Seorang anggota kepolisian dan simpatisan PPP berjaga di depan kantor DPP PPP, Jakarta. (foto: Antara/Puspa Perwitasari)
Seorang anggota kepolisian dan simpatisan PPP berjaga di depan kantor DPP PPP, Jakarta. (foto: Antara/Puspa Perwitasari)

PPP, dari Fusi hingga Faksi

Medcom Files konflik parpol
Sobih AW Adnan • 18 Januari 2016 23:05
medcom.id, Jakarta: Di teras Istana Kepresidenan, pria berjas rapi lengkap dengan kacamata khasnya itu berusaha tampak santai menanggapi pertanyaan-pertanyaan wartawan. Dengan intonasi yang kadang landai dan sesekali meninggi, tibalah ia pada pertanyaan tentang bagaimanakah nasib dan perkembangan terakhir perjalanan konflik dari sebuah partai berlambang kakbah. Benar-benar pecah? Atau islah?.
 
Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI itu menjawab pihaknya lebih mendorong penyelesaian konflik yang menimpa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) secara kekeluargaan. Lebih tepatnya, sosok kelahiran 27 Mei 1953 ini enggan untuk menerbitkan surat keputusan (SK) kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP untuk kubu Djan Farid, setelah dikeluarkannya Putusan Kasasi Nomor: 504K/TUN/2015 tangggal 20 Oktober 2015 yang mewajibkan pihaknya mencabut SK Nomor M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014 tentang pengesahan kepengurusan kubu Romahurmuzy. Menurut Yasonna, dirinya khawatir jika pengakuannya terhadap kepengurusan PPP versi Muktamar di Jakarta itu, justru memperuncing percekcokan dan merusak internal PPP.
 
“Kami mendorong penyelesaiannya didasarkan pada kebijaksanan untuk islah,” kata Yasonna, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (13/1/2016).

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Tampaknya rumit benar ujian yang sedang diterima partai yang eksis sejak awal Orde Baru ini. Senasib dengan saudara tuanya, Partai Golongan Karya (Golkar), PPP sedang sekuat tenaga menghadapi segenap persoalan tentang komitmen dan sikap arif para elite kader di dalamnya. PPP dan lika-liku masa lalu
 
Sebagai partai kawakan yang masih eksis dan bertahan hingga sekarang, tentu bukan sekali ini saja PPP didera segala macam persoalan. Sejak dideklarasikan pertama kali pada tanggal 5 Januari 1973 lampau, boleh dikatakan, PPP adalah partai yang sejak mula menerima tantangan dan membuatnya menjadi sebuah kendaraan politik yang sarat dengan asam garam.
 
Tantangan pertama yang diterima PPP tak lain adalah keberadaannya sebagai partai hasil kebijakan fusi pemerintahan Orde Baru. Saat itu, kekuatan politik Islam memang mendapatkan tekanan dari pemerintah berupa batasan untuk mengambil peran dalam panggung perpolitikan Indonesia.
 
“Baik Soekarno maupun Soeharto, saat itu semacam memiliki kekhawatiran yang sama terhadap kekuatan politik Islam yang ada. Soekarno membubarkan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) tahun 1960 atas kecurigaannya tentang keterlibatan beberapa tokoh dalam pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), padahal salah satu tokoh Masyumi sendiri, yakni M. Nasir lah yang gencar mempromosikan kesatuan RI, melalui istilah yang dikenal dengan Integral Nasir, dia telah berhasil menyatukan berbagai kelompok,” kata Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), Usamah Hisyam, saat ditemui medcom.id di kediamannya, di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
 
Begitu pula dengan Soeharto, penggerak rezim Orde Baru ini juga terkesan turut memangkas kekuatan politik Islam di Indonesia dengan mendorong kebijakan fusi partai politik. Dalam Dinamika Politik Islam di Indonesia, Sukamto menulis, “fusi partai-partai Islam ke dalam PPP pada tahun 1973 juga dianggap sebagai penciutan kekuatan Islam dalam bidang politik.”
 
