Sopir diminta meninggalkan tanda pengenal. Tak lama, pemeriksaan kelar, si sopir diizinkan masuk. Satpam lainnya segera membuka palang pintu, truk melaju menuju kawasan pabrik semen seluas 57 hektare. Pabrik itu milik PT Semen Indonesia.
Pabrik Semen Indonesia berada di tengah hutan jati, diapit karst Pegunungan Kendeng di Kecamatan Gunem. Pegunungan Kendeng merupakan pegunungan batu gamping atau batu kapur yang melintasi tujuh Kecamatan di dua provinsi, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di sebelah selatan, Pegunungan Kendeng melintasi Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang. Di bagian utara, pegunungan ini melewati Kabupaten Purwodadi dan Kabupaten Blora dan melintasi Kabupaten Tuban hingga Kabupaten Bojonegoro di bagian Timur. Perjalanan menuju pabrik semen memakan waktu satu jam dari pusat kota Rembang. Lokasi pabrik juga tak jauh dari Makam Pahlawan Emansipasi Wanita, RA Kartini di Kecamatan Bulu, hanya berjarak 8,3 kilometer.
Belakangan, Rembang memang menjadi isu hangat saat ada aksi penolakan pembangunan semen. Ratusan petani menolak pembangunan pabrik karena akan merusak lingkungan. Pendirian pabrik mengancam lahan pertanian. Menjadi heboh ketika seorang petani, Bu Patmi, meninggal usai melakukan unjuk rasa penolakan pembangunan pabrik semen. Bu Patmi bersama delapan petani lainnya mengecor kaki di depan Istana Merdeka, Jakarta.
Di jalan lintas Rembang-Blora, sekitaran Dusun Mantingan, 29 kilometer dari Kantor Bupati Rembang, lima orang laki-laki tampak berkumpul di pertigaan jalan. Mereka asik mengobrol sambil duduk di atas sepeda motor.
Persis di pertigaan jalan itu, terbentang puluhan spanduk berisi penolakan pembangunan pabrik semen. Ada juga spanduk berisi dukungan pembangunan pabrik. Masyarakat lokal terpecah menjadi dua kelompok, pro dan kontra.
Di pertigaan itu pula, ada jalan tanah berlumpur dan berbatu menuju lokasi pabrik Semen Indonesia. Di pinggir jalan, empat eskavator sedang menggaruk lahan untuk pelebaran jalan. Dua unit tandem roller juga tampak mondar mandir memadatkan material pondasi jalan.
Di ujung tikungan, sebuah bukit dibelah untuk pembangunan jalan. Bukit itu sengaja dikoyak untuk mempersingkat akses menuju pabrik. Dari kejauhan, melalui kedua celah bukit yang bolong tadi, tampak bangunan pabrik berdiri kokoh dengan cerobong asap menjulang ke langit. Suara gemuruh mesin-mesin pabrik makin jelas terdengar. Puluhan truk bertambah sibuk keluar-masuk pabrik seharian.
Suara adzan salat jumat berkumandang, seluruh karyawan muslim berkumpul melaksanakan salat di masjid yang terletak di dalam areal pabrik. Semua aktivitas pabrik dihentikan. Jamaah yang datang tak hanya dari kalangan karyawan, beberapa datang dari desa sekitar pabrik.
Ada lima desa yang berada di radius empat kilometer dari kawasan pabrik, yakni; Dusun Kadiwono, Pasucen, Kajar, Tegaldowo, dan Timbrangan. Kelima desa itu masuk kawasan ring satu. Dari lima dusun, hanya ada dua dusun yang warganya menolak pembangunan pabrik, dusun Tegaldowo dan Timbrangan. Jumlahnya minoritas.
Empat kilometer dari pabrik semen, ke arah barat, ada desa Tegaldowo dan Timbrangan yang warganya sampai sekarang tak pernah akur. Perjalanan ke sana harus melewati jalan berkelok dengan curam jurang di kanan-kiri.
Memasuki wilayah desa, beberapa spanduk berisi penolakan dan dukungan pembangunan pabrik langsung menyambut. Spanduk ditancapkan di beberapa persimpangan dan beberapa halaman rumah warga. Jarak spanduk penolakan dengan spanduk dukungan tak jauh, hanya ratusan meter.

Meskipun warga di wilayah tersebut ada yang mendukung serta ada yang menolak adanya pabrik Semen namun kehidupan sosial masyarakat setempat tetap rukun dan harmonis. (ANTARA/Yusuf Nugroho)
Pantauan medcom.id, air tampak mengalir di sepanjangan selokan di desa Timbrangan dan Tegaldowo yang bermuara ke saluran irigasi pertanian warga. Beberapa pekan lalu, kedua dusun itu diguyur hujan.
Jika memasuki musim kemarau, kebutuhan air untuk pertanian dipasok dari dua embung yang dibangun PT SI di balik bukit. Selain embung, perusahaan semen juga membangun pipanisasi berjarak 300 sampai satu kilometer untuk pasokan air bersih. Perusahaan semen juga membangun tandon kapasitas masing-masing 3.100, 5.100, dan 8.200 liter dengan kapasitas pompa 18 meter kubik per jam. Semua itu dibangun menggunakan dana CSR hingga miliaran rupiah.
Sepanjang jalan, sejauh mata memandang, tak ada tanda-tanda kerusakan alam seperti yang takutkan warga. Pohon-pohon jati yang mengepung pemukiman masyarakat desa tetap berdiri kokoh. Tanaman warga seperti padi, jagung, ketela, dan tanaman pangan lainnya tetap tumbuh subur. Kualitas udaranya masih sejuk.
Kehidupan warga sepintas tampak rukun, warga terlihat sibuk bekerja seperti biasa. Beberapa warga sesekali menyapa warga pendatang.
Dwi Joko Supriyanto, salah seorang warga pro-semen mengatakan, kehidupan warga Tegaldowo dan Timbrangan sampai hari ini tetap rukun berdampingan. Meskipun, ada warga yang memiliki perbedaan sikap terkait pembangunan pabrik semen.
“Di sini biasa saja, tidak seperti pemberitaan di media-media,” kata Dwi ketika ditemui Tim Telusur medcom.id di Dusun Tegaldowo, Gunem, Rembang, Jumat 31 April 2017.
Menurut Dwi, perbedaan pendapat wajar terjadi. Tak ubahnya perbedaan antara suami istri. “Biasa itu, Mas. Keluarga saya juga sering ada selisih paham,” ujar Dwi yang berprofesi sebagai kepala sekolah.
Mulai pecah
Sebelum ada pembangunan pabrik, warga di lima dusun hidup rukun. Budaya gotong-royong masih kental. Warga selalu menghadiri kegiatan desa. Semua berubah pada awal 2012. Saat itu, pihak perusahaan semen PT Semen Indonesia (PT SI) menyosialisasikan rencana pembangunan pabrik. Acara sosialisasai dihadiri perangkat desa, tokoh masyarakat, dan perwakilan masyarakat. Semua warga yang ikut sosialisasi menyambut baik. Sebab, perusahaan semen menjanjikan lapangan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik.
Kabar rencana pembangunan pabrik semen oleh PT SI tercium Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), LSM yang aktif menolak pembangunan semen PT SI. Jauh sebelumnya, JMPPK yang dikomandoi Gunretno, juga mengajak warga menolak pembangunan pabrik semen PT SI di Pati. Gunretno merupakan salah seorang warga Pati yang aktif bersuara menolak pembangunan semen.
Selepas salat Isya, JMPPK mengumpulkan ratusan warga dipelataran salah seorang rumah warga di desa Tegaldowo. Di sudut halaman, proyektor dan layar putih dipasang. Di sana warga sudah menunggu duduk bersila.
Orang dari JMPPK lalu memutarkan sebuah film, berisi gambar kehancuran alam akibat penambangan batu kapur oleh perusahaan semen. Warga mulai tertarik dan tambah serius menonton. Di dalam film itu, diperlihatkan peledakan gunung kapur menggunakan dinamit. Kepingan batu kapur berhamburan. Warga sejenak dibikin kaget dan ketakutan. Teriakan kecil menyeruak di antara warga yang menonton.
Film dokumenter itu kembali memperlihatkan kondisi desa di dekat penambangan batu kapur yang mengalami krisis air. Lahan-lahan pertanian menjadi tak produktif akibat kekurangan air. Daun-daun tanaman padi, singkong, jagung, berubah putih terpapar abu pabrik semen. Kualitas udara memburuk. Film itu menceritakan warga petani banyak terserang penyakit pernafasan karena menghirup udara yang tercampur debu.
Warga semakin yakin pembangunan semen akan mengancam kehidupan mereka. Keesokan harinya, dari mulut ke mulut, informasidampak pembangunan semen menyebar kalangan warga. Sebagian warga ada yang percaya, ada pula yang tidak. Di sisi lain, perusahaan semen juga terus berupaya mendekati warga agar tidak terpengaruh isu.
Dua tahun kemudian, 16 Juni 2014, dilakukan ground breaking atau peletakan batu pertama proyek pembangunan pabrik semen dengan kapasitas 3 juta ton per tahun. Dana pembangunan pabrik menghabiskan Rp4,98 triliun. Acara itu berjalan lancar meskipun ada aksi penolakan warga di dekat lokasi pembangunan pabrik.
November 2016, pembangunan pabrik rampung. Rencana peresmian pada Januari 2017 gagal, karena gugatan warga penolak didikabulkan Mahkamah Agung. Putusan itu dikeluarkan pada Rabu, 5 Oktober 2016.
Gugatan itu diajukan Joko Priyanto bersama warga Rembang. Pokok permasalahan terkait izin lingkungan.
Obyek gugatan ditujukan pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17/2012 tertanggal 7 Juni 2012 tentang izin lingkungan kegiatan penambang dari pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia. Joko Priyanto termasuk kelompok penolak yang dikenal aktif melakukan serangkaian unjuk rasa.
Adu domba
Di bayangan warga penolak, pabrik semen PT SI tidak akan berhenti beroperasi seiring dikeluarkannya putusan MA. Tapi, warga penolak kesal, aktivitas di pabrik masih berlangsung.
“Pabrik belum beroperasi, tapi butuh perawatan dan bahan bakar,” ujar Seksi Perencanaan Komunikasi PT SI, Rahmat Nova Andi.
Warga penolak kembali melakukan aksi protes dengan mendirikan tenda di pinggir jalan yang tak jauh dari pabrik semen. Kelompok warga pendukung melakukan hal yang sama, ikut mendirikan tenda.
Sabtu, 11 Februari 2017, isu pembakaran tenda warga penolak berhembus kencang. Tak hanya itu, kabar musala dekat dengan tenda yang dibangun warga juga dibakar. Walhasil Al-Quran, sajadah, mukena, dan sarung di dalam musala ikut hangus.
Belakangan, isu pembakaran musala dan Al-quran disebar oknum dari kubu penentang pabrik semen itu tidak benar alias hoax. Si oknum menyebarkan kabar pembakaran melalui keterangan tertulis yang disebarkan kepada wartawan.

Dwi, warga yang mendukung kehadiran pabrik semen, mengatakan, tak ada pembakaran musala dan Al-quran. Kata Dwi, yang dibakar hanya palang kayu yang menutup jalan. Palang kayu dibakar karena menggangu petani pergi ke sawah. Pelaku pembakaran masih belum jelas. Sementara itu, Al-Quran, sajadah, mukena, dan sarung sudah diamankan di Polres Rembang.
“Sudah bawa-bawa isu SARA,” ujar Dwi sambil geleng-geleng kepala.
Semenjak itu, warga Tegaldowo dan Timbrangan mulai mencium adanya provokator di balik serangakaian aksi yang dilakukan warga penolak. Sebab, warga Tegaldowo dan Timbrangan tak mungkin membakar tempat dan atribut agama. Bukan mencirikan warga lokal. Ada pihak luar yang memprovokasi.
“Warga di sini beda pandangan. Tapi tetap bisa jaga diri. Satu keluarga ada yang beda pandangan, tapi tetap hidup bersama, tak mungkin sampai bakar-bakar itu,” heran Dwi.
Usut punya usut, mobilisasi warga penolak diduga digerakkan oknum itu juga yang ternyata berafiliasi dengan JMPPK yang dikoordinasikan oleh Gunretno untuk menolak pembangunan pabrik.
Gunretno dikenal sebagai tokoh kelompok petani yang menganut ajaran sedulur sikep. Sejarah mencatat bahwa kelompok ini selalu mengobarkan semangat perlawanan terhadap pengaruh asing dan budaya kapitalisme. Antara lain, menentang Belanda dengan cara tidak membayar pajak, serta menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial.
Bahkan, menurut Wikipedia, masyarakat sedulur sikep ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok di luarnya.
Dalam suatu kesempatan, Gunretno pernah menyatakan bahwa perjuangannya bersama sedulur sikep dilandasi kepentingan petani untuk tetap menguasai lahan pertanian. “Dalam proses panjang kami sebagai petani, menyebut petani kan harus punya lahan. Kalau punya lahan sebaiknya ditanami. Agar bisa produktif ya harus ada pengairannya. Pengunungan Kendeng, kan pegunungan kapur, jadi sebagai peresapan air. Air itu untuk menghidupi sehari-hari masyarakat juga untuk pertanian,” ujar pria yang akrab disapa Gun itu saat menghadiri acara Mata Najwa di Metro TV, Jakarta, Rabu 21 Desember 2016.
Gun bahkan menilai warga masyarakat yang menyambut kehadiran pabrik semen di desanya adalah orang yang tidak bersyukur dan berpikiran sempit tentang kesejahteraan duniawi. Padahal, tanah dan bumi ini sudah memberi banyak untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat petani. “Jalan pikiran orang-orang yang mendukung pabrik adalah berkaitan dengan pekerjaan,” kata dia.
“Kami sebagai sedulur sikep, kami punya pilihan hidup hanya sebagai petani. Jadi, untuk mencukupi kebutuhan hidup hanya sebagai petani,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News