medcom.id, Jakarta: Kendaraan beberapa politikus Partai Golkar terlihat terparkir di depan rumah Akbar Tandjung yang berlokasi di Jalan Purnawarman 18, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Walau Akbar sempat lama rapat dengan beberapa politikus Golkar, senyum mengembang tetap dipasang politikus senior partai berlambang pohon beringin ini ketika menyambut medcom.id di kediamannya.
Konflik menerpa Golkar hingga memecah kepengurusan partai berlambang pohon beringin ini menjadi dua kubu. Pertama, kubu Aburizal Bakrie atau yang biasa disapa Ical, ketua umum partai hasil Musyawarah Nasional (Munas) Golkar yang diselenggarakan di Bali, 30 November 2014. Kedua, kubu Agung Laksono atau merupakan kelompok yang menentang pelaksanaan Munas Bali, lalu menyelenggarakan Munas di Ancol, Jakarta, 6 Desember 2014.
Perseteruan dalam tubuh Golkar yang berkepanjangan tampaknya menjadi beban pikiran Akbar dua tahun belakangan. Berdasarkan pengalaman, Golkar paham betul konflik dan perpecahan ini berpotensi menggerogoti kekuatan, pamor, serta dukungan masyarakat terhadap partai yang besar sejak Orde Baru ini.
Akibat konflik internal, telah lahir partai-partai baru. Golkar melahirkan sempalan partai-partai baru yang lahir pada era reformasi, seperti Partai Keadilan dan Persatuan yang kini menjadi PKPI, Partai Demokrat, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan partai-partai nasionalis karya pembangunan lain yang kini sudah tiada.
Tidak sedikit pula kader-kader Partai Golkar yang di awal Reformasi 1998 lompat pagar ke partai lain seperti ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar bersama anggota yang lain, mencermati perselisihan internal ini mesti segera diselesaikan. Akbar pun mengisahlan bagaimana konflik di partai ini bermula.
“Konflik berawal dari ketidaksepakatan jadwal penyelenggaraan Munas,” ujar Akbar kepada medcom.id, Sabtu (16/1/2015).
Akbar menjelaskan, tak segendangnya keputusan Aburizal ‘Ical’ Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar hasil Munas Riau pada 8 Oktober 2009 dengan beberapa dewan pengurus pusat jadi alasan. Ical memutuskan Munas diselenggarakan pada 2015 sesuai dengan rekomendasi Munas terdahulu, yaitu Munas Riau. Namun hal ini ditentang beberapa pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai karena tidak sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) Partai Golkar.
Berdasarkan Anggaran Dasar, kepengurusan berlaku lima tahun. Kepengurusan hasil Munas Riau 2009 seharusnya berakhir pada tanggal 8 Oktober 2014. Berarti Munas Partai Golkar dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 08 Oktober 2014. Masalahnya muncul karena desakan agar memperpanjang masa bakti kepengurusan partai yang diketuai oleh Ical.
“Ada rekomendasi untuk menyesuaikan Munas dengan agenda politik nasional, yaitu Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres),” kata Akbar yang pernah menjabat Ketua DPR RI periode 1999-2004 ini.
Pemilu untuk memilih anggota legislatif di parlemen diselenggarakan pada 9 April 2014, sedangkan Pilpres digelar pada 9 Juli 2014. Polemik muncul terkait pro dan kontra usulan tersebut. Kedua kelompok, baik yang mendukung maupun yang menentang untuk mengubah jadwal pelaksanaan Munas ini saling adu pendapat, masing-masing memiliki argumen yang logis dan kuat.
Namun Ical mengklaim telah mendapat dukungan dari 31 Dewan Pengurus Daerah tingkat Provinsi (DPD I). Ia kemudian secara tiba-tiba mengusulkan jadwal Munas menjadi akhir November 2014.
“Perbedaan itu memperuncing konflik-konflik internal, sehingga munculah Tim Penyelamat Partai Golkar yang dipelopori orang yang berpendapat sama (menentang Ical),” kata Akbar.
Pria kelahiran Sibolga, Sumatera Utara, 70 tahun silam ini menjelaskan Dewan Pertimbangan Partai Golkar telah mencoba untuk mempertemukan kubu pendukung Ical dan kubu penentang yang dipimpin Agung Laksono sebelum penyelenggaraan Munas Bali pada 30 November 2014 tersebut. Sayangnya, kedua kubu tidak berhasil dipertemukan.
Sejurus kemudian, Tim Penyelamat Partai Golkar ini justru mengadakan Munas Ancol sebagai tandingan Munas Bali yang mereka nilai tidak demokratis dan bermasalah.
Saling gugat
Harus diakui kondisi Golkar kian runyam dengan adanya dua kepegurusan.
“Keduanya itu sah. Munas Bali itu sah secara aturan partai. Sedangkan Munas Ancol itu diakui oleh Menkumham,” kata Akbar.
Akbar secara tegas mendukung Munas Bali dan hadir di dalamnya karena dua alasan. Pertama, Munas Bali diadakan oleh kepengurusan Munas Riau. Kedua, DPD yang hadir dan menyampaikan suaranya merupakan hasil dari Musyawarah Daerah.
Sementara itu Munas Ancol juga diadakan oleh orang yang juga masuk kepengurusan hasil Munas Riau. Sebagian besar DPD juga menggunakan hak suaranya. Akan tetapi tiga organisasi pendiri Golkar yang terdiri dari Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957, Musyawarah Kekeluargaan dan Gotong Royong (MKGR), dan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (Soksi) menggunakan hak suaranya walau suara DPD menjadi perdebatan.
“Bahkan ada senior partai yang mendukung pelaksanaan Munas Ancol,” beber Akbar.
Akbar tak mengungkap siapa saja politisi senior Golkar yang mendukung pelaksanaan Munas Ancol. Ketika ditanya mengenai isu yang menyebutkan sejumlah tokoh senior seperti Ginanjar Kartasasmita, Andi Matalatta, dan bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat mendukung Munas Ancol, ia membantahnya.
Konflik kedua kubu, baik Munas Bali maupun Munas Ancol, berlanjut hingga upaya mencari dukungan dan diakui oleh negara. Pada tanggal 8 Desember 2014 pagi, kubu Ical mengajukan surat permohonan pengesahan pengurus ke Kementerian Hukum dan HAM. Siang harinya, giliran kubu Agung yang datang.
Pada 15 Desember 2014, Menkumham Yasonna Laoly menyampaikan surat pada dua pimpinan pengurus Golkar. Menkumham menyatakan keduanya sah secara hukum namun tidak bisa diakui oleh negara karena internal partai berkonflik.
Menkumham menyarankan konflik diselesaikan melalui mekanisme kekeluargaan di mahkamah partai. Sidang Mahkamah Partai Golkar (MPG) pun diselenggarakan mulai dari bulan Februari 2015.
Tiga persidangan pertama, kubu Aburizal Bakrie tidak hadir dengan alasan tidak mengakui keberadaan MPG. Namun, pada sidang keempat mereka menghadirkan saksi-saksi. MPG pun mengeluarkan keputusan yang dinilai sedikit bermasalah.
“Ada dua kelompok. Satu kelompok memerintahkan mengadakan Munas sebelum 2016 dan mengakui kubu Agung untuk memimpin sementara. Sedangkan kelompok lain menyarankan kedua kubu membuat kepengurusan yang merangkul kedua pihak,” kata Akbar.
Ketua MPG Muladi dan Hakim MPG HAS Natabaya bersikap netral dan berharap kedua kubu kembali bersatu. Sedangkan Hakim MPG Andi Mattalata dan Djasri Marin menerima hasil Munas Ancol karena berpendapat, Munas Golkar di Bali dilakukan tidak demokratis.
Perpecahan Golkar pun semakin terkuak ketika kedua kubu saling gugat di Pengadilan Negeri. Dimulai dengan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang dilakukan Ical dan gugatan di Negeri Jakarta Pusat yang dilakukan oleh Agung.
Proses persidangan saling menggugat yang berlangsung cukup lama ini ternyata tidak mampu menyelesaikan konflik Golkar yang rumit. Perang urat saraf di Pengadilan Negeri ini terjadi beriringan dengan sidang Mahkamah Partai Golkar.
Namun akhirnya putusan Jakarta Barat dan Jakarta Pusat menyatakan tidak berhak memutuskan perkara karena terkait kepengurusan partai. Kedua kubu yang bersengketa pun di arahkan untuk menyelesaikan sengketa lewat jalur internal.
Akbar bercerita putusan jilid I yang dihasilkan mekanisme internal justru jadi permasalahan baru. Hal ini disebabkan oleh putusan MPG yang tidak definitif memenangkan salah satu kubu. Putusan tersebut pun ditafsirkan secara berbeda oleh kedua kubu. Menkumham Yasonna dengan dasar putusan MPG mengakui kubu Agung dan memerintahkan Golkar Munas Ancol memasukkan daftar kepengurusan lewat surat nomor M.HH.AH.11.03-26
"Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat 5 UU Nomor 2 tahun 2011 tentang perubahan UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dinyatakan bahwa putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berhubungan dengan kepengurusan," demikian bunyi surat dari Kementerian Hukum dan HAM yang diteken Yasonna pada Selasa 10 Maret 2015.
Surat Kementerian Hukum dan HAM itu mengutip keputusan Mahkamah Partai Golkar agar Agung dalam membentuk kepengurusan Partai Goolkar secara selektif serta akomodatif terhadap kader-kader Partai Golkar dari DPP Golkar. Kegaduhan politik pun terjadi. Proses hukum pun kembali tak bisa dielakkan.
Gugatan hukum yang semula saling serang antara Agung-Ical, bergeser pada mempermasalahkan pengesahan Menkumham. Ical menggugat pengesahan pengurus versi Agung. Ia menang, gugatannya dikabulkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur. Agung lalu naik banding, kemudian menang di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta.
Perang saling gugat pun terus berlanjut dan proses hukum tak kunjung selesai. Putusan Mahkamah Agung untuk mencabut SK Agung dilaksanakan Menkumham, namun Ical juga tidak diakui.
“Berdasarkan aturan, tidak ada (kepengurusan Golkar) yang diakui,” kata Akbar.
Munas Luar Biasa
Menurut Akbar, Dewan Pertimbangan kini seakan dianggap sebelah mata oleh kubu Ical. Alasannya, dari dua puluh rekomendasi yang diberikan oleh Dewan Pertimbangan, tidak sampai setengahnya yang dijalankan oleh kepengurusan kubu Munas Bali.
“Kami ini kan tugasnya memang memberi rekomendasi. Tapi, apakah rekomendasi itu dilakukan atau tidak, ya terserah pengurus,” kata Akbar.
Dewan Pertimbangan sebenarnya sempat beberapa kali menyarankan Ical untuk mundur selangkah dan berdamai dengan kubu Agung dengan menyelenggarakan Munas Luar Biasa (Munaslub). Pelaksanaan Munaslub disarankan sekitar April, sebelum proses Pilkada Serentak 2015 berlangsung.
Ada dua alasan Dewan Pertimbangan mengusulkan pelaksanaan Munas Luar Biasa demi meredakan dan menyelesaikan konflik. Pertama, banyak agenda politik partai yang terganggu. Kedua, proses hukum saling gugat antar dua kubu tak kunjung usai. Golkar diharapkan segera mengkonsolidasikan diri kembali sebagai kekuatan politik besar di Tanah Air demi memenangkan persaingan yang amat sengit di masa kini dan mendatang. Jika internal Golkar terus berselisih, bagaimana partai ini bisa berkonsentrasi pada strategi memenangkan Pilkada, Pemilu, bahkan Pilpres berikutnya?
Namun, saran untuk menggelar Munaslub itu pun ditolak oleh Ical. Akbar menyebut Ical enggan mengadakan Munaslub karena tak ingin menimbulkan prseseden buruk terkait posisi Munas. Selama ini Munas punya posisi sakral sebagai sarana penghasil keputusan tertinggi untuk partai. Jika jalan keluar setiap konflik adalah Munas, maka posisi sakral itu akan luntur, Selain itu, penyelenggaraan Munas yang pasti tidak sedikit tentu patut pula jadi pertimbangan.
“Dia (Ical) tak mau sedikit-sedikit Munas setiap ada konflik. Dia juga yakin pertengahan April semua proses hukum selesai,” kata Akbar.
Tetapi, pada kenyataannya tidak ada kesimpulan pasti dari proses hukum. Opsi agar “berdamai sementara” sebagaimana yang diusulkan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan dijalankan Komisi Pemilihan Umum justru tak jadi solusi.
Justru prestasi Golkar merosot. “Golkar jadi partai di peringkat Sembilan,” kata Akbar.
Dari 269 calon yang diusung Golkar pada Pilkada Serentak 2015, hanya 49 yang menang atau sekitar 20 persen yang berhasil menjadi kepala daerah. “Ini tak pernah terjadi sejak reformasi,” kata Akbar dengan raut muka sedih.
Melihat kondisi tidak kunjung membaik, Akbar bersama anggota dewan pertimbangan yang lain pun memutuskan untuk mengeluarkan rekomendasi terakhir pada 28 Desember 2015. Dewan Pertimbangan pun meminta MPG mengeluarkan putusan untuk mendorong Munaslub. Uslan Dewan Pertimbangan didukung Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG), under bow partai yang masih berupaya menyatukan komponen dari kedua kubu yang bertikai.
“Mereka mendatangi senior partai seperti JK dan Habibie. Generasi muda meminta kami mendorong penyelesaian konflik Golkar yang berkepanjangan. Saya kira, Munaslub tetap menjadi solusi terbaik,” terang Akbar.
Menggunakan surat Dewan Pertimbangan, eksponen pengurus versi Munas Riau, kedua kubu bertikai, serta beberapa surat dari pengurus daerah, Mahkamah Partai Golkar memutuskan membentuk tim transisi. Tim yang diketuai Jusuf Kalla dan dilindungi oleh Habibie ini memiliki tugas menggelar musyawarah nasional sebelum 29 Maret.
Ketua MPG Muladi membacakan putusan sidang. "Menetapkan tim transisi untuk rekonsiliasi total, menyelenggarakan munas yang demokratis dan melibatkan pihak yang berselisih," kata Muladi di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat (15/1/2016).
Tim transisi diisi B.J. Habibie sebagai pelindung, Jusuf Kalla selaku Ketua merangkap anggota. Sementara anggotanya, yakni Ginandjar Kartasasmita, Emil Salim, Abdul Latief, Siswono Yudohusodo, Akbar Tandjung, Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Theo L. Sambuaga, dan Soemarsono.
Tugas pertama tim transisi adalah menetapkan peserta munas, panitia penyelenggara munas (steering committee dan organising Committee), menetapkan waktu, dan tempat pelaksanaan munas. Tim transisi juga bertugas menetapkan aturan dan ketentuan yang menjamin terlaksananya munas yang aspiratif, demokratis, terbuka, dan akuntabel.
Tugas kedua, tim transisi juga diberi tugas menata kepengurusan dan sususan fraksi di MPR dan DPR selama masa transisi. Ketiga, mengawal rekonsiliasi berdasarkan pedoman yang diberikan MPG melalui putusan pertama pada 3 Maret 2015.
"Menghindari the winner takes all. Mengapresiasi kepengurusan yang melibatkan pihak-pihak berselisih. Merehabilitasi individu pengurus partai yang dipecat selama perselisihan terjadi. Larangan membentuk partai politik baru," ujar Muladi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News