Karaoke eksekutif mematok pembayaran minimal atau minimum charge (MC) pada setiap paket pemakaian bilik bernyanyi. Paket MC ditawarkan mulai dari Rp1,5 sampai Rp3 juta. Apapun paket yang dipilih, pengunjung boleh memakai ruangan dan menikmati sajian serta fasilitas yang disediakan. Mau sejam, dua jam, tiga jam, empat jam, bahkan seharian pun boleh.
Sementara itu, karaoke keluarga mengenakan biaya pemakaian kamar lebih murah, tapi, dihitung per jam. Biaya kamar mulai dipatok dari Rp50 ribu sampai Rp300 ribu. Tetapi, jika memesan makanan dan minuman akan dikenakan biaya tambahan. Dengan kata lain, makin banyak jajan di room karaoke keluarga, biaya yang harus dibayar pun akan makin besar.
Selain itu, karaoke eksekutif menyediakan bermacam fasilitas layanan. Mulai dari pilihan sajian seperti minuman, makanan, buah-buahan, para pemandu atau lady companion, hingga fasilitas ruangan yang luas dilengkapi arena bernyanyi dengan koleksi lagu yang beragam, longue, mini bar, dan toilet. Bahkan, beberapa karaoke eksekutif juga menyediakan fasilitas tempat tidur. Pengunjung karaoke eksekutif jelas bukan dari rombongan keluarga. Pengunjung karaoke eksekutif pada umumnya mereka yang ingin berhura-hura, bukan sekadar butuh hiburan. Sasaran konsumen adalah orang-orang berkantong tebal.
Berawal di Jepang
Menilik sejarahnya, karaoke punya kisah menarik. Suatu malam pada dekade 70-an, suara keramaian kian terdengar. Suara bising itu berasal dari sebuah kedai kopi di Kobe, Jepang. Rupanya, ada banyak pelanggan yang tak sabar menanti sajian musik dari band yang biasa manggung di kedai itu.
Pemilik kedai mulai cemas. Ini bukan soal takut kehilangan pelanggan. Tapi, ini lebih pada kegelisahan apabila tak mampu memuaskan konsumen.
Kedainya selama ini senantiasa ramai pengunjung karena ada pertunjukkan musik dari band itu. Masalahnya, malam ini grup musik tersebut kemungkinan tak bisa naik panggung lantaran personel yang tidak lengkap. Sang gitaris tak kunjung datang.
Si pemilik kemudian berembuk dengan personel lainnya yang sudah hadir. Lalu, muncullah suatu ide yang kemudian disepakati sebagai solusi. Band tetap menghibur pengunjung tapi dengan musik yang sudah mereka rekam. Para pengunjung menyukainya dan tetap bergembira. Pemilik kafe pun bisa bernafas lega, masalah bisa terpecahkan.
Tak disangka, peminat hiburan model begini malah meningkat. Betapa tidak, para pengunjung diperbolehkan menyanyi bergantian tanpa membuat para personil band memainkan musik berulang-ulang. Dari situ, istilah karaoke mulai dikenal.
Karaoke berasal dari Bahasa Jepang, yakni ‘kara’ dari kata karappo yang berarti kosong dan ‘oke’ dari kata okesutura atau orkestra. Lambat laun, karaoke menjadi budaya di Jepang.
Kebetulan, masyarakat Jepang suka berpesta. Sepulang bekerja, orang Jepang selalu mencari hiburan alternatif untuk melepas penat dari rutinitas pekerjaan. Karaoke banyak dipilih karena terbukti dapat membunuh stres. Karaoke juga bisa menjadi tempat untuk menyalurkan hobi bernyanyi.
Karaoke terus berkembang. Meski awalnya cuma sekadar hiburan melepas penat, kini menjelma menjadi salah-satu alternatif bisnis. Rumah-rumah karaoke menjamur di Jepang. Bahkan, meluas ke negara tetangga, Korea Selatan. Di Korea, karaoke boleh dibilang lebih menggila.
Diperkirakan, karaoke masuk ke Indonesia sekira dekade 80-an. Dulu, karaoke identik dengan hiburan malam. Jadi wajar, masyarakat Indonesia belum membuka tangan untuk budaya karaoke.
Pada November 1992, Santoso Setyadj memperkenalkan konsep karaoke keluarga di Surabaya. Dia mendirikan sebuah rumah karaoke. Konsepnya untuk mengembalikan karaoke ke fungsi asalnya, yakni sebagai hiburan bernyanyi untuk melepas penat.
Prospek
Binis karaoke memiliki prospek yang bagus. Tak heran, banyak yang membangun bisnis tempat bernyanyi ini. Tak hanya pengusaha, kalangan selebritas pun tergiur mencicipi usaha ini. Sebut saja Inul Daratista, Anang Hermansyah, Ahmad Dhani, Melly Goeslaw, dan Syahrini adalah sederet nama artis terkenal yang sudah merintis bisnis karaoke.

Penyanyi Inul Daratista (kanan) bersama Ketua Karya Cipta Indonesia (KCI) Dharma Oratmangun saat menunjukan surat "kesepakatan berdamai" antara KCI dengan Inul Vizta di Jakarta. Dalam surat tersebut KCI mencabut segala tuntutan hukum terhadap usaha karaoke Inul daratista "Inul Vizta" terkait atas kasus sebelumnya dimana Inul Daratista digugat oleh pihak KCI atas pelanggaran hak cipta. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Membangun bisnis karaoke membutuhkan biaya investasi yang terbilang murah. Modal awal Rp400 juta sudah bisa membangun bisnis karaoke dengan empat kamar.
Untuk membuka usaha tempat karaokedibutuhkan tiga syarat utama, yakni izin usaha, lokasi, dan bujet. Jika ketiga syarat pokok sudah terpenuhi, calon investor tinggal menganggarkan biaya untuk pembelian peralatan seperti komputer, speaker, amplifier, dan software.
Setelah itu, investor juga harus menyisihkan anggaran untuk instalasi sistem audio karaoke, pemasangan peredam suara, layer LCD, sofa, interior wallpaper, ornamen kaca dan acrylic, lighting, serta perlengkapan lainnya.
Calon investor tak perlu repot untuk memikirkan alokasi untuk pembelian alat-alat tersebut. Saat ini, banyak jasa yang menawarkan kerja sama bisnis karaoke di internet. Calon investor tinggal menyediakan tiga syarat pokok.
Dari segi pendapatan, usaha rumah karaoke meraup banyak keuntungan bukan dari penyewaan kamar, melainkan penjualan minuman dan makanan. Harga makanan dan miniman di rumah karaoke bahkan bisa dinaikkan dengan kelipatan lebih dari 100%,. Makanya, banyak pengelola binis karaoke selalu menawarkan paket dengan tambahan pilihan makanan dan minuman. Petugas akan selalu menawarkan minuman atau makanan kepada tamu. Rumah karaoke juga memiliki kafe di dalamnya.
Risiko bisnis karaoke terbilang kecil. Binis ini tidak terpengaruh perubahan cuaca. Orang juga tidak akan pernah bosan bernyanyi. Permintaan akan terus ada. Apalagi, tingkat balik modal (break even point) relatif singkat, rata-rata 15 bulan.
Kalau masih ragu membangun binis karaoke dari nol, calon investor juga masih punya pilihan lain, yakni membeli lisensi perusahaan karaoke keluarga yang sudah terkenal. Saat ini, banyak perusahaan karaoke yang sudah menjelma menjadi waralaba. Tapi, untuk membeli lisensi karaoke cukup mahal, Rp 7 miliar untuk jangka waktu lima tahun dengan kapasitas 30 kamar.
Ribut royalti
Istilah karaoke eksekutif muncul di dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) yang merujuk UU Nomor 28 Tahun 2104 tentang Hak Cipta. Rumah bernyayi atau karaoke dibagi atas di kategori; Karaoke tanpa kamar, karaoke keluarga, dan karaoke eksekutif.
Pembagian jenis karaoke terkait dengan penetapan royalti yang dibayar pengusaha karaoke atas pemakaian lagu. Pembayaran royalti harus proporsional sesuai dengan pendapatan perusahaan karaoke. Karaoke tanpa kamar dikenakan tarif royalti sebesar Rp12.000, karaoke keluarga dikenakan Rp20.000, dan karaoke eksekutif dikenakan Rp50.000.
Belakangan, perbedaan tarif antar kategori karaoke membuat pengusaha karaoke eksekutif mencak-mencak. Pengertian mencak-mencak di sini bukan mengentak-entakkan kaki ke tanah. Tapi, merupakan kemarahan karena merasa diperlakukan tidak adil. Mereka enggan membayar tagihan royalti tahun 2016 dengan alasan tarifnya terlalu memberatkan dan kebijakan perhitungannya tidak jelas.
Ketua Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) Jusak Soetiono menjelaskan, perusahaan karaoke eksekutif memiliki pendapatan yang lebih tinggi ketimbang jenis usaha karaoke lainnya., meskipun memiliki kamar dengan jumlah yang lebih sedikit. Karena itu, tarif royalti karaoke ekskutif lebih tinggi ketimbang royalti karaoke jenis lainnya.
“Di negara manapun, penentuan royalti berdasarkan pendapatan,” kata Jusak kepada medcom.id di Kuningan Barat, Jakarta Selatan, Jumat 24 Maret 2017.
Menurut Jusak, tarif royalti Rp50.000 per hari per kamar masih kecil bagi pengusaha karaoke eksekutif. Maka ia pun menilai, aneh jika pengusaha karaoke kelas elit mengaku berat memebayar royalti. “Sebenarnya kan, kecil (tarif) ini bagi mereka,” ujar Jusak.
Pada sisi lain, Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) Erick Halauwet menjelaskan, meskipun pendapatan tinggi, karaoke eksekutif juga memiliki pengeluaran yang juga besar. Belum lagi, lanjut Erick, perusahaan karaoke eksekutif harus membayar pajak hiburan hingga 30 persen dari pendapatan. “Kami juga punya pengeluaran yang tidak sedikit,” jelas dia.
Rumah karaoke eksekutif tak selalu ramai. Kamar baru penuh pada saat akhir pekan. Berbeda dengan karaoke keluarga yang selalu ramai sepanjang waktu. “Karaoke eksekutif juga tak selalu ramai, hanya akhir pekan dan hari-hari tertentu saja,” pungkas Erick.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News