Siang itu, Jumat 15 September 2017, area ‘Thamrin Park and Ride’ tampak lowong. Tidak banyak kendaraan yang parkir.
Lahan di sebelah Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta Pusat, ini sebelumnya milik Bank DKI. Namun kini dikuasakan kepada Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi DKI Jakarta sebagai instrumen anti-kemacetan.
Harapannya, bila ada kantong parkir, pengguna kendaraan pribadi mau menggunakan transportasi umum. Hasilnya memang belum maksimal. Tapi, menyusul penegakkan larangan parkir di badan jalan, Thamrin Park and Ride bisa diandalkan. Paling tidak bagi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
"Dari situ ada jalan tembus ke Sabang, salah satu lokasi wisata kuliner di Jakarta," ucap Kepala Disparbud DKI Jakarta Tinia Budiati kepada medcom.id, Senin 18 September 2017.
Kadisparbud yang baru menjabat dua bulan ini mengakui beberapa lokasi wisata kuliner turut menyumbangkan persoalan parkir di badan jalan. Tinia mencontohkan, pusat wisata kuliner di kawasan Senopati, parkir pengunjungnya kerap menyebabkan kemacetan.
"Ada keluhan dari penduduk," katanya.
Karena itu, Tinia merasa tidak masalah bila aturan soal parkir ditegakkan. Kendati lokasi parkir menjadi lebih jauh, dia yakin, masyarakat tetap mau mengunjungi pusat-pusat kuliner.
"Pengamatan saya, bila orang sudah menyukai satu tempat makanan, mereka akan memburunya, meski harus jalan kaki," katanya.
Lagi pula, sambung Tinia, kondisi tersebut bisa mendukung kampanye jalan kaki. "Asalkan jangan sejauh satu kilometer, orang akan segan berkunjung. Masak mau makan saja mesti jalan satu kilo?"
Bila lokasi parkir yang diizinkan terlampau jauh, barulah mantan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DKI Jakarta itu berkoordinasi dengan dinas terkait - Dishub atau Dinas Tata Ruang, tentu terkait penyediaan lahan parkirnya.
"Hingga sekarang belum ada komunikasi dengan Dishub atau Tata Kota. Selama tidak ada keluhan, ya ngapain?"
Garasi
Aturan larangan parkir di badan jalan tak hanya menyasar jalan raya. Namun, di kawasan hunian pun aturan tersebut diberlakukan.
Bila tampak kendaraan pribadi terparkir di badan jalan, atas dasar Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014, Dishub tidak akan segan menindaknya.
Jadi, kalau tidak ingin ditindak, warga diharapkan memarkirkan kendaraannya di garasi rumah atau di lahan parkir bersama di lingkungan.
Serius soal aturan tersebut, Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat pun meminta warga yang hendak membeli mobil melampirkan surat keterangan memiliki garasi.
"Begitu ada surat keterangan punya garasi, baru boleh punya mobil," kata Djarot di Jakarta, Rabu 6 September 2017.
Meski begitu, Djarot menegaskan aturan itu masih dalam tahap sosialisasi. Belum ada rencana untuk melakukan razia.
Lantas, mengapa baru sekarang aturan itu ditegakkan? Padahal peraturannya sudah ada sejak 2014.
"Saat itu jumlah derek yang dimiliki Dinas Perhubungan masih sangat sedikit," kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah kepada Metro TV, Senin 11 September 2017.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit menanggapi positif ihwal aturan “wajib garasi” ini.

Menurut dia, pemilik kendaraan memang harus bertanggungjawab untuk tidak meletakkan kendaraannya di ruang publik. Tapi, dalam pelaksanaannya pemerintah sebaiknya menyediakan parkir komunal atau garasi bersama di kawasan-kawasan hunian.
"Bisa juga melibatkan pihak swasta untuk bisa ikut berinvestasi gedung parkir," ucap Danang kepada medcom.id, Rabu, 20 September 2017.
Namun, ia melanjutkan, satu hal yang paling mendasar jangan dilupakan pemerintah adalah penyiapan angkutan umum yang berkualitas baik. Ihwal wacana surat keterangan memiliki garasi, itupun ditanggapi positif.
Tapi, menurut Danang, sebaiknya dibuat pendataan elektronik. "Cross check menggunakan data IMB. Ya, sekaligus memperbaiki administrasi data rumah tinggal, akan lebih baik bila dilakukan," katanya.
Percontohan
Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta memperkirakan 30 persen penyumbang kemacetan adalah persoalan parkir di badan jalan. Jadi, bila masalah ini bisa diatasi, harapannya 30 persen kemacetan berkurang.
Namun, senada dengan Danang, pakar tata kota Nirwono Yoga menilai pemerintah harus matang dalam pengkajiannya. "Misalnya, bikin lima kawasan uji coba di lima wilayah Jakarta," tutur Yoga dalam perbincangan dengan medcom.id, Senin 18 September 2017.
Dari kawasan percontohan tersebut, dikajilah persoalan-persoalan yang ditemukan di lapangan. Adakah rumah yang difungsikan sebagai kantor? Bagaimana dengan kendaraan tamu si penghuni rumah? Berapa persentase rumah pemilik mobil yang tak bergarasi?
Setelah dikaji, barulah diketahui solusi yang harus ditempuh. Misalnya, Pemprov DKI, BP Parkir, bersama pengembang mencari lahan di sekitar hunian untuk membangun gedung parkir vertikal. Kemudian ditentukan pengelolanya.
Seandainya kini aturan ditegakkan tanpa ada kajian dari lokasi percontohan, mungkin akan banyak mobil yang diderek Dishub dari sejumlah kawasan hunian.
Pertanyaannya, apakah Pemprov DKI mempunyai lahan yang cukup untuk menampung mobil yang ditindak? Dari pengamatan Joga, sampai sekarang pun Dishub belum memiliki lahan yang cukup untuk menampungnya.
Akhirnya, karena tidak cukup lahan untuk menampung mobil yang diderek, ambisi penegakkan Perda pun bisa-bisa kembali pupus. "Dari pada jadinya cuma gertak sambal, lalu nanti justru ditertawakan, lebih baik dikaji melalui kawasan percontohan. Satu atau dua bulan, kemudian pelajari persoalannya," tandas Joga.