Asosiasi pengembang desak pemerintah bentuk kementerian khusus perumahan. Foto: Rizkie Fauzian/Medcom.id
Asosiasi pengembang desak pemerintah bentuk kementerian khusus perumahan. Foto: Rizkie Fauzian/Medcom.id

Haruskah Kementerian Khusus Perumahan Dibentuk?

Rizkie Fauzian • 21 Agustus 2024 12:08
Jakarta: Para pemangku kepentingan (stakeholder) sepakat dan kompak agar urusan perