CEO dan Founder Xiaomi Lei Jun. (Reuters)
CEO dan Founder Xiaomi Lei Jun. (Reuters)

Valuasi Terus Turun, Apa Kesalahan Xiaomi?

Ellavie Ichlasa Amalia • 24 Agustus 2016 11:20
medcom.id: Di bulan Desember 2014, Xiaomi mendapatkan investasi sebesar USD1.1 miliar dengan valuasi USD45 miliar (Rp530 triliun).
 
Namun, 18 bulan setelah Xiaomi mendapatkan pendanaan terakhir, sebuah analisa baru muncul, menyebutkan bahwa nilai Xiaomi kini kurang dari USD4 miliar (Rp53 triliun).
 
Apa yang terjadi pada Xiaomi yang sempat menjadi startup dengan nilai tertinggi di dunia, nilainya menurun drastis?

Salah satu investor Xiaomi adalah Yuri Milner, yang sempat memprediksi bahwa valuasi Xiaomi dapat naik dua kali lipat menjadi USD100 miliar (Rp1.325 triliun). "Di setiap benchmark yang ada, hampir tidak ada startup yang menyamai pertumbuhan perkembangannya," kata Milner pada Bloomberg ketika itu.
 
Milner bukanlah investor sembarangan. Dia pernah menanamkan investasi di Facebook di tahun 2009. Ketika Facebook menawarkan IPO (Initial Public Offering) di tahun 2012, Milner menjadi seorang milyarder. Selain itu, Milner juga investor dari raksasa e-commerce Tiongkok, Alibaba di tahun 2011. Tiga tahun setelahnya, Alibaba menawarkan IPO.
 
Namun, tampaknya, tidak selamanya prediksi Milner tentang perusahaan yang akan berkembang benar.
 
Dalam waktu 18 bulan, pangsa pasar Xiaomi di pasar smartphone menurun secara drastis, sementara ekosistem perangkat terhubung miliknya -- mulai dari headset VR hingga penanak nasi -- gagal untuk memberikan pemasukan yang signifikan untuk perusahaan.
 
Menurut data dari IDC yang diluncurkan minggu lalu, di kuartal 2 tahun 2015, penjualan smartphone Xiaomi di Tiongkok turun 38 persen jika dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun lalu. Padahal, pasar smartphone di Tiongkok secara keseluruhan justru naik 4,6 persen.
 
Di Tiongkok, Apple memang mengalami penurunan penjualan, sama seperti Xiaomi Namun, pesaing Xiaomi di kelas pemula dan menengah, seperti Huawei, Oppo dan Vivo, justru mengalami peningkatan penjualan.
 
Dalam waktu 12 bulan setelah Xiaomi mendapatkan valuasi tertingginya, Xiaomi gagal memenuhi penjualan target smartphone miliknya dua kali. Tidak hanya itu, mereka juga gagal memenuhi target pendapatan.
 
Menurut analis Richard Windsor, pendapatan Xiaomi dapat terus turun sebesar 10-20 persen di tahun 2016, membuat valuasi Xiaomi menjadi USD3.6 miliar (Rp47,7 triliun).
 
Lalu apa kesalahan Xiaomi?
 
Kesuksesan Xiaomi berasal karena mereka berhasil membuat smartphone dengan spesifikasi premium tapi dengan harga yang jauh lebih murah dari Apple dan Samsung. Namun, ketika vendor smartphone lain melakukan hal yang sama, Xiaomi tidak lagi menjadi sesuatu yang istimewa.
 
Selain itu, pesaing Xiaomi juga dapat menawarkan fitur baru dan inovatif. Misalnya, Vivo menawarkan layar melengkung, Oppo dan OnePlus fokus pada fitur quick charge dan Huawei menawarkan kamera dua lensa dan pemindai sidik jari.
 
Valuasi Terus Turun, Apa Kesalahan Xiaomi?
 
"Saya rasa, performa dan pertumbuhan Xiaomi di pasar smartphone telah terhenti, karena pesaing dengan R&D yang lebih baik dan jangkauan distribusi yang lebih luas berhasil mengalahkan merek itu," kata analis CounterPoint Research, Neil Shah pada IBTimes UK
 
Selain itu, Xiaomi masih fokus pada smartphone dengan harga sangat terjangkau dengan jajaran Redmi meski jelas terlihat bahwa konsumen di Tiongkok bersedia untuk membayar lebih untuk mendapatkan smartphone yang lebih baik. 
 
Mimpi untuk ekspansi ke level global
 
Di bulan Desember 2014, salah satu alasan Milner begitu percaya diri akan potensi Xiaomi adalah karena mereka baru menjual smartphone di beberapa negara Asia. Dugaannya, begitu Xiaomi meluncurkan smartphone miliknya di Eropa barat dan AS, mereka akan menjadi pemain global.
 
Sayangnya, Xiaomi tidak memiliki portofolio paten yang cukup untuk masuk ke dalam pasar-pasar yang telah matang tersebut. Xiaomi sejak lama dituduh meniru hardware dan fitur yang ada pada pemain-pemain besar seperti Apple dan Samsung. Terlihat jelas bahwa Xiaomi tidak siap untuk masuk ke pasar dunia di mana mereka akan harus menghadapi sekumpulan tuntutan terkait paten.
 
Bahkan di India, pasar terbesar kedua Xiaomi, perusahaan asal Tiongkok ini mendapatkan larangan untuk menjual produknya karena melanggar paten Ericsson. 
 
Satu kekuatan Xiaomi lainnya adalah karena mereka memiliki pelanggan yang sangat setia. Xiaomi selalu mengatakan bahwa penggunanya bersedia untuk membeli berbagai produk lain yang menjadi bagian dari ekosistem Xiaomi.
 
Sayangnya, pelanggan, terutama pelanggan di Tiongkok, biasanya tidak memiliki kesetiaan atau hanya memiliki sedikit kesetiaan pada merek. Menurut studi yang dilakukan oleh perusahaan penelitian Bain & Company di tahun 2014, merek-merek di Tiongkok harus terus bertarung memenangkan konsumen baru karena ketiadaan kesetiaan di antara para konsumen. 
 
Xiaomi selalu menyebut dirinya sebagai "perusahaan internet" dan bukan sekadar perusahaan smartphone. Dalam 2 tahun belakangan, mereka memang telah menanamkan investasi di berbagai startup hardware untuk membuat produk-produk yang saling terhubung yang mereka sebut Mi Ecosystem. 
 
Ide ini terdengar seperti ide bagus mengingat pasar smartphone saat itu diperkirakan akan mengalami perlambatan pertumbuhan penjualan tahunan menjadi 3,1 persen di tahun 2016. Sayangnya, Xiaomi gagal mendapatkan pendapatan yang signifikan dari produk-produk Mi Ecosystem miliknya.
 
Shah merasa, rencana Xiaomi di masa depan terlihat tidak meyakinkan. "Masa depan Xiaomi saat ini tidak pasti dan strategi mereka terkesan tidak fokus seiring dengan perubahan yang mereka lakukan dari ekosistem 'konten, aplikasi dan layanan' yang fokus pada smartphone menjadi 'ekosistem yang menghubungkan semua hal' berbasis hardware," kata Shah.
 
Tampaknya, Xiaomi tidak lagi dikenal sebagai "Apple dari Timur" tapi akan dikenal sebagai "BlackBerry dari Timur".
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MMI)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan