Oculus Rift merupakan salah satu perangkat VR yang dirilis tahun 2016
Oculus Rift merupakan salah satu perangkat VR yang dirilis tahun 2016

Kaleidoskop Teknologi 2016

Melihat Perkembangan Virtual Reality, Augmented Reality, dan Mixed Reality

Riandanu Madi Utomo • 05 Desember 2016 14:46
medcom.id, Jakarta: Virtual reality (VR) bukanlah hal baru di dunia teknologi, tapi popularitasnya kembali melejit sesudah kehadiran Oculus Rift. Perkembangan VR kian menarik dan diperkirakan akan terus membesar karena melibatkan perusahaan raksana dunia, termasuk Google dan Facebook. Facebook telah mengakuisisi Oculus seharga USD2 miliar tahun 2014. Sementara Google sudah memperkenalkan Cardboard yang harganya jauh lebih murah dibanding Rift.
 
Facebook memang tidak main-main ketika mengkuisisi Oculus. CEO Mark Zuckerberg, tahu betul bahwa VR memiliki potensi besar dan akan lebih baik jika Facebook bergerak lebih dulu dengan cara mengakuisisi Oculus. Saat mengakuisisi Oculus, Zuckerberg mengatakan VR merupakan medium agar manusia bisa merasakan dunia digital yang lebih imersif.
 
Hingga saat ini, Zuckerberg terus berusaha memanfaatkan teknologi VR semaksimal mungkin. Ia bahkan berusaha menggabungkan teknologi VR dengan berbagai platform media sosialnya. Baru-baru ini, Zuckerberg memamerkan fitur yang memungkinkan pengguna Oculus Rift saling berinteraksi.

Melihat Perkembangan Virtual Reality, Augmented Reality, dan Mixed Reality
 
Dalam demonstrasinya, Zuckerberg berinteraksi dengan dua pegawai Facebook lainnya dalam sebuah lingkungan VR. Jika dilihat melalui kacamata VR Rift, ketiganya memang hanya tampak dalam bentuk sebuah avatar kartun. Namun menariknya, avatar tersebut memiliki bentuk wajah dan postur tubuh yang sangat mirip dengan aslinya. Ini membuktikan VR juga bisa digunakan di kehidupan sosial sebagai sarana baru untuk saling berinteraksi.
 
Di luar usaha Facebook, HTC juga berambisi bersaing dengan menggandeng Valve untuk merilis Vive. Agar tidak kalah, Vive dibuat dengan berbagai teknologi dan konten eksklusif, salah satunya adalah fitur yang memungkinkan setiap gerakan pengguna untuk terdeteksi sistem. Vive juga merupakan satu-satunya headset yang kompatibel dengan sistem SteamVR, dan tentu saja konten game menjadi andalannya.
 
Melihat Perkembangan Virtual Reality, Augmented Reality, dan Mixed Reality
 
Steam saat ini merupakan platform gaming terbesar di dunia dengan jutaan gamer bermain game di dalamnya. Steam juga memiliki jutaan game dan reputasi yang sangat baik di antara para gamer. 
 
Jadi, jika Rift dan Facebook lebih menyasar ke pengguna kasual, Vive dan HTC lebih fokus ke para gamer. Rift memiliki pasar yang lebih besar jika menyasar pengguna kasual. Meski demikian, Vive memiliki keuntungan tersendiri karena sifat kebanyakan gamer yang lebih mudah dalam mengeluarkan uang ketimbang pengguna di kategori lainnya.
 

2016 Kelahiran Perangkat VR Modern


Mengapa tahun 2016 merupakan tahun yang sangat istimewa? Baik HTC Vive maupun Oculus Rift sama-sama dirilis pada tahun 2016, tepatnya tanggal 5 April 2016 untuk Vive dan 28 Maret 2016 untuk Rift. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
 
Vive, misalnya, dirilis sudah bersama dengan controller-nya namun dibanderol dengan harga yang lebih mahal. Sementara Rift memiliki harga yang lebih murah, namun hanya hadir dengan controller Xbox One biasa.
 
Meski demikian, keduanya memiliki kekurangan yang sama: mahal. Rift dibanderol seharga USD600, sedangkan Vive USD799. Jika dirupiahkan, keduanya seharga dengan sebuah PC gaming kelas pemula, dan di situ juga masalah lain dari kedua perangkat VR ini.
 
Melihat Perkembangan Virtual Reality, Augmented Reality, dan Mixed Reality
 
Baik Rift maupun Vive juga tidak bisa berjalan secara independen. Perangkat VR tersebut harus dihubungkan dengan sebuah PC atau laptop kelas gaming yang harganya tidak kalah mahal. Hal tersebut menjadi penghambat utama karena VR pada akhirnya tetap sulit dijangkau banyak orang.
 
Memang berbagai upaya telah dilakukan, salah satunya adalah usaha AMD dengan menghadirkan kartu grafis Radeon RX 480. Kartu grafis yang telah mendukung teknologi VR tersebut dibanderol dengan harga yang cukup terjangkau, sekitar Rp3,7 juta untuk versi reference dengan memori 8GB. 
 

Sulit Berkembang


Berbeda dengan transisi dari monitor CRT ke LCD yang bisa dikatakan berjalan tanpa hambatan, transisi ke VR merupakan tantangan yang berbeda. Masalah lainnya, aplikasi dan konten untuk VR masih sangat minim. Tidak semua PC bisa mendukung teknologi VR, dan pengaplikasiannya masih belum banyak merambah ke lini lain selain hiburan. 
 
Penyebaran yang kurang merata juga merupakan salah satu faktor yang membuat VR semakin sulit dijangkau. Di Indonesia, misalnya, kita belum bisa membeli Vive mapupun Rift secara resmi. Adapun barang yang beredar di pasar merupakan barang ilegal yang dibawa dari luar negeri, dan tentu harganya akan semakin mahal.
 
Melihat Perkembangan Virtual Reality, Augmented Reality, dan Mixed Reality
 
Menurut laporan Tractica, pasar VR masih akan mengalami pertumbuhan cukup besar. Tractica memperkirakan, jumlah pasar VR akan tumbuh lebih dari USD5 miliar, lebih besar dari tahun 2016 yang diproyeksikan masih di bawah USD5 miliar pada tahun 2017.
 
Sementara di tahun 2020, pasar VR diperkirakan akan mencapai lebih dari USD20 miliar. Angka tersebut termasuk jumlah penjualan perangkat VR, aksesori perangkat VR, dan konten VR.
 

"Bad" VR


VR ternyata tak hanya hadir untuk pengguna PC. Teknologi ini juga mulai dibawa ke ponsel. Setelah Samsung merilis GearVR dan Google merilis Cardboard, berbagai produsen ponsel mulai mengikuti jejak mereka dengan merilis berbagai perangkat dan ponsel khusus untuk VR. Lenovo, misalnya, sangat getol merilis berbagai ponsel VR, bahkan hingga menggandeng developer lokal untuk membuat konten VR untuk ponselnya.
 
Tidak bisa dimungkiri, potensi VR di ponsel memang cukup tinggi karena lebih terjangkau dan memiliki pasar yang jauh lebih besar dari PC. Ponsel bahkan diprediksi menjadi lini terdepan bagi pasar VR dengan prediksi penjualan perangkat VR untuk ponsel mencapai 15 juta unit pada tahun 2018 mendatang.
 

 
Meski demikian, beberapa pihak menganggap teknologi VR di ponsel bukan merupakan VR yang sebenarnya. Raja Koduri adalah salah satunya yang berpendapat demikian. Senior Vice President sekaligus Chief Architect, Radeon Technologies Group, AMD tersebut mengatakan, VR di ponsel sebagai "bad VR" dalam sesi wawancara bersama Linus Sebastian.
 
Hal tersebut bukan tanpa alasan. Ponsel memiliki kekuatan pemrosesan yang tidak tinggi seperti konsol atau bahkan PC. Sementara konten VR idealnya ditampilkan dengan framerate 90fps, sesuatu yang saat ini mustahil untuk dihadirkan di layar ponsel yang masih memiliki limitasi tampilan framerate sebesar 60fps.
 

Harapan Pasar VR


Pasar VR cukup terselamatkan tahun ini karena kehadiran PlayStation VR yang baru saja dirilis bulan September lalu. Walau tak semewah Vive dan Rift, perangkat VR untuk konsol PlayStation 4 ini sudah sangat mumpuni bagi mereka yang ingin merasakan teknologi VR.
 
Konten yang ditawarkan pun juga cukup bervariasi, bahkan pada saat perilisannya, PlayStation VR telah memiliki lebih dari 60 konten tersedia dan bisa langsung dinikmati penggunanya. Konten tersebut termasuk game dari berbagai developer ternama, seperti Ubisoft dan Capcom. Sleian itu, PlayStation VR juga sangat murah.
 
Melihat Perkembangan Virtual Reality, Augmented Reality, dan Mixed Reality
 
Perangkat yang resmi masuk pasar Indonesia ini dibanderol dengan harga mulai dari Rp6,3 juta. Ini berbeda jauh dengan Vive dan Rift yang menurut pantauan terakhir kami dibanderol hingga kisaran Rp18 juta, belum termasuk PC-nya. Sementara untuk PlayStation VR, Anda hanya membutuhkan sebuah konsol PlayStation 4 yang harganya tidak mencapai sebuah PC gaming kelas pemula.
 
PlayStation VR memiliki beberapa kekurangan, seperti sistem pemindainya yang masih belum bisa mendeteksi gerakan berjalan, hingga sistemnya yang pelu diposisikan secara akurat. Walau demikian, secara keseluruhan, PlayStation VR merupakan perangkat VR yang sangat baik, bahkan di luar ekspektasi kami.

Bangkitnya AR


Selain VR, teknologi augmented reality (AR) berhasil mencuri perhatian dunia pada tahun 2016. Kebangkitan AR sejatinya berawal ketika Google memperkenalkan Google Glass pada tahun 2013. 
 
Teknologi AR kemudian dilanjutkan Microsoft melalui HoloLens, sebuah kacamata yang mampu menghadirkan objek hologram dalam berbagai bentuk. Berbeda dengan Google Glass, HoloLens merupakan perangkat independen yang tak perlu dihubungkan dengan perangkat lain.
 
HoloLens juga menampilkan lebih banyak variasi penggunaan daripada Google Glass. Kacamata hologram ini bisa digunakan untuk berbagai hal, mulai dari hiburan, hingga membantu para profesional menuntaskan pekerjaannya. Tidak heran jika kacamata ini juga dilirik berbagai industri selain hiburan.
 
Melihat Perkembangan Virtual Reality, Augmented Reality, dan Mixed Reality
 
Salah satu pencapaian AR terbesar di lini hiburan adalah hadirnya game fenomenal Pokemon Go. Game yang dikembangkan Niantic ini awalnya merupakan proyek iseng bersama Google bernama Pokemon Challenge untuk merayakan April Fool di tahun 2014. Namun, di tahun 2016 Niantic merilis kembali versi pengembangannya dalam bentuk game.
 
Seketika Pokemon Go menjadi game fenomenal dan dimainkan puluhan juta pemain yang berkompetisi untuk menangkap Pokemon dan menjadi Pokemon Master terbaik. Game ini juga memiliki sistem PvP yang memungkinkan pemainnya untuk saling beradu di tempat tertentu. 
 

AR vs VR


Mana yang lebih menjanjikan, AR atau VR? Menurut data dari CCS, AR memiliki pasar yang lebih menjanjikan daripada VR. Pasar AR dinilai memiliki pertumbuhan yang lebih pesat dari VR dengan total penjualan perangkat AR diperkirakan meningkat 16 kali lipat dari tahun 2015 hingga 2018 mendatang. Sementara penjualan perangat VR hanya berada di angka 9 kali lipat saja.
 
Apa yang menjadikan AR lebih menarik di pasar? Salah satu faktor utama yang memungkinkan AR tampil lebih unggul adalah cakupan pasarnya yang lebih luas. Berbeda dengan VR yang penggunaannya masih sebatas di lini hiburan, AR telah merambah ke lini industri lainnya, termasuk desain, edukasi, logistik, hingga engineering.
 
Melihat Perkembangan Virtual Reality, Augmented Reality, dan Mixed Reality
 
Di Indonesia, teknologi AR sudah digunakan di bidang komersil melalui AlfaMind, sebuah sistem toko virtual yang memungkinkan pengguna untuk menjual berbagai barang dengan etalase virtual yang bisa dikunjungi layaknya mengunjungi toko sungguhan.
 
AlfaMind dikembangkan AlfaMart, salah satu pelaku jaringan retail dan minimarket terbesar di Indonesia. Selain faktor cakupan pasar, beberapa teknologi AR juga sangat terjangkau, terutama untuk teknologi AR di bidang pendidikan. 
 
Salah satu produk teknologi AR di bidang pendidikan yang banyak ditemukan di pasar adalah AR Card yang bisa menghadirkan objek hologram tertentu ketika dipindai menggunakan aplikasi khusus yang ditanam di ponsel. AR Card biasanya digunakan sebagai sarana edukasi untuk anak-anak.
 
Melihat Perkembangan Virtual Reality, Augmented Reality, dan Mixed Reality
 
Namun bukan berarti teknologi AR hadir tanpa hambatan. Saat ini, perangkat khusus yang bisa menampilkan konten AR dengan sangat baik masih sangat sedikit. HoloLens masih dalam tahap pengembangan dan belum dilempar ke pasar konsumen, sedangkan Google menghentikan pengembangan Google Glass. Yang masih bertahan dan banyak ditemukan justru teknologi AR Card untuk pendidikan.
 
AR yang menawarkan solusi lebih nyata  untuk berbagai bidang menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai kalangan, termasuk pelaku industri dan konsumen. Ini yang menjadi kekuatan utama AR untuk saat ini dan untuk masa yang akan datang.
 

MR Si Pendatang Baru


Selain AR dan VR, Mixed Reality (MR) adalah salah satu teknologi yang potensial. Berbeda dengan AR dan VR yang menyajikan konten virtual, MR menggabungkan penyajian antara objek nyata dan teknologi digital. Singkatnya, objek tersebut "dimanipulasi" perangkat khusus sehingga tampilannya bisa berubah.
 
MR bisa dikatakan tergolong sangat baru. Pemain di ranah ini pun tidak banyak, beberapa di antaranya adalah Microsoft dan Intel. Perangkat HoloLens milik Microsoft sebenarnya juga merupakan perangkat yang bisa menampilkan konten MR. 
 
Dalam beberapa demo, HoloLens mampu menampilkan game yang seakan-akan tembok rumah Anda dibobol alien. Selain itu, terdapat juga sesi di mana HoloLens digunakan untuk membantu penggunanya untuk memperbaiki saluran pipa yang rusak sambil dipandu orang lain dari jarak jauh secara langsung. Uniknya, pemandunya bisa menjunjukkan bagian mana yang harus dipasang terlebih dulu dan ditampilkan melalui teknologi MR.
 
Melihat Perkembangan Virtual Reality, Augmented Reality, dan Mixed Reality
 
Sementara Intel memulai debutnya di teknologi AR melalui Project Alloy, sebuah proyek untuk menciptakan sebuah headset khusus yang digabung denga perangkat kamera dan sensor 3D serta teknologi pelacak gerakan RealSense. Project Alloy pertama kali didemonstrasikan Intel pada acara Intel Developer Forum di San Francissco. 
 
Dalam demonstrasinya, pengguna headset Project Alloy masih bisa mengenali objek di sekelilingnya melalui visualisasi komputer yang ditampilkan ke layar headset.
 
Intel mengatakan, teknologi MR juga akan menghapuskan rasa khawatir pengguna headset VR yang dianggap membahayakan penggunanya karena membuatnya tak sadar akan dunia di sekitarnya. Dengan teknologi ini, pengguna bisa menikmati teknologi layaknya VR, namun tetap bisa melihat bentuk lingkungan nyata di sekitarnya.
 
Pada dasarnya, Project Alloy dan HoloLens berusaha untuk mencapai hal yang sama: menggabungkan dunia nyata dan dunia virtual. Hanya saja, HoloLens memanfaatkan teknologi AR sementara Project Alloy fokus pada teknologi VR.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ABE)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan