medcom.id, Jakarta: Kancah persepakbolaan Indonesia seakan mendapat angin segar ketika sanksi pembekuan Persatuan Sepak Bola (PSSI) dicabut Kementerian Pemuda dan Olahraga, Selasa 10 Mei lalu. Akan tetapi, bukan berarti prestasi dan reformasi sepak bola bisa lahir begitu saja. Pasalnya, masih banyak tugas besar yang harus dituntaskan seluruh pihak guna merealisasikan keinginan mulia tersebut.
Persepakbolaan Indonesia seakan mati suri ketika Kemenpora menjatuhkan sanksi kepada PSSI pada April tahun lalu. Alasannya saat itu, kepengurusan PSSI dianggap tidak kompeten untuk menangani berbagai dilema sepak bola. Mulai dari penurunan prestasi timnas, mafia judi sepak bola yang semakin marak, serta banyak klub domestik yang tidak berkualitas.
Setelah menunggu lebih dari setahun sambil diadakan berbagai turnamen hiburan, akhirnya sanksi pembekuan dicabut Kemenpora. Itu pun terjadi karena adanya desakan dari Presiden Joko Widodo dan mepetnya jadwal pelaksanaan Kongres tahunan FIFA, 13 Mei nanti.
Pengamat olahraga Suryopratomo menyambut baik pencabutan PSSI. Namun, dia mengingatkan bahwa jalan masih sangat panjang. Banyak aspek yang harus dibenahi untuk menyehatkan organisasi PSSI dan iklim sepakbola di Tanah Air agar bisa menghasilkan prestasi internasional. Berikut petikan wawancaranya:
Apakah keputusan Kemenpora mencabut sanksi PSSI sudah tepat?
Sudah bagus sanksi PSSI dicabut. Sebetulnya, saya sendiri tidak setuju dengan pembekuan tersebut. Tapi meski terlambat, keputusan ini sudah lebih baik dari pada tidak sama sekali. Harapannya setelah era Djohar Arifin, PSSI bisa bertransformasi dari sistem yang sebelumnya seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menjadi organisasi profesional. Tapi, setelah adanya pembekuan, PSSI malah seperti kembali seperti LSM.
Apa yang harus dilakukan setelah pencabutan sanksi pembekuan PSSI?
Harusnya sudah menjadi kesadaran Presiden Joko Widodo dan Menpora Imam Nahrawi untuk down to earth, bahwa membina sepak bola itu tidak sekali jadi. Itu adalah sebuah proses panjang. Jokowi pernah mengatakan, sepak bola Indonesia tidak apa-apa dibekukan. Kemudian, setelah itu satu tahun bisa juara. Itu sama sekali enggak masuk akal karena infrastruktur dan kondisi organisasi masih kacau balau.
Apakah Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI bisa menjawab keterpurukan sepak bola saat ini?
Enggak bisa. Mental klub dulu yang utama. Di Indonesia itu, mentalnya siap kompetisi tapi enggak mau kalah. Karena menang adalah sebuah keharusan, maka hal itu akan dilakukan dengan segala cara. Misalnya, lewat teror, intimidasi, beli wasit dan sebagainya.
Berdasarkan pengalaman Anda, apa pernah PSSI menyuarakan transformasi mentalitas kepada klub-klub yang dinaunginya?
Mungkin pernah, tapi biasanya upaya itu malah terbentur dengan kepentingan politik. Pasalnya, salah satu indikator keberhasilan gubernur atau bupati suatu daerah berasal dari klub sepak bola itu sendiri. Kemudian, kecintaan berlebihan yang ditunjukkan suporter juga bisa memunculkan mentalitas negatif tersebut.
Jika pencabutan sanksi pembekuan dan KLB PSSI bukan jawaban, lalu apa yang harus dilakukan untuk memajukan sepak bola tanah air?
Yang saya ingin katakan adalah, semuanya butuh proses jangka panjang. Jadi, tidak serta merta lewat KLB, pencabutan sanksi, atau bahkan terbentuknya pengurus baru. Hal ini memang butuh proses panjang, tapi bakal sekaligus menjadi titik balik kesuksesan apabila setiap orang mau berkomitmen menuju sepak bola yang lebih baik.
Sosok calon Ketua Umum PSSI yang berkompeten menurut Anda?
Kalau menurut saya, orang seperti Glenn Sugita (pemilik Persib), Erick Thohir (pemilik Inter Milan), dan Joko Driyono (Direktur PT Gelora Trisula Semesta) itulah yang harusnya dikasih kesempatan memimpin. Jadi (isunya, red) kenapa harus tentara. Bukannya saya antitentara, tetapi apakah tentara itu bisa menjamin kesuksesan. Enggak juga!
Bagaimana era PSSI di bawah kepemimpinan La Nyalla?
Infrastruktur sepak bola Indonesia enggak beres semua. La Nyalla terpilih bukan karena kemampuan, tapi ada kejanggalan juga di situ. Contoh, Joko Driyono yang tadinya mau menyalonkan diri, malah mendapat intimidasi dan disuruh mundur. Jadi proses pemilihan La Nyalla waktu itu bukan pemilihan yang sehat.
Kemudian kalau ditanya apakah dia mampu, dia kan juga belum dikasih kesempatan. Pasalnya PSSI langsung dibekukan setelah ia terpilih.
Pendapat Anda soal KLB PSSI?
Sekarang sudah 85 voter memilih untuk menggelar KLB. Tapi, kita tidak tahu apakah itu rekayasa. Meski begitu, saya akan berpandangan baik-baik saja bahwa ini adalah bentuk ketulusan untuk memberikan kebaikan.
KLB yang baik dan benar itu seperti apa?
Jadikan KLB itu sebagai ajang untuk adu konsep menuju transformasi sepak bola. Kita buat seperti debat presiden saja. Adu kemampuan manajerialnya di situ, kemudian masyarakat juga bisa melihat, dan voter pun bisa memiliki penilaian lebih baik.
Harapan Anda kepada PSSI dan pemerintah untuk kemajuan sepak bola tanah air?
Untuk Menpora mudah-mudahan tahu porsinya. Pertama, tugas pemerintah itu adalah menciptakan bangsa yang memiliki jiwa dan pikiran sehat. Kedua, pemerintah harus menyediakan infrastruktur untuk mendukung proses pembinaan, itu saja dulu. Kemudian, sederhanakan pembinaan olahraga dan jangan terlalu banyak organisasi ini dan itu.
Untuk PSSI, buatlah kompetisi yang sehat, ajak semua pemimpin klub agar mau sama-sama mengharumkan nama Indonesia. Bukan hanya jadi juara di dalam negeri saja, setidaknya bisa jadi juara AFC, antar klub dan timnas bisa berjaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RIZ)