Kalimat sakti itu sering dilontarkan siapa pun Ketua Umum Golongan Karya (Golkar). Tentu, sebelum Presiden Soeharto tumbang dan Orde Baru (Orba) masih gesit melenggang. Menjadi semacam kata kunci, sudah tak halal lagi ada tawar menawar keputusan dalam internal "partai".
Soeharto dan Golkar setali tiga uang. Meski hakikatnya, organisasi itu diilhami Presiden Soekarno. Golkar, malahan dibentuk dalam rangka "memberi pelajaran" partai-partai lama yang dianggap menghambat jalannya revolusi ala Bung Besar.
"Konflik di pemerintahan yang kerap terjadi disebut sebagai akibat dari partai-partai yang cenderung mementingkan perebutan kekuasaan. Sukarno mengusulkan golongan fungsional atau golongan karya untuk menggantikan partai-partai," tulis David Reeve dalamGolkar Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran & Dinamika (2013). Alhasil, Golkar digagas Soekarno, dibesarkan Soeharto. Dan Golkar pula, yang dalam perkembangannya dibangun tentara, dirawat para pengusaha.
Militer dan kekuasaan
Demokrasi Terpimpin yang digaungkan Soekarno pada 1959 menjelma bom waktu. Banyak kritik bermunculan, inisiatif Bung Karno kala itu dinilai mengaburkan batas-batas ekskutif, legislatif, dan yudikatif yang tak lain adalah ruh utama keberlangsungan demokrasi.
Rekan paling dekat Bung Karno, Mohammad Hatta, bahkan mencurigai segenap kebijakan yang lahir cenderung berbau kepemimpinan diktator. Secara bersamaan, Soekarno pun ditimbang tak lagi peduli dengan setiap saran dan masukan yang datang.
Di parlemen, Soekarno berniat memberlakukan sistem satu partai. Persis, tata pemerintahan Tiongkok dan Yugoslavia yang saat itu telah membuatnya kepincut. Kedua negara yang dicukupkan dengan keberadaan kelompok fungsional itu dinilai lebih berpengaruh langsung terhadap masyarakat.
Sayang seribu sayang,
mimpi Soekarno menggerakkan
golongan profesional
disalip kelompok militer,
dalam babak ini, Angkatan Darat.
"Pada akhir 1959, ketika Demokrasi Terpimpin akhirnya dimulai secara resmi, Angkatan Darat lebih dulu telah membentuk berbagai organisasi golongan karya, sedangkan Presiden Sukarno belum membentuk satu pun," tulis Reeve, masih dalam buku yang sama.
Golkar yang semula diandalkan sebagai alternatif pengganti partai, oleh Angkatan Darat justru dikhususkan sebagai penentang utama bagi sepak terjang politik Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI, kala itu, memang dicurigai sebagai mitra terdekat kekuasaan Soekarno.

AH Nasution, Soekarno, dan Soeharto di Istana Merdeka, Jakarta, 1966.
Jika PKI punya Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Angkatan Darat membandinginya dengan membidani Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI). Perbedaan pemakaian kata "buruh" dan "karyawan" ini bukan sembarang. Golkar, berikhtiar mencengkeramkan kukunya secara kuat dengan membuat garis identitas yang tegas.
"Kalau SOKSI organisasinya karyawan, dari kata karya milik Golkar, yang satunya (SOBSI) organisasi buruh,” tulis Reeve.
Tak cuma menghimpun kelas pekerja, Angkatan Darat pun menginisiasi serikat dan organisasi dari yang diperuntukkan bagi golongan petani, perempuan, pemuda, pegawai pemerintah, hingga para intelektual. Sebut saja Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), juga Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR).
Selain itu ada pula Organisasi Profesi, Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM), Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI), dan Gerakan Pembangunan.
Kelompok-kelompok inilah
yang pada akhirnya
dilebur dalam rumah bersama
bernama Sekber Golkar
pada 20 Oktober 1964.
Masa berganti, peristiwa 30 September 1965 membuat Soekarno mesti rela mengakhiri kekuasaannya. Melalui momentum itu pula, nama Soeharto mentereng sebagai penggantinya.
Lantas, berkat Golkar, Presiden kedua yang berjuluk "Bapak Pembangunan" itu pada akhirnya bisa bertahan hingga lebih dari tiga dekade memegang kendali kekuasaan.

Pendiri Golkar dan SOKSI Alm. Suhardiman. (ANTARA)
Dana dan pengusaha
Ada yang bilang, Golkar hanya bisa dipegang orang-orang berduit. Pendapat yang, tentu, bisa benar, boleh juga keliru.
Sindiran arah kendali partai yang melulu uang ini tak sekali dua muncul. Terutama, kala mengamati setiap dinamika dan proses pergantian pucuk pimpinan si partai beringin.
Ketika Orba masih berkuasa, Golkar adalah suara Cendana, merujuk nama jalan di bilangan Menteng Jakarta Pusat tempat kediaman Soeharto dan keluarganya. Pada episode ini, partai dengan warna dominan kuning tersebut sudah barang tentu tak ambil pusing soal anggaran dan pendanaan.
Gelagat perubahan baru terasa pada 1980-an. Soeharto sendiri rupanya sudah merasa tak nyaman. Kepada jajaran tinggi Golkar, ia mengatakan agar peserta pemilihan umum (Pemilu) yang waktu itu bernomor urut dua tersebut tidak membabi-buta bergantung nasib pada militer dan kekuasaan.
"Pak Harto memberi petunjuk agar secara berangsur Golkar mengurangi ketergantungannya kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan birokrasi," ucap Sekretaris Jenderal DPP Golkar periode 1983-1988 Sarwono Kusumaatmadja, sebagaimana dikutip Salim Haji Said dalamMenyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016).
Dari sini, era kepemimpinan Golkar
yang lazim dikuasai kalangan militer
bergeser ke tangan para pengusaha.
Atau paling tidak, sosok sentral
yang memiliki hubungan langsung
dengan jaringan bisnis di Indonesia.
Apalagi, pascareformasi. Setelah Akbar Tanjung merampungkan jabatan ketua umum pada 2004, secara estafet tampuk kepemimpinan Golkar dipegang nama-nama yang tak asing dalam dagang Indonesia.
Sebut saja Jusuf Kalla (2004-2009), yang tak lain pemilik nama usaha Kalla Group. Disambung Aburizal Bakrie (2009-2014), yang namanya tak pernah absen dalam jajaran 40 orang terkaya di dunia versi Forbes sepanjang 2006 sampai 2012.

Akbar Tanjung dan Jusuf Kalla. (ANTARA)
Begitu pula, hari ini, Setya Novanto. Ketua Umum DPP Golkar yang ramai dibicarakan lantaran tampil kontroversial. Sejak muda, nama ini terbilang rajin mendirikan badan usaha dari setingkat CV hingga grup dagang.
Bahkan Akbar Tanjung sendiri dalamThe Golkar Way (2007)mengiyakan. Ia bilang, pascatumbangnya Orba peran pengusaha dalam penyelamatan Golkar amatlah besar. Apalagi setelah yayasan-yayasan sosial Soeharto yang biasanya menjadi lumbung utama pendanaan Golkar; oleh pihak Cendana, tak boleh lagi diutak-atik.
"Kontribusi yang sangat besar dari para pengusaha dalam menyuplai dana untuk Partai Golkar juga diakui A.A. Baramuli (Politisi senior Golkar). Ia tidak menampik bahwa Golkar masih mampu mempertahankan 'kroni', yaitu para pengusaha," tulis Akbar.

Aburizal Bakrie dan Setya Novanto. (ANTARA)
Singkat kata, tak aneh betul apabila dalam semalaman saja rapat pleno Partai Golkar mengetuk putusan Airlangga Hartarto lah yang layak menggantikan Novanto. Kebetulan, sosok yang saat ini masih duduk dalam Kabinet Kerja sebagai Menteri Perindustrian itu juga pernah menjabat presiden direktur di empat perusahaan besar.
Selebihnya, kepiawaian politik Hartarto barangkali memang sudah waktunya ditampilkan. Toh, Partai Golkar sudah bukan milik Soeharto, apalagi Novanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News