Warga Jakarta atau para pekerja di ibu kota pasti paham betul betapa melelahkan terjebak kemacetan di jalan-jalan protokol. Maka, peta jalan alternatif atau yang populer dengan istilah “jalan tikus” ibarat penyelamat bagi pengendara. Terutama yang sehari-hari berkendara dengan mobil.
Dengan mengetahui jalur tikus itu, pengendara mobil bisa menjelajahi perkampungan dan menemukan jalan pintas. Ini lebih menyenangkan ketimbang bersusah payah menembus kemacetan yang amat menyita waktu dan menguras energi.
Tapi, melewati jalan tikus juga ada tantangan tersendiri. Selayaknya jalan di perkampungan, kondisinya tak melulu bagus dan mulus. Pun kebanyakan jalan itu sempit, seperti gang yang hanya muat untuk dilalui satu mobil. Sudah begitu, kadang juga harus melewati kelokan-kelokan dan tikungan tajam. Dengan kata lain, butuh ketrampilan mengemudi yang jempolan untuk menggunakan jalan alternatif ini. Pada umumnya jalan tikus diandalkan untuk mempersingkat waktu tempuh perjalanan, menyingkir dari kemacetan, dan tak jarang demi menghindari razia polisi.
Nah, seiring proyek pembangunan infrastruktur yang masif di DKI Jakarta, di mana mencakup pula kebijakan pembatasan kendaraan di dalamnya, jalan tikus kerap menjadi prioritas dalam rekayasa lalu lintas. Alhasil kini kepadatan kendaraan di jalan tikus juga kian meningkat.
Maka, banyak warga perkampungan di Jakarta yang sering digunakan sebagai jalan tikus ini mengeluh dengan kondisi lingkungannya yang makin bising dan sumpek. Atas nama kepentingan bersama, mereka harus mengalah bahkan mengorbankan kenyamanan pernah dirasakan sebelumnya.
Seperti yang disampaikan Wahyudi, warga Jalan Bendungan Hilir IV, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Gang rumahnya kini menjadi ramai, dipenuhi kendaraan dari arah Jalan Gatot Subroto yang menuju Jalan Raya Bendungan Hilir atau sebaliknya.
"Begitu juga gang yang lain. Seperti di Gang III dan Gang V juga sekarang sering macet. Jalannya memang tidak lebar," ujar Wahyudi saat kami temui, Jumat 15 September 2017.
Namun, Wahyudi dan warga lain tampak memakluminya. Mereka tidak menutup mata bahwa huniannya memang menempel dengan dua jalan protokol ibu kota. Yakni Jalan Gatot Subroto dan Jalan Jenderal Sudirman, yang notabene diberlakukan kebijakan pembatasan kendaraan.
Keluh serupa diucap Anwar, warga Jalan Musyawarah di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Jalan kecil ini kerap menjadi jalan tikus bagi pengendara dari arah Jalan TB Simatupang menuju Jalan Raya Ragunan.
Bahkan, menurutnya, sempat digunakan untuk arah sebaliknya. Yaitu dari Jalan Raya Ragunan menuju Jalan TB Simatupang dan Jalan Ampera. Tapi karena kondisi jalan sempit, warga menjadikannya satu arah saja. "Kalau situasinya begitu, arus yang dari arah Jalan Raya Ragunan di-forbidden," kata Anwar, Senin 18 September 2017.
Baik Wahyudi maupun Anwar mengakui, menjadi warga di perkampungan jalan tikus tidaklah nyaman. Selain lingkungan jadi bising, anak-anak juga tidak bisa lagi bebas bermain di luar rumah. "Tapi, ya mau bagaimana lagi? Pasrah saja," kata Anwar.
Wahyudi pun merasakan kejengkelan yang sama. "Malah kami terkadang dianggap salah sama pengendara. Misalnya, saat ada anak-anak di jalan dan mengagetkan orang (pengendara) yang lewat. Kata mereka, kok anak dibiarkan main di jalan. Belum lagi kalau parkir mobil depan rumah atau kalau ada tamu. Sekarang bisa diderek katanya," kata Wahyudi.

FOTO: Kendaraan terjebak kemacetan di Jalan Sudirman, kawasan Bendungan Hilir, Jakarta. (MI/Rommy pujianto)
Pertarungan ruang publik
Kenyamanan penghuni versus kepentingan umum ini menjadi pertarungan ruang publik di jalan tikus. Saling klaim antara warga dengan pengguna jalan sering ditemui.
Bagi warga, parkir kendaraan di jalan depan rumahnya adalah hak mereka sebagai penghuni di kawasan. Sementara, bagi pengguna jalan non-penghuni, jalan adalah milik umum, bukan individu atau satu kelompok.
Tapi, sekeras apapun klaim warga soal jalan lingkungannya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan membuat posisi mereka menjadi lemah.
"Betul. Saat pertarungan ruang publik terjadi, maka semua harus dikembalikan kepada aturan yang berlaku," ungkap pakar tata kota Nirwono Yoga saat berbincang medcom.id di Jakarta, Senin 18 September 2017.
Penghuni atau warga jalan tikus pun tidak dibenarkan untuk menutup jalan alias merintangi portal secara sepihak, meski dengan alasan kenyamanan lingkungan. Bila itu terjadi, khususnya tanpa izin instansi terkait, bisa-bisa kena sanksi.
Pada sisi lain, tidak ada jaminan soal kenyamanan penghuni dan keamanan anak-anak yang bermain di lingkungan 'jalan tikus'. "Di sinilah perlu kearifan pemerintah untuk melindungi warganya," tutur Yoga.
Pemerintah perlu memberi kejelasan ihwal jalan lingkungan: mana yang boleh dan tidak boleh dilalui kendaraan selain penghuni.
"Sering juga kita lihat di beberapa lokasi, tulisan; 'bukan jalan umum'. Tidak masalah, tapi jangan sepihak. Warga perlu mengkomunikasikannya ke instansi terkait, apalagi bila memang sangat mengganggu dan mengancam keselamatan," paparnya.
Di sisi lain, meski jalan tikus adalah penyelamat dari kemacetan, diperlukan pula kebijaksanaan dari pengendara yang melintas.
Tapi Yoga merasa yakin bahwa resistensi warga jalan tikus tidak begitu tinggi. Selain karena pasrah dengan posisinya yang lemah, kata dia, mereka pun melakukan hal yang sama di kawasan lain.
"Saya rasa semua warga DKI melakukannya, lewat jalan tikus," pungkas Yoga sembari tergelak.