\ Zero Sum Game
dok istimewa
dok istimewa

Zero Sum Game

Bola liga indonesia pssi dibekukan
05 Mei 2015 19:12
Zero Sum GameKetika ditanya tentang latar belakang konser "Tiga Tenor" yang dipersiapkannya, penyanyi seriosa Luciano Pavarotti mengatakan, pertunjukan ini dilakukannya untuk menghibur. "Musik seperti halnya olahraga, harus bisa dinikmati oleh semua orang," kata Pavarotti.
 
Saya sengaja mengutip pernyataan Pavarotti karena itulah esensi dari olahraga. Aktivitas ini bukan milik sekelompok orang saja. Olahraga adalah milik semua orang tanpa ada batasan dan harus bisa dinikmati juga oleh semua orang.
 
Faktor menghibur menjadi sesuatu yang sangat penting. Pertandingan yang berkualitas akan memberikan hiburan batin kepada masyarakat yang menyaksikannya. Kita lihat saja bagaimana masyarakat rela untuk tidak tidur demi menyaksikan pertandingan final Liga Champions atau Piala Dunia. Karena, pertandingan itu menghibur dan memberi kepuasan batin.
  Inilah yang tidak bisa diberikan oleh pertandingan sepak bola di Indonesia. Unsur surprise atau kejutan yang menjadi bagian terpenting dari pertandingan sepak bola, tidak bisa kita dapatkan.
 
Semua ini akibat pemahaman yang tidak utuh tentang arti sebuah tontonan olahraga. Para olahragawan tidak menyadari bahwa mereka adalah penghibur. Olahraga yang dimainkan bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Unsur hiburan seringkali mereka korbankan.
 
Padahal penonton itulah yang kelak menjadikan olahragawan itu menjadi bintang. Ketika sudah sampai pada tahapan bintang, maka hasil kerja keras itu akan bisa mereka nikmati.
 
Bahkan tidak jarang para olahragawan mengkhianati permainan olahraga yang merupakan profesinya. Mereka mencederai sportivitas yang menjadi esensi dari olahraga.
 
Masuk Politik
 
Lebih parah lagi olahraga kemudian dijadikan ajang politik. Para pembina ikut mengkhianati olahraga hanya karena ambisi politik yang dimiliki.
 
Itulah yang tengah terjadi antara Menteri Pemuda dan Olahraga dan para pengurus PSSI. Perseteruan yang dibangun menghasilkan "zero sum game". Kedua belah pihak saling "menghancurkan" satu sama lain.
 
Menpora membekukan PSSI karena dianggap tidak patuh kepadanya. Pengurus PSSI membalas dengan menghentikan kompetisi Liga Sepak Bola Indonesia untuk musim kompetisi 2015.
 
Keputusan ini akhirnya mengorbankan sepak bola sebagai sebuah olahraga dan tontonan yang bisa menghibur semua orang. Kita lihat bagaimana klub-klub menjerit karena perseteruan tersebut. Usaha keras untuk membangun klub yang tangguh praktis sirna dengan penghentian kompetisi.
 
Para pemain sepak bola pun menjerit karena kehilangan panggung. Ketika panggung digusur, maka otomatis masa depan mereka pun terancam. Mereka tidak bisa menjalani profesi yang menjadi mata pencaharian.
 
Yang juga menjadi korban adalah masyarakat. Mereka kehilangan tontonan yang bisa menghibur batin. Padahal satu-satunya cabang olahraga yang kompetisinya berskala nasional adalah sepak bola.
 
Tak Ada Pemenang
 
Perseteruan tidak pernah akan menghasilkan pemenang. Pepatah lama mengajarkan, dalam sebuah perseteruan "yang kalah jadi abu, tetapi yang menang jadi arang."
 
Untuk itulah kita sejak awal mengingatkan, penanganan persoalan sepak bola tidak bisa didekati dengan cara "menang-menangan". Kita harus berkepala dingin dan sama-sama duduk untuk menyelesaikan masalah yang ada.
 
Persoalan pembinaan sepak bola bukan hanya melulu pada urusan organisasi. Ada 10 faktor lain yang mempengaruhi mulai dari standar teknik, penonton, governance, pemasaran, skala bisnis, pengelolaan pertandingan, media, stadion, klub, dan logistik.
 
Inilah yang tidak pernah kita mau perhatikan. Persoalan pembinaan sepak bola kita direduksi hanya urusan kepengurusan saja. Akibatnya, yang diperebutkan hanya kursi ketua umum dan melupakan faktor-faktor berpengaruh yang lain.
 
Sepanjang kita terus berkutat dengan persoalan legalitas dan siapa yang merasa paling berkuasa, maka sepak bola kita tidak akan pernah ke mana-mana. Siapa pun yang menjadi ketua umum PSSI hanya akan dicari sisi kelemahannya dan tidak pernah dilihat kekuatannya.
 
Kita tidak pernah mau melihat bahwa sepak bola milik semua. Tidak ada seorang pun yang boleh mengklaim sebagai pemilik sepak bola. Kita harus menyadari bahwa tidak ada malaikat di antara kita. Semua orang pasti memiliki kelemahan. Tugas kita bukan mengeksploitasi kelemahan, tetapi harus menutupi kelemahan agar menjadi kekuatan.
 
Keterbukaan dari semua pihak menjadi kunci dari penyelesaian perseteruan. Semua harus kembali kepada apa yang pernah disampaikan Pavarotti. "Olahraga harus bisa dinikmati oleh semua orang."
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(RIZ)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif