Sarji, warga desa Timbrangan yang menolak pabrik mengaku dirinya sudah jarang mendatangi acara rewangan atau gotong-royong jika ada warga kelompok pendukung yang mengadakan hajatan dan syukuran. Sarji sudah tak simpati lagi dengan kelompok masyarakat pendukung semen. Kata dia, kegiatan gotong royong sudah jarang dilakukan.
“Sudah tidak datang lagi. Mereka sudah tidak benar. Masyarakat di sini jadi sendiri-sendiri,” kata Sarji.
Sarji juga enggan menyapa warga yang berbeda pandangan. Meski demikian, tak ada gesekan fisik antarwarga. “Tidak sampai begitu, tetap beda pandangan tapi tidak sampai kontak fisik,” imbuh pria tamatan SD ini. Suparmi, warga penolak lainnya juga enggan berbincang-bincang dengan tetangganya yang mendukung pabrik semen. Biasanya, setiap pagi, saat pergi ke pasar, Suparmi selalu menyapa Har, tetangganya. Sekarang, hubungan Suparmi dan Har tidak harmonis lagi.
“Saya masih mau menyapa, tapi seadanya saja. Sekarang sudah jarang mengobrol” ungkap Suparmi yang ikut aksi menyemen kaki di depan Istana Merdeka, Jakarta.
Suparmi bercerita, dirinya sudah mengahabiskan jutaan rupiah untuk mengumpulkan duit buat ongkos ke ibu kota untuk ikut unjuk rasa ke Jakarta. Suparmi menjual lembu dan jagung. Dia juga ikut menyumbang untuk membiayai warga lainnya.
“Sampai mati saya akan perjuangkan. Kita-kita ini yang orang tua tidak apa-apa susahnya sekarang, asalkan anak cucu kita tidak susah di kemudian hari. Pabrik mengancam pertanian kami. Kita kan tidak makan semen dan minum semen,” ujar wanita paruh bayah ini.
Bagi Suparmi, alam harus dijaga bukan dirusak. Apalagi, Jawa Tengah adalah lumbung padi nasional. Dia juga kesal dengan pihak perusahaan semen yang menyebut tanah di pegunungan kendeng tandus.
“Bohong tanah di sini dibilang tandus, kering, itu semua bohong. Kalau dia (kelompok pendukung) ngomong seperti itu sudah sewajarnya karena dia posisinya sebagai guru. Kalau guru kan tidak punya lahan pertanian,” ujarnya.

Suparmi (MTVN/Wanda Indana)
Nasib sama dialami Ahmad, warga pendukung. Setiap pagi, sekitar pukul 06:30 WIB, ketika berangkat kerja, Ahmad selalu mendapat pandangan sinis dari bibi dan pamannya. Ahmad seorang satpam yang bekerja di pabrik semen SI.
“Pandangan bude dan pakde selalu tak enak. Mereka benci lihat seragam saya,” kata Ahmad.
Tapi, Ahmad tak pernah menanggapi serius. Ketika ada kumpul keluarga, semuanya tetap saling berkomunikasi. Tak ada kecanggungan. “Bagi saya beda pandangan wajar, mereka yang menolak belum tahu saja,” jelas dia.
Sebelum bekerja di pabrik semen PT SI, Ahmad bekerja di salah satu pabrik di Surabaya. Dia juga sempat bekerja di perusahaan tanaman hias di Pati. Bekerja jauh dari keluarga bukan keinginan Ahmad.
“Sekarang saya dapat kerjaan bagus, dekat keluarga lagi. Dibilang bersyukur, ya sangat bersyukur. Kalau merantau, biar pengahsilan lebih besar tapi harus dipotong untuk biaya tempat tinggal, transport, dan lain-lain. Kalau saya jelas mendukung pembangunan pabrik,” ungkap Ahmad.
Ahmad mengatakan, banyak keuntungan dengan berdirinya pabrik semen. Kata dia, sebelum pabrik semen dibangun, harga tanah dihargai 15 juta per hektare. Paling banter, Rp30 juta jika masih bisa ditanami tanaman. Tapi saat ini, harga tanah menjulang, Rp800 juta hingga Rp1 miliar per hektare, tak pakai tawar menawar.
Sebagian petani bersedia menjual tanah. Biasanya, hasil penjualan tanah digunakan untuk membeli lahan lagi untuk pertanian di desa lain, sebagian lagi digunakan untuk membeli truk, renovasi rumah, dan ditabung. Sementara itu, tanah yang dijual ke perusahaan, selama masih belum digunakan pabrik, masih bisa dimanfaatkan warga untuk bertani.
“Makin untung, bisa dua kali panen,” ujar Ahmad.

Sarji (MTVN/Wanda Indana)
Sabtu, 1 April 2017, Telusur medcom.id menemui menemui Bupati Rembang Abdul Hafidzh di Kantornya. Hafidzh banyak tahu soal konflik pabrik semen, kebetulan, Hafidzh berasal dari desa Tegaldowo, dusun yang masuk wilayah ring satu. Hafidzh sudah 15 tahun tinggal di sana, menjadi pengusaha batu gamping.
“Kalau bicara semenisasi Rembang. Saya komplit tahu sejarahnya,” ujar Hafidzh mengawali perbincangan.
Hafidzh mengatakan, tahun 1980-an, 90 persen warga Tegaldowo dan empat dusun lainnya yang masuk ring satu, hidup miskin. Sebagian besar warganya menjadi pesanggem, yakni menggarap lahan milik PT Perhutani. Warga tidak memiliki lahan pertanian karena kontur tanah tandus banyak mengandung batu kapur.
Warga yang tidak bertani, mengambil kayu dan daun kering dari hutan untuk dijual ke pengusaha batu kapur. Kayu dan daun digunakan untuk membakar batu kapur untuk bahan baku cat, kosmetik, dan lain-lain.
Setiap pagi, selepas subuh, warga membuang air besar di pinggir rumah. Maklum, warga tak punya kakus. Tahun 90an, lahan milik arga yang tandus mulai dikonversi menjadi lahan pertanian. Sedikit demi sedikit, lahan pertanian mulai menghasilkan, walaupun tak banyak, karena petani masih mengandalkan sistem tadah hujan untuk irigasi.
Data pertanian Kabupaten Rembang menyebut, luas lahan pertanian di pegunungan Kendengan yang masuk wilayah Rembang hanya 90 hektare. Maksimal memproduksi gabah 4 ton per hektare sekali panen. Total produksi gabah 360 ton. Jika diproses menjadi beras maka tinggal 240 ton.
Kebutahan beras individu mencapai 2,5 ons per hari. Jadi kebutuhan pangan untuk 7000 warga yang hidup di pegunungan Kendeng mencapai 600 ton per tahun. Sementara itu, daya produksi beras baru mencapai 240 ton.
“Dari mana dia bisa hidup, tidak bisa. Ini fakta. Jadi kalau dia bertahan di pertanian ya miskin selamanya,” ujar Hafidzh.
Hafidzh meyakini ada provokator pihak luar yang menggerakkan warga. Dia mengungkapkan beberapa warganya diperalat oleh para penentang pembangunan pabrik yang terhimpun dalam kelompok yang menamakan diri sebagai Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng. Tokoh kelompok ini adalah Gunretno.
“Ya, mereka diperalat orang luar, orang-orang Pati itu, dididik tiap hari, dipoles, jadi juru bicara, atas nama ring satu. Jadi kalau Gunretno cs, yang katanya tokoh JMPPK, ya nggak tahu di sini kok,” ujar Hafidzh blak-blakan.
Gunretno sendiri pernah menyatakan kegigihannya memperjuangkan nasib petani di desa-desa tak akan pernah pudar. Penolakan terhadap rencana pabrik semen di Rembang sudah dikobarkannya sejak akhir tahun 2006. "Jangankan di Rembang, saya konsisten mengawal penolakan pabrik semen di manapun di Jawa Tengah," katanya beberapa waktu lalu.

Gunretno (MI/Furqon)
Soal perizinan, lanjut Hafidzh, pembangunan pabrik sudah sesuai dengan Perda RTRW Kabupaten Rembang 2011-2031. Pemprov Jateng dan Pemkab Rembang tak sembarang memproses izin.
Hafidzh tak menyangka, masalah pembangunan pabrik semen di Rembang menjadi isu nasional. Semenjak itu, dia banyak diburu media untuk dimintai konfirmasi. Dia enggan berkomentar karena takut salah paham. Sebab, kelompak masyarakat penolak sudah berhasil mencuri simpati masyarakat luas.
“Saya juga kaget, yang kontra sudah menguasai media. Apa saja dikuasai, baik televisi, radio, cetak, media sosial, kok sampe begitu. Saya ditanyai wartawan, diuber. Saya ini bukan pegawai semen, bukan humas semen,” terang dia.
Dia juga mengomentari kebohongan pemberitaan yang sempat meluas terkait pembakaran musalah dan Al-quran saat warga penolak memblokir jalan menuju pabrik. Kata Hafidzh, unjuk rasa dijamin negara, asalkan tidak menggangu. Yang terjadi, kabar bohong makin merajalela. Warga desa ikut terpancing.
“Wong itu tenda dibongkar, media bicara ada Al-Quran dibakar, mukenah dibakar, ini apa sih? wong masih utuh semua kok. Yang dibakar itu kan bambu yang dipakai demo, menghalangi orang masuk. Tapi kan tendanya yang kontra itu masih utuh, hanya dirobohkan saja. Karena saya menimbang pendapat masayarakat, dengan adanya tenda pro dan tenda yang kontra, ini pemicu konflik. dirobohkan dua-duanya, pendukung dan penolak,” kata dia.
Hafidzh berharap, warga luar, terutama Gusretno Cs tidak mencampuri masalah warga Rembang. Kondisi sosial warga Tegaldowo dan Timbrangan sudah mulai kondusif.
“Satu-dua orang ya itu biasalah. Ada gesekan perbedaan, tapi gak pernah lah sampai konflik fisik, gak ada. Paling hanya tidak lirik-lirikan. Lambat laun, kita akan beri pemahaman,” ujar Hafidzh.
Hanya satu yang Hafidzh inginkan, warga di Kabupaten Rembang terbebas dari belenggu kemiskinan. Salah satu caranya menerima pembangunan pabrik semen. Harapannya, pembangunan pabrik dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal dan menyerap tenaga kerja dan menekan pengangguran.
Menurut catatan Badan Pusat Statitik pada akhir 2015, Rembang termasuk salah satu dari 15 kabupaten dengan tingkat kemiskinan yang tinggi (rasio lebih dari 25% jumlah penduduk) di Jateng. Penyebabnya adalah lapangan kerja yang minim.
Sementara Bappeda Jateng menyebut pada September 2015 angka kemiskinan di Jateng masih 13,3 persen. Targetnya, angka itu turun 3 persen atau menjadi 10 persen pada 2018.
“Rembang itu Kabupaten termiskin. Kabupaten tetangga ada perusahaan besar, Rembang tidak punya apa-apa,” pungkas Hafidzh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News