumbuhan ekonomi 5,4 persen sesuai dengan usulan. Inflasi 3,5 persen sesuai usulan, sedangkan untuk asumsi rupiah dibuat lebih menguat Rp100 dari Rp13.500 per USD dalam usulan menjadi Rp13.400 per USD.
Begitu juga dengan suku bunga SPN 3 bulan berubah dari 5,3 persen menjadi 5,2 persen. Sementara asumsi harga minyak (ICP) tetap USD48 per barel, lifting minyak dan gas juga tetap masing-masing 800 barel per hari (BPH) dan 1.200 BPH setara minyak.
Bangun Infrastruktur Gas
Adapun apresiasi yang perlu diberikan lantaran Kementerian ESDM, terutama PGN terus membangun infrastruktur yang salah satunya adalah jaringan gas ke seluruh wilayah di Indonesia guna memasok gas untuk kebutuhan industri dan rumah tangga. Perlu diketahui, konsumsi rumah tangga memiliki peranan penting terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Pada kuartal II-2017, misalnya, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,01 persen adalah 2,65 persen. Lalu kontribusinya disusul oleh sumbangan dari Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi pemerintah dan swasta sebesar 1,69 persen atau meningkat dari kuartal sebelumnya 1,53 persen.
Jika menilik lebih rinci maka di kuartal I-2017 infrastruktur pipa gas PGN bertambah sepanjang lebih dari 252 km dan saat ini mencapai lebih dari 7.278 km atau setara dengan 80 persen pipa gas bumi hilir nasional. Dari infrastruktur tersebut, PGN memasok gas bumi ke 1.652 industri besar dan pembangkit listrik.
"Sebanyak 1.929 pelanggan komersial (hotel, restoran, rumah sakit) dan Usaha Kecil Menengah (UKM), dan 204.000 pelanggan rumah tangga. PGN berkomitmen mengembangkan infrastruktur gas bumi baik melalui pipa gas maupun dengan infrastruktur nonpipa seperti Compressed Natural Gas (CNG) dan Liquefied Natural Gas (LNG)," kata Sekretaris Perusahaan PGN Heri Yusup.
Baca: Anggaran Berkurang, Pembangunan Jargas hanya 78 Ribu SR di 2018
Pelanggan PGN tersebar di berbagai wilayah mulai dari Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Utara dan Sorong Papua.
Sementara sejumlah proyek yang telah diselesaikan PGN antara lain proyek pipa distribusi gas Muara Karang-Muara Bekasi sepanjang 42 km dan beberapa pengembangan jaringan infrastruktur gas lainnya seperti di Jawa Barat sepanjang 37 km, Jawa Timur sepanjang 165 km dan Sumatera Utara serta Batam sepanjang delapan km.
PGN saat ini juga sedang mengerjakan proyek pipa distribusi gas Sumatera Tengah sepanjang 123 km, pipa laut dan fasilitasnya untuk kepulauan Riau sepanjang lima km, serta beberapa pengembangan jaringan infrastruktur gas lainnya seperti di Jawa Barat dan Surabaya. Dalam waktu dekat PGN juga akan menyalurkan gas bumi ke beberapa rumah susun di DKI Jakarta.
Butuh Master Plan
Meski demikian, Indonesia membutuhkan master plan agar ketersediaan energi terutama gas bumi benar-benar berkelanjutan mendukung aktivitas perekonomian industri dan rumah tangga. Dalam dunia bisnis gas bumi, Kementerian ESDM bertanggung jawab terkait infrastruktur dan Kementerian Perindustrian terkait industri. Kedua kementerian itu harus bersinergi.
"Visi kita (PGN) bukan bangun pipa untuk mengalirkan gas tapi bagaimana membangun industri gas di hilir. Bangun infrastruktur gas yang bisa melayani industri di seluruh Indonesia. Sehingga punya sistem distribusi gas yang efisien," ungkap Head of Marketing Product Development Division PGN Adi Munadir.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menambahkan, dalam menentukan program di Indonesia maka pemerintah seharusnya menggambarnya dalam peta Indonesia yang kosong. Dari situ, pemerintah secara strategis menentukan tiap kementerian ditempatkan di mana agar tidak ada area abu-abu dalam pembangunan ekonomi yang berkeadilan.
"Semua negara harus punya master plan sehingga setelah pembangunan terintegrasi dengan baik maka segera ratakan," ungkap Agus.
Lebih Kreatif
Terlepas dari semua prestasi yang sudah diraih, Kementerian ESDM justru menyentil PGN untuk lebih kreatif dalam membuat program dan jangan selalu membuat jaringan pipa. Menteri ESDM Ignasius Jonan meminta hal itu karena sektor midstream harus lebih kreatif. PGN yang menjadi stakeholder dalam sektor ini diminta untuk lebih kreatif.
"Ini sekarang kita mau mengatur midstream-nya. Saya bilang, PGN agak kreatif. Jangan bangun pipa saja," tegas Jonan, dalam HUT Pertambangan dan Energi, beberapa waktu lalu.
Menurutnya Indonesia merupakan negara kepulauan dan tidak mungkin hanya mengandalkan pipa untuk mendistribusikan gas. Jika terus memaksa mengandalkan pipa akan terjadi pembengkakan harga di transportasi. Oleh karena itu, ia meminta, PGN berinovasi lain seperti membuat regasifikasi atau mini LNG.
"Masa bangun pipa, mana bisa bangun pipa dari Papua ke Alor apa bisa? Ya bisa sih tapi ongkosnya berapa? Apa mau bikin pusat regasifikasi sendiri, apa mau buat mini LNG tanker sendiri. Ini negara kepulauan kok mikirnya pipa terus," jelas dia.
Baca: Menteri Jonan Minta PGN Lebih Kreatif
Lebih lanjut, mantan Menteri Perhubungan ini mengaku sudah menyampaikan mengenai hal tersebut kepada Direktur Utama PGN Jobi Triananda Hasjim. "Jadi jangan mikirin pipa saja Pak Bu. Saya sudah bilang dengan Pak Jobi," kata Jonan.
Di sisi lain, pemerintah menyatakan pembangunan jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga (jargas) tahun depan turun dari rencana semula. Awalnya pembangunan jargas dirancanakan 118 ribu SR menjadi 78 ribu SR.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, Ego Syahrial mengungkapkan, jumlah ini turun karena keterbatasan anggaran serta adanya program-program prioritas lainnya yang juga menjadi perhatian pemerintah.
"Tadinya kan sekitar 100 ribuan. Tapi akan ada program prioritas juga karena kita harus menggencarkan EBTKE, sumur bor, segala macam sehingga yang tadinya 118 ribu dan di 20 kota, menjadi 17 kota dan 78 ribu SR," kata Ego.
Ia mengungkapkan, revisi ini membuat pencapaian target roadmap juga sulit tercapai. Saat ini jargas yang terbangun baru 24 persen dari target 1,9 juta SR pada 2019. Namun, diharapkan hingga 2019 pembangunan dapat mencapai 40 persen dari target.
Untuk diketahui, pembangunan jargas telah dilakukan sejak 2009. Hingga saat ini, telah terbangun 185.991 SR di 14 provinsi meliputi 26 kabupaten/kota. Keterbatasan anggaran pemerintah membuat pembangunan jargas dilakukan secara bertahap. Untuk itu, pemerintah juga mendorong badan usaha untuk membangun jargas rumah tangga.
Pada 2017, Kementerian ESDM menugaskan PT Pertamina (Persero) dan PT PGN (Persero) Tbk untuk membangun jargas sebanyak 59.809 SR di 10 Kabupaten/Kota yaitu Kota Pekanbaru sebanyak 3.270 SR, Musi Banyuasin sebanyak 6.031 SR, Kabupaten Muara Enim sebanyak 4.785 SR, dan Kabupaten PALI sebanyak 5.375 SR.
Kemudian Kota Bontang sebanyak 8.000 SR, Kota Bandar Lampung sebanyak 10.321 SR, Kabupaten Mojokerto sebanyak 5.101 SR, Kota Mojokerto sebanyak 5.000 SR, Kota Samarinda sebanyak 4.500 SR, dan Rusun PUPR Kemayoran sebanyak 7.426 SR.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id