medcom.id, Jakarta: Februari lalu, pengusaha rumah karaoke dibikin naik pitam. Musababnya, mereka dilaporkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya.
Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya, Kombes Wahyu Hadiningrat, membenarkan ada catatan dalam daftar kasus mengenai sejumlah pengusaha karaoke yang diadukan atas masalah pelunasan royalti. “Iya. Laporannya ada. Sudah masuk ke kami,” ujar Wahyu saat ditemui tim Telusur medcom.id di Jakarta Barat, Selasa malam 21 Maret 2017.
Namun, perlu diluruskan bahwa pihak yang mengadukan bukan LMKN, melainkan PT Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (PT Asirindo). Selain itu, laporan tersebut bukan soal pembayaran royalti. Tapi, terkait pengadaan dan penggandaan lagu tanpa izin. Perusahaan karaoke dituding menggandakan lagu tanpa izin dari perusahaan rekaman. Perusahaan karaoke eksekutif diancam melanggar Pasal 117 ayat 2 juncto Pasal 24 ayat 2 huruf a, b, dan atau d pada UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Ancaman hukuman maksimal 4 tahun denda Rp1 miliar.
Dengan demikian, gugatannya bukan menyangkut royalti hak cipta, tetapi lebih kepada hak terkait.
Informasi yang diperoleh medcom.id dari kepolisan, ada sembilan perusahaan tempat karaoke eksekutif yang dilaporkan lantaran ogah membayar royalti tahun 2016 yang tagihannya mencapai miliar rupiah. Antara lain Illigals Hotel & Club, Classic Karaoke, XiS Karaoke Alexis, 1001 Colosseum Club & Karaoke, V2, Sun City Luxury Club, Newton Executive Karaoke, Level 5 Karaoke & Lounge, dan Fashion Hotel. Perusahaan-perusahaan tersebut terhimpun di dalam Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija).
Polisi cepat bertindak. Setelah tahapan gelar perkara dilakukan, penyidik menilai kasus ini layak untuk ditingkatkan statusnya. Polisi hanya tinggal menetapkan tersangka untuk menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan. "Ada tindak pidana," kata penyidik di Polda Metro Jaya.
Gertakan
Ada kejanggalan pada kasus ini. Asirindo melaporkan sembilan perusahaan rumah karaoke eksekutif di tengah proses negosisasi antara LMKN dan pengusaha masih berlangsung. Negosiasi yang dimaksud adalah perundingan mengenai kesepakatan tarif royalti yang dikenakan kepada Asphija.
Komisioner LMKN Imam Haryanto menyesalkan langkah Asirindo tersebut lantaran dapat mengganggu proses dialog dengan Asphija. Amat disayangkan, tarik ulur mengenai besaran tarif royalti sudah hampir mendapat titik temu, sedikit lagi tercapai kesepakatan.
Ia menjelaskan, LMKN tak memiliki tugas menarik royalti. Soal penarikan royalti, menjadi tugas lembaga-lembaga di bawah koordinasinya. Untuk penarikan dan pendistribusian royalti hak terkait menjadi tanggung jawab SELMI, PAPPRI, dan ARDI.
Jika negosiasi berhasil, toh Asirindo juga kecipratan royalti. Lantas, mengapa para produser ngotot melapor pengusaha karaoke eksekutif? Merujuk fakta tentang laporan Asirindo bukan soal hak pencipta, tapi hak terkait, berarti itu sama saja dengan menagih royalti melalui hak yang dimiliki produser atau perusahaan rekaman.
Perlu diketahui, hak terkait adalah hak yang berkaitan dengan hak pencipta.
Produser rekaman suara memiliki hak untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara. Di dalam aturan, ketika user atau pengguna membayar royalti atas lagu yang dipakai, maka 50% akan diberikan kepada pencipta lagu yang memiliki hak pencipta. Adapun 50% lagi diberikan kepada pihak yang memiliki hak terkait
Mereka yang memiliki hak terkait adalah, artis yang terlibat dalam proses rekaman dan perusahaan rekaman. Royalti 50% yang diberikan kepada pemegang hak terkait akan dibagi-bagi lagi, sebanyak 25% untuk perusahaan rekaman, 25% diberikan kepada artis pertunjukkan.
Asirindo tidak bisa menggugat perusahaan karaoke secara langsung. Asirindo harus menghubungi LMK untuk mendapatkan haknya. Dalam hal ini, Asirindo menghubungi Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI). SELMI yang merupakan lembaga yang bertugas menagih dan mendistribusikan royalti kepada pemegang hak terkait.
Ketua SELMI Jusak Soetiono mengakui laporan yang dilayangkan Asirindo berawal dari penolakan Asphija yang tak mau membayar royalti. Karena itu, Asirindo menggugat perusahaan rumah karaoke dengan dugaan penggandaan lagu tanpa izin. Jadi, Asirindo terkesan sengaja mencari kesalahan perusahaan rumah karaoke. Semacam gertakan.
“Mereka kan pakai lagu kita, masa nggak mau bayar ke kita. Makanya kami laporkan pakai hak penggandaan,” ujar Jusak kepada medcom.id di Kuningan Barat, Jakarta Selatan.
Jusak menilai, Asphija terlalu banyak alasan dan bertele-tele. Kata dia, jumlah kamar karaoke eksekutif di Jakarta sebanyak 1.020 kamar. Jadi, royalti sebesar Rp1,5 miliar per tahun, tidak ada apa-apanya ketimbang pendapatan perusahaan karaoke eksekutif.
“Cuma segininya saja sama mereka,” ucap Jusak sambil menunjukkan ujung jari telunjuknya.
Dipermainkan
“Ini perampasan namanya” pekik Ketua Asphija Erick Halauwet kepada medcom.id, Kamis malam 23 Maret 2017.
Erick merasa dirinya dan pengusaha rumah karaoke eksekutif lainnya diperas. Sebab, kata dia, LMKN tidak bisa menarik royalti karena belum ada kata sepakat. Dia beralasan, tarif Rp50 ribu per hari per kamar terlalu berat.
Karena tak mau bayar, LMKN memerintahkan SELMI untuk melayangkan somasi ke perusahaan karaoke eksekutif. Penetapan tarif karaoke eksekutif wajar mendapat penolakan. Tapi, bagaimanapun juga, penetapan tarif sudah diatur undang-undang. Pengusaha tidak boleh membangkang.
Baca: Mengejar Miliaran Rupiah dari Karaoke
Selain itu, Erick enggan membayar royalti karena tak ada jaminan transparansi. Dia khawatir, royalti tidak sampai ke pencipta, artis, dan perusahaan rekaman. Menurut Erick, LMKN bisa menjadi ladang korupsi.
Erick mengungkapkan, Asphija sudah puluhan tahun membayar royalti, baik untuk hak pencipta dan hak terkait. Tagihan royalti selamai ini kisarannya puluhan juta per tahun. Kini, saat UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mulai diterapkan, perusahaan karaoke kelas elit harus membayar ratusan juta hingga miliaran rupiah. “Kenapa bedanya jauh sekali?,” kata Erick.
Soal laporan Asirindo, Ericktak bisa berbuat apa-apa. Ia mengakui ada beberapa pengusaha karaoke eksekutif belum meminta izin kepada perusahaan rekaman untuk penggunaan dan penggandaan lagu. “Jangankan karaoke, jaman sekarang orang kan gampang dapatkan lagu, tinggal download di internet,” ujar Erick.
Simalakama
Keheranan Imam terhadap laporan Asirindo kian bertambah mengingat Asirindo merupakan anggota SELMI. Padahal, SELMI notabene juga di bawah LMKN. Seharusnya, semua lembaga di bawah LMKN harus kompak, satu langkah, satu suara. Namun, yang terjadi justru SELMI mendukung laporan Asirindo. Apalagi soal tuduhan penggandaan lagu, di luar konteks permasalahan.
“Saya bingung. Padahal yang memberi somasi itu SELMI, orang di bawahLMKN juga,” kata Imam kepada medcom.id.
Menurut Imam, seharusnya Asirindo bisa menahan diri. Ia menyebut, laporan Asirindo seperti buah simalakama. Jika rumah karaoke sering memutar lagu-lagu yang diproduksi Asirindo, maka asosiasi akan mendapat bayaran yang banyak pula. Sebaliknya, jika Asirindo membatasi pemutaran lagu-lagunya di rumah-rumah karaoke, maka tidak akan mendapat royalti. Artinya, yang rugi di sini Asirindo juga.
Pada aspek lain, Imam juga tak menyalahkan Asirindo. Soal izin penggandaan memang hak produser. Tapi, masalah itu bisa dibicarakan. Lagipula, di era teknologi ini, penggandaan lagu sudah jamak dilakukan. Siapa saja bisa bebas mengunduh lagu di internet secara gratis.
“Cukup pemberitahuan pakai lagu-lagunya, sudah cukup.Tidak usah bayarlah. Lagipula dengan begitu kan lagunya terpakai. Soalnya, ketika lagunya dipakai kan dapat royalti juga,” papar dia.
Imam juga menyarankan agar pengurus SELMI meningkatkan komunikasi dengan LMKN. Jika ada masalah dengan penggandaan lagu di rumah-rumah karaoke, bisa dilaporkan ke LMKN. LMKN yang akan menegur perusahaan karaoke, sehingga tidak sembarangan juga tiba-tiba melapor ke kepolisian.
Kalau sudah menjadi kasus, masalah semakin runyam. Niat awal ingin menyejahterakan para pekerja seni, malah terkesan rebutan royalti. “Bisa kok pengusaha karaoke eksekutif diajak bicara soal itu (royalti).Mereka mau berdamai. Ini karena dianggap nggak ada perhatian kali dari karaokeeksekutif terhadap mereka (produser). Saya bilang, diomongin baik-baik selesai.Pemilik karaoke datang, lalu ngomong, selesai kok,” pungkas Imam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News