Jakarta: Pertengahan tahun 2019, Pusat Inovasi Tata Kelola Internasional alias Centre for International Governance Innovation (CIGI) merilis laporan bertajuk "2019 CIGI-Ipsos Global Survey on Internet and Security Trust". Dalam pemaparannya, lembaga think tank independen dan non-partisan tentang tata kelola global itu menyimpulkan bahwa kabar bohong atau hoaks yang beredar telah menyebabkan masyarakat dunia kehilangan kepercayaan terhadap media sebesar 40%.
Dalam melakukan survei, CIGI melibatkan 25.229 pengguna internet dari 25 negara dan diselenggarakan pada 21 Desember 2018 sampai 4 Januari 2019. Responden dari Nigeria dan Tunisia paling banyak menemukan hoaks di Facebook, yakni 91% responden. Sementara di Kenya, sebanyak 87% responden mengatakan pernah menemukan hoaks di platform jejaring sosial tersebut.
Yang menarik dari riset ini adalah ditemukannya data baru berupa; sebanyak 24% masyarakat global akan mencari pembanding dari kabar yang mereka terima dan berita yang diduga hoaks melalui portal berita yang dianggap telah layak melakukan fact-checking atau periksa fakta.
Ketika memperoleh kabar palsu, masyarakat memilih menanggapi dengan melakukan klarifikasi di situs yang dinilai mampu memberikan penjelasan atas suatu kabar sehingga data dari berita yang beredar bisa dipertanggungjawabkan.
Indonesia menempati posisi ketiga setelah Mesir (49%) dan Meksiko (43%) dengan jumlah sebesar 41% responden memilih menggunakan situs berita fact-checking ketika menghadapi hoaks.
Sayangnya, belum semua media di Indonesia mengadopsi atau menyediakan laman khusus periksa fakta. Untuk sementara, nama-nama media penyedia laman cek fakta bisa dilihat di Cekfakta.com, sebuah proyek kolaboratif pengecekan fakta yang dibangun di atas API Yudistira yang diinsiasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dan bekerja sama dengan beberapa media daring yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) serta didukung Google News Initiative dan Internews serta FirstDraft.
Di dalamnya, termasuk juga Medcom.id.
Cara kerja cek fakta
Untuk mewujudkan media penyedia periksa fakta, boleh dibilang mudah, tapi tidak juga sederhana. Media, harus mendedikasikan secara khusus beberapa orang di dalamnya untuk tergabung ke dalam tim pemeriksa fakta atau biasa disebut fact-checker.
Meskipun begitu, Co-Founder & Head of Fact Checker Committee of Mafindo Aribowo Sasmito mengatakan, sebelum tren cek fakta muncul sebenarnya semua jurnalis di Indonesia sudah memiliki ketajaman periksa fakta yang tidak boleh diragukan.
Mereka adalah orang-orang yang tentu sudah terbiasa melakukan verifikasi sebelum sebuah berita yang didapat itu diterbitkan.
"Umumnya pemeriksa fakta di Indonesia berangkat dari belajar sendiri atau otodidak. Sejak dulu, sebelum ada sebutan fact-checkatau fact-checking, masih disebut debunk atau debunking," kata Ari di Jakarta, Sabtu, 26 Oktober 2019.
Namun, menurut Ari, kerja pemeriksaan fakta tidak cukup sampai pada tahap verifikasi.
"Verifikasi dilakukan sebelum berita terbit. Periksa fakta dilakukan setelah berita terbit dengan menggunakan hasil verifikasi untuk referensi," kata Ari.
Untuk menjadi seorang pemeriksa fakta, jurnalis bisa melengkapi diri dengan kemampuan fact-checking melalui pelatihan. Lembaga-lembaga yang menjalankan pelatihan dan sertifikasi pemeriksa fakta di Indonesia antara lain Google News Initiative yang bekerjasama dengan AJI.
"Saat ini mereka sudah menghasilkan jaringan pelatih pemeriksa fakta dengan anggota 60 orang," jelas Ari.
Sekilas, menjadi pemeriksa fakta memang tampak mudah. Seseorang tinggal memotret isu yang tengah beredar di media sosial melalui tangkapan layar untuk dijadikan sebagai bukti, kemudian menelusuri berita-berita pembanding yang dianggap lebih valid dan bisa dipertanggung-jawabkan.
"Saya beberapa kali bercanda ke tim pemeriksa di Fakta Mafindo, bahwa kita ini sebetulnya makelar referensi. Karena memang benar, seorang pemeriksa fakta, terutama yang tidak memiliki otoritas seperti pemerintah dan lembaga-lembaga resmi, akan menggunakan hasil verifikasi jurnalis dan media untuk referensi," kata Ari berseloroh.
Hasil referensi itu, lanjut Ari, kemudian disalin-tempel atau copast sebagai bahan penguat hasil periksa fakta.
"Akan tetapi, perjalanan untuk menemukan referensi tersebut yang memerlukan usaha, waktu, dan tenaga yang tidak semudah tudingan 'Halah! copas doang gue juga bisa!'" kata dia.
Ari menegaskan, jika dibaca dalam bentuk unggahan hasil periksa fakta yang sudah terbit memang terlihat gampang, karena pembaca tidak mengikuti proses pencarian fakta yang bisa memakan waktu hinga berjam-jam.
Alat bantu
Pemeriksa fakta tidak bekerja sendirian. Dalam melakukan pekerjaannya, mereka dilengkapi dengan kemampuan menggunakan tools dan beberapa prinsip penting yang harus dijadikan acuan.
"Pemeriksa fakta bekerja menggunakan perkakas tertentu, di antaranya mesin pencari atau search engine, mesin pencari gambar, situs arsip untuk membuat bukti cadangan sumber yang diperiksa faktanya, dan referensi. Juga masih ada tools-tools lain yang dibutuhkan," kata Ari.
Secara prinsip, hal yang penting dimiliki seorang fact-checker adalah ketelitian. Hal itu diperlukan agar mampu menemukan sesuatu yang biasanya masih terlewat atau tidak ditemukan masyarakat umum. Kesabaran dalam mencari fakta, juga menjadi sesuatu yang sangat diperlukan.
"Koroborasi dan cek silang dengan sumber-sumber referensi yang valid juga penting dilakukan," kata dia.
Semua berhak melakukan periksa fakta. Baik bagi media, bahkan setiap orang, minimal untuk dirinya sendiri, bisa melakukan periksa fakta selama hasil periksa faktanya valid, referensinya jelas, dan tidak asal mengambil screenshot lalu memberikan cap "HOAX".
Dibutuhkan alasan jelas sebelum menyebut sebuah informasi masuk dalam kategori hoaks atau fakta.
"Selain itu dengan transparansi metode dan referensi, pembaca juga dapat teredukasi untuk ikut belajar periksa fakta," pungkas Ari.
Jurnalisme lama dan cek fakta
Cek fakta memang menjadi pekerjaan rumah yang baru bagi media arus utama. Tahapan ini menjadi pelengkap dari deretan proses yang perlu dilakukan di tengah derasnya arus informasi era digital.
Hal ini, persis diungkapkan Head of Content Enrichment, Video, Socmed Medcom.id Jati Savitri. Menurut dia, pola jurnalisme lama yang umumnya hanya mencukupkan pada tahap verifikasi pun kian hari makin terkikis. Belum lagi, jika media hanya sibuk dan terlampau konsentrasi dengan tuntutan bisnis.
"Apalagi di era media sosial saat ini, misinformasi dan disinformasi berseliweran di jagat maya. Jangan sampai, khalayak ramai seolah dibiarkan tenggelam dalam banjir hoaks yang berpotensi mencelakakan diri mereka. Oleh karena itu, Medcom.id melengkapi diri dengan konsisten melakukan proses cek fakta," kata Jati di Jakarta, Sabtu, 26 Oktober 2019.
Menurut Jati, kehadiran kanal Cek Fakta merupakan bagian dari ikhtiar Medcom.id untuk turut serta dalam pemberantasan hoaks. Meskipun untuk saat ini, hasil dari pemeriksaan isu yang berkembang di masyarakat itu baru dihadirkan dalam bentuk artikel.
"Dalam waktu dekat akan dikembangkan varian lain, yakni infografis dan video. Medcom.id berkomitmen untuk terus memperkaya kompetensi dalam melakukan pemeriksaan fakta dengan bergabung dan berkolaborasi bersama media cek fakta lainnya yang bekerja sama dengan Mafindo," tutup Jati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News