“PPP terbentuk dari beragam komponen partai politik berhaluan Islam yang tak lain merupakan peserta pemilu 1971, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Islam (Perti) dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang merupakan reinkarnasi dari Partai Masyumi,” kata Usamah Hisyam.
 
PPP diketuai pertama kali oleh Mohammad Syafaat Mintaredja, yang merupakan keterwakilan unsur Parmusi. Latar belakang kader PPP dengan ideologi dan pandangan yang beragam tentang keislaman ini menjadikannya sebagai partai politik yang kompleks sekaligus rawan perpecahan. Terlebih, adanya campur tangan pemerintah Orde Baru yang kerap menyulut konflik internal partai demi menguatkan kekuasaan.
 
“Setelah ‘Walk Out’ 1978, PPP mengalami campur tangan pemerintah yang sangat besar. Sebagaimana dikatakan di atas (terkait kebijakan monoloyalitas dan penyetaraan status kepercayaan dan agama), ketua umum DPP Mintaredja, diberhentikan dan Djaelani Naro ditunjuk sebagai penggantinya, tanpa bemusyawarah dengan anggota pengurus lainnya,” tulis Martin Van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru.
 
Kudeta Naro di tubuh DPP PPP waktu itu boleh dibilang konflik terpanas sepanjang sejarah partai. Belakangan diketahui, Naro merupakan kawan dekat Ali Murtopo yang mengidekan fusi partai Islam kepada Soeharto.
 
“Tidaklah mengherankan jika bahwa deklarasi yang dibuat oleh Naro ini bisa berjalan mulus dan, walaupun tidak memenuhi proses formal, PPP mempunyai ketua yang baru,” tulis Greg Barton dalam Biografi Gus Dur.
 
Persoalan berikutnya muncul pada saat keterwakilan kelompok NU merasa frustasi atas keterbatasan porsi yang didapatkan dari PPP. Melalui Muktamar Ke 27 NU di Situbondo, partai politik ini akhirnya memutuskan untuk kembali ke khittah 1926, yakni melepaskan diri dari hiruk pikuk politik praktis dan kembali menyatakan sebagai organisasi kemasyarakatan yang terbebas dari aktivitas politik.
 
“Gerakan inilah yang kemudian dianggap oleh kelompok lain sebagai “penggembosan” suara PPP yang dilakukan oleh NU. Padahal, hal ini terjadi atas ketidakadilan yang dilakukan kepemimpinan Naro karena menghabisi para tokoh NU dari kursi kepemimpinan di DPP PPP,” ujar Ketua Umum DPP PPP versi Muktamar Surabaya, M. Romahurmuzy, Kamis kemarin.
 
Indikator bahwa sumbangan suara NU sangat signifikan terhadap PPP dapat dilihat dalam hasil pemilu 1987. Gerakan kembali ke khittah 1926 yang didorong oleh Abdurahman Wahid serta Slamet Effendy Yusuf sebagai keterwakilan angkatan muda NU ini tentu memberikan dampak penurunan suara PPP.
 
“Pada pemilu 1987, perolehan suara partai-partai Islam (PPP) menurun drastis dari 43,9 % suara di tahun 1955 menjadi hanya 16,0 % suara di tahun 1987,” tulis Fathurin Zen dalam NU Politik: Analisis Wacana Media.
 
Tabloid Memorandum pada Laporan Khusus Edisi Mei 1998 bahkan menjelaskan kemerosotan suara PPP berlangsung hingga pemilu 1992. Suara PPP pada pemilu saat itu hanya memperoleh 17 persen saja. Nasib baik PPP baru diperoleh kembali jelang runtuhnya rezim Orde Baru pada pemilu 1997, yakni sedikit naik menjadi 22, 58 persen suara.
 
“Pemilu 2014 kemarin juga naik. Tapi ini karena faktor lain, yakni jumlah peserta pemilu yang hanya diikuti oleh 14 partai, jauh lebih sedikit dibanding 2009, apalagi 1999,” kata Romahurmuzy.
 
Segala bentuk campur tangan dan penekanan yang dilakukan rezim Orde Baru kepada PPP tampaknya tidak hanya terkait hal-hal yang bersifat politis. Pada 1984, keberadaan Naro yang tiba-tiba menjadi ketua umum PPP lantas mengubah asas dan pedoman partai dari prinsip Islam menjadi berasas Pancasila guna mengikuti saran pemerintahan. Tak hanya itu, di sinilah awal dari diubahnya simbol kakbah menjadi logo bintang dalam segi lima.
 
PPP pasca reformasi
 
Kejatuhan Soeharto dan tumbangnya Orde Baru pada 21 Mei 1998 menjadi babak baru bagi perjalanan sejarah PPP. Pada tanggal 29 November hingga 2 Desember 1998, Muktamar ke IV di Jakarta memutuskan kembalinya PPP kepada asas Islam serta penggunaan lambang kakbah. Hamzah Haz terpilih menjadi ketua umum. Namun sayang, keterlepasan PPP dari kungkungan rezim yang semestinya menjadi momen kebebasan dan kebangkitan ini tampaknya tidak terwujud lantaran muncul persoalan baru yang hal itu memang menjadi tanda tegaknya era reformasi.
 
“Pada saat itu, sebenarnya menjadi peluang yang baik bagi PPP untuk kembali memperkuat partai. Namun akibat munculnya regulasi politik yang boleh dan bebas bagi sebuah kelompok untuk mendirikan partai, maka muncullah partai lain seperti Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan (PK) yang sebenarnya bersumber dari embrio yang sama, yakni tradisi Masyumi,” kata Usamah.
 
Tidak hanya itu, satu faksi juga muncul dengan bersikukuh mempertahankan logo lama PPP berupa bintang dalam segi lima untuk didorong sebagai peserta pemilu 1999 dengan nama Partai Persatuan (PP). Keserupaan ini, dikhawatirkan bisa mengecoh para pemilih setia PPP.
 
“Hal yang sama juga terulang pada tahun 2002. Di mana kawan-kawan yang merasa kurang puas dengan kepemimpinan Hamzah Haz pada akhirnya membuat barisan PPP Reformasi dan berujung pada pembentukan Partai Bintang Reformasi (PBR), yang ditokohi oleh KH Zaenudin MZ,” ujar Usamah.
 
Dinamika politik baik dari sisi internal maupun yang berasal dari faktor luar memang selalu menyertai perjalanan PPP. Meski begitu, setiap persoalan hadir selalu dengan atmosfer yang berbeda. Hal ini semestinya menambah kedewasaan para kader dalam panggung perpolitikan Indonesia.
 
“Dulu memang sering disebabkan oleh latar belakang organisasi keislaman yang berbeda. Tapi untuk konflik kali ini, NU lawan NU. Meski begitu, saya mewakili Parmusi tetap optimis PPP akan semakin dewasa dan maju,” kata Usamah.
 
Yang terakhir, PPP didera konflik perpecahan sejak jelang pemilihan presiden 2014 lalu. Hal ini bermula saat Suryadharma Ali (SDA), ketua umum DPP PPP, mengikuti kampanye partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang diketuai Prabowo Subianto pada 23 Maret 2014 lalu. Blunder yang dilakukan SDA ini kemudian berkelanjutan hingga melahirkan dua muktamar, yakni Faksi Romahurmuzy yang menggelar pemilihan ketua di Surabaya dan faksi Djan Faridz yang menggelar perhelatan pemilihan pengurus partai di Jakarta.
 
“Pertarungan ini saya sering ungkapkan sebagai pertarungan aliran pro kepemimpinan konstitusional dan pro kepemimpinan personal. Kelompok pertama adalah semua orang yang berpegang teguh pada aturan partai, sementara kelompok kedua adalah orang yang meletakkan organisasi pada kepentingan diri pemimpin, dalam hal ini dilakukan oleh SDA yang coba ditransfer ke Djan Farid,” kata Romahurmuzy.
 
Lantas bagaimanakah akhir dari kegaduhan di “Rumah Besar Umat Islam” ini?, semestinya sangat mudah bagi sebuah partai politik sekelas PPP untuk melakukan penyelesaian, tentu, dengan modal kejernihan berpikir, pengalaman, juga sejarah.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan