medcom.id, Jakarta: Konflik yang terjadi antara Kubu Agung Laksono dan Aburizal ‘Ical’ Bakrie yang menggoyang partai Golkar bukanlah hal yang terjadi tiba-tiba saat Munas. Badai yang menerjang partai beringin merupakan akumulasi kekecewaan kelompok Agung kepada Ical.
Ace Hasan Syadzily yang menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal DPP Golkar hasil Munas Riau menyebut biang konflik di Partai Beringin dipupuk sejak jauh hari. Setidaknya dua hal menjadi alasan konflik ini terjadi, menajam, dan akhirnya meledak paska penetapan Munas.
“Ada dua hal sebenarnya kenapa konflik ini muncul. Ketidakmampuan Pak Ical mengorganisasi partai dan tidak memenuhi janji politiknya,” kata pria yang akrab disapa Ace ini saat berbincang dengan medcom.id, Minggu (17/1/2015).
Ace yang kini berdiri di Kubu Agung Laksono menyebut, antipati mulai muncul sejak Ical memberikan perlakuan khusus bagi pendukung Ical dan pemegang suara (pejabat DPD I dan organisasi sayap). Ical juga tak segan mencopot dan pejabat partai yang memiliki pilihan politik yang berbeda.
Sebagai contoh, perlakuan khusus kepada Irianto MS Syafiuddin atau yang dikenal dengan sapaan Kang Yance. Golkar biasanya tidak langsung menunjuk Ketua DPD I untuk maju dalam pemilihan kepala daerah. Kader dengan elektabilitas tertinggi biasanya yang ditunjuk untuk maju di Pilkada.
Yance sendiri memiliki elektabilitas rendah di dalam Pilkada Jawa Barat 2013. Namun Yance tetap dipercaya untuk maju dalam Pemilihan Gubernur Jabar. Dengan beragam cara kampanye nama Yance memang mampu dikatrol. Namun sosok Yance terbukti tidak bisa mengalahkan calon kuat lain.
Dari lima pasangan calon yang maju, posisi teratas diduduki pasangan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar yang diusung PKS dengan perolehan suara 34,5 persen. Sedangkan pasangan Irianto ‘Yance’ MS Syafiuddin-Tatang Farhanul Hakim hanya bisa pusa dengan meraih dukungan suara sebanyak 22,23 persen.
Perlakuan tersebut juga terjadi di beberapa daerah lain. Namun perlakuan spesial untuk pendukung ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Akar konflik justru semakin menguat saat Ical memutuskan Golkar mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada pelaksanaan Pilpres 2015. Lagi-lagi konflik memanas saat Ical mendepak orang-orang yang memiliki sikap politik yang berbeda alias mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
“Sangat aneh. Ada mantan Ketua Umum Golkar di situ, yaitu Jusuf Kalla, tapi Pak Ical memilih mendukung Prabowo-Hatta. Selama ini Golkar selalu mengusung nama dalam Pilpres walau tak menang. Tahun 2012 Pak Ical juga mencalonkan diri dan didukung untuk menjadi Presiden dari Golkar. Tapi karena tidak ada yang mau menggandeng dan beragam masalah, akhirnya dukungan Pak Ical diberikan ke Prabowo-Hatta karena janji menteri utama dan jatah tujuh kursi menteri,” kata Ace.
Partai Golkar yang dipimpin Ical memecat tiga kader mereka dari keanggotaan di partai karena tidak mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Mereka adalah Ketua DPP Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita yang merupakan anak dari politikus senior Golkar Ginandjar Kartasasmita, Wakil Bendahara DPP Golkar Nusron Wahid, serta Poempida Hidayatullah.
Surat pemecatan ditandatangani Ketua Umum Aburizal Bakrie dan Sekretaris Jenderal Idrus Marham lewat surat bernomor Kep/333/DPP/Golkar/6/2014. Partai Golkar Ical juga menonaktifkan Ketua DPD I Partai Golkar Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh, yang juga Gubernur Sulawesi Barat karena alasan yang sama.
Tidak hanya itu, Zainuddin Amali juga dicopot dari posisi Ketua DPD I Jawa Timur dengan alasan tidak loyal kepada putusan politik partai yang dikeluarkan Ical. Amali yang mendukung Pilkada Langsung berlawanan dengan arus yang utama Golkar yang mendorong Pilkada lewat DPRD. Amali sendiri juga sempat mendorong Munas Golkar diadakan pada tahun 2014 sesuai dengan Anggaran Dasar Partai Golkar. Sebelas anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar yamg terang-terangan mendukung opsi pemilihan langsung kepala daerah dicopot dari jabatan struktural di dalam tubuh Partai Golkar.
Soal Munas Bali
Ace menuding Ical dan kroninya memobilisasi DPD I dalam persiapan Munas Bali pada 30 November 2014. Tujuannya agar DPD secara aklamasi kembali memilih Ical menjadi Ketua Umum partai.
Gelagat untuk itu, menurut Ace, tampak dari keanehan pelaksaanan Munas.“Biasanya materi Munas itu diberikan jauh hari. Tapi ini diberikan di tempat pada waktu acara. Ada pecalang-pecalang yang berjaga di dalam Munas Bali. Bahkan tokoh sekelas Akbar Tandjung tidak diberi kesempatan,” kata Ace yang kini lebih aktif mengajar di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adalah Nurdin Halid, Aziz Syamsudin dan Setya Novanto yang disebut Ace mengatur jalannya Munas. Sebelum Munas diselenggarakan, berbagai pertemuan di tingkat DPD I dan DPD II (Kabupaten/Kota) juga dilakukan.
Kesepakatan untuk mengadakan Munas Januari 2015 untuk memberi kesempatan kepada calon-calon mengumpulkan dukungan pun berbau tidak sedap karena muncul desas-desus upaya Ical menjegal calon lain. Hal ini dibahas dalam Rapat Pleno DPP Partai Golkar guna mencarikan jalan keluar.
Rapat Pleno memutuskan agar Rapimnas VII Partai Golkar sama sekali tidak membahas agenda Munas Partai Golkar, melainkan hanya membahas isu-isu aktual. Sebelum Rapat Pleno diadakan, sudah terjadi Rapat Koordinasi Partai Golkar dengan menghadirkan DPD-DPD I di Bandung.
Indra Jaya Piliang yang dicopot dari posisi Badan Litbang Golkar karena mendukung Jokowi sempat mengungkap, skenario yang diancang beragam pertemuan ini adalah mempercepat Munas.
Upaya itu berhasil dipatahkan dalam Rapat Pleno DPP Partai Golkar. Walau demikian, pergerakan politik terus dilakukan, yakni pertemuan informal antara DPD I Partai Golkar dengan Nurdin Halid di Bali. Sekitar 200 DPD pemilik suara ingin datang ke acara Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta, langsung dari Bali. Tujuannya memenangkan kembali Ical.
Hal ini dibuktikan dengan keberadaan rekaman Nurdin bersama DPD I yang menyatakan Ical harus menang walau dengan menghalalkan segala cara. Para penentang kelompok Ical juga dipecat dalam Munas Bali.
Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Golkar Akbar Tandjung juga mengamati ada kelompok yang mendorong Ical untuk mengatur waktu Munas sedemikian rupa.
“Awalnya itu disepakati Januari 2015 atas kesepakatan bersama. Tapi, tiba-tiba berubah jadi yang akhir November itu dorongan beberapa pengurus. Setidaknya Rp250 miliar juga habis dalam Munas Bali,” kata Akbar.
Permasalahan yang sudah dipupuk lama, dipicu Munas yang diduga sebagai settingan loyalis Ical membuat konflik menjadi tak terelakan. Kubu Agung Laksono yang kemudian mengadakan Munas Ancol juga membuat Partai Beringin semakin keropos akibat konflik.
Guru Besar Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, menyoroti partai berlambang pohon beringin ini memang lahir, dibesarkan, dan menjadi kekuatan politik raksasa pada era Orde Baru. Kemanjaan, proteksi, dan dukungan birokrasi serta militer era itu menjadikan Golkar bagaikan raksasa yang sulit bergerak dan menyesuaikan diri dengan era reformasi yang amat demokratis.
Dengan kata lain, Golkar saat ini bagaikan dinosaurus yang dapat punah karena perubahan situasi dan kondisi alam dan politik. "Kini kita sedang menyaksikan Pohon Beringin yang berproses menuju keruntuhannya," kata Ikrar dalam opininya berjudul Pilihan Golkar dan PPP, Islah atau Runtuh.
Menurut Ikrar, konflik di dalam Golkar bukan lagi terjadi antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, melainkan sudah merasuk mendalam di kubu Ical sendiri.
Ia menyebut Ical tampaknya berprinsip, jatuh dan hancur satu, jatuh dan hancur semuanya. Tidak ada keinginan Ical dan kelompoknya untuk memikirkan bagaimana nasib Golkar ke depan.
"Mereka (kubu Ical) hanya memikirkan bagaimana kekuasaan yang ada di tangan mereka tidak hilang. Kubu Agung Laksono setali tiga uang," kata Ikrar.
Baik kubu Ical maupun kubu Agung, masing-masing saling mempertahankan ego. Tidak ada yang mau mengalah, tidak ada keinginan untuk mundur setapak untuk maju dua langkah. Karena itu, Ikrar memandang apa pun upaya rekonsiliasi yang dilakukan para tetua Golkar, sulit untuk diterapkan.
"Lihat saja bagaimana kesepakatan islah sudah diusahakan Wakil Presiden dan juga mantan Ketum Golkar Jusuf Kalla. Islah hanya agar Golkar secara resmi bisa ikut pilkada serentak 2015. Hasilnya, kita bisa lihat sendiri, Golkar hanya memperoleh 49 dari 265 pilkada. Sadarkah para elite Golkar mengenai lampu kuning runtuhnya Golkar? Tampaknya tidak," kata Ikrar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News