Sesi ini dipandu oleh Mahaputra Wikandhitya (Visual Artist & Co-founder ECYCE), menghadirkan dua narasumber, Rato Tanggela (Visual Artist) dan Eddy Sukmana (Photographer, AI Creator).
Kecepatan dan Efisiensi: Perspektif Kreator AI
Eddy Sukmana, yang memulai eksplorasi AI pada akhir 2023, menjelaskan bahwa AI berperan penting dalam meningkatkan efisiensi dan kecepatan workflow, terutama dalam fotografi dan desain."AI ini lebih gesit, lebih lincah," ujar Eddy. Ia memanfaatkan AI untuk mempermudah pembuatan mood board dan karakter visual secara instan.
Penggunaan AI juga terbukti menjadi solusi praktis, khususnya bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Eddy menyebut, banyak teman-teman UMKM kesulitan dalam membuat prompt yang baik untuk menghasilkan foto produk berkualitas. Untuk mengatasi hal ini, ia mengembangkan generator yang mempermudah proses tersebut.
"Mereka tidak perlu prompt lagi. Hanya menambahkan instruksi, ini yang diperlukan," jelas Eddy, menegaskan bahwa kemudahan ini membantu UMKM segera melakukan promosi dan branding produk di tahap awal.
Keintiman Manusia Versus Kecepatan AI: Pandangan Seniman Tradisional
Di sisi lain, Rato Tanggela, seorang seniman visual, memilih untuk tetap mengeksekusi karyanya secara tradisional, yaitu melukis. Meskipun begitu, ia menegaskan bahwa dirinya bukan anti-AI, melainkan membuka diri terhadap teknologi sebagai strategi bertahan di industri kreatif yang cepat.
Rato melihat AI sebagai alat bantu yang mampu mengatasi hambatan dalam tim kerjanya, terutama saat menghadapi brief yang ambigu.
"Adanya AI ini tuh menolong kami dalam menyelesaikan masalah itu. Karena si AI ini tuh dia tidak ada emosinya," ungkap Rato. Namun, hal ini juga memicu refleksi bahwa teknologi seharusnya memberdayakan teman-teman satu tim, bukan menggantikan posisi mereka, sehingga proses kerja bisa lebih sehat dan efisien.
Lebih lanjut, Rato menyoroti bahwa karya yang diciptakan secara manual memiliki keunggulan dalam transfer emosi dan perasaan.
"Perasaan itu tuh yang saya coba untuk transfer ke teman-teman, saya hadirkan karya saya. Itu akan merasuk juga ke teman-teman yang lain yang merasakannya," tutur Rato.
Ia percaya bahwa sentuhan dan perasaan manusia pada karya tradisional memiliki "tarikan" yang berbeda, yang mungkin belum bisa ditandingi oleh AI.
Rato kemudian menambahkan pandangannya tentang peran AI sebagai asisten personal.
“AI sangat membantu. Ia bahkan dapat memberikan masukan. Jika hasil proyek kita kurang baik, AI akan memberitahukannya. AI bisa menjadi teman berbincang yang baik,” ungkapnya.
| Baca juga: Musisi Asal Jaktim Tipu Klien Rp120 Juta: Diminta Bikin 60 Lagu Manual, Eh Ternyata Pakai AI |
Isu Plagiarisme dan Definisi Karya Seni
Diskusi kemudian bergeser pada isu plagiarisme massal dan jubilifikasi (penggandaan karya populer) yang sering dikaitkan dengan AI. Eddy Sukmana mengakui bahwa tren AI saat ini memang kerap membawa pada karakter atau konsep populer, tetapi ia melihat fenomena ini sebagai tahap "hiperbola" yang wajar ketika orang-orang berlomba mencoba teknologi baru.
Rato Tanggela tidak melihat AI sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan untuk mengambil posisi yang berbeda. Ia menekankan pentingnya merefleksikan teman-teman seniman yang karyanya tidak boleh dipublikasi secara paksa ke dalam data set AI.
Mengenai definisi karya seni, Rato menyatakan bahwa dalam seni kontemporer, ide dan penjelasan adalah inti dari sebuah karya.
"Kalau disebut karya atau bukan, menurutku ya itu bisa disebut karya. Tapi sebutnya aja yang beda," jelas Rato. Ia menambahkan bahwa adanya fitur label AI di media sosial adalah cara yang transparan dan fair bagi kreator untuk memberitahu orisinalitas karya.
Tantangan Masa Depan dan Nilai Karya Manual
Menghadapi 10 hingga 20 tahun ke depan, Rato Tanggela dan Eddy Sukmana memiliki pandangan yang sejalan tentang nilai karya konvensional.
“Potensi AI akan terus berkembang. Ia belajar dari apa yang kita lakukan. Ketika seluruh fungsi AI masuk ke kehidupan kita, karya-karya yang bersifat konvensional justru akan muncul dengan value yang lebih besar,” Ungkap Eddy.
Rato Tanggela pun optimistis bahwa karya manual akan memiliki nilai (value) yang lebih tinggi. "Justru yang sifatnya tradisional itu akan muncul dengan teori yang berbeda dan nilainya justru akan lebih besar," ujarnya.
Kedua narasumber sepakat, AI bukanlah sesuatu yang harus dimusuhi atau membuat seniman menjadi anti-teknologi, melainkan harus dipandang sebagai spesies baru dalam ekologi perkembangan teknologi yang mau tidak mau harus dirangkul.
AI adalah alat yang membantu, namun esensi dari ide, perasaan, dan nilai kemanusiaan dalam berkarya akan tetap menjadi pembeda yang fundamental.
(Sheva Asyraful Fali)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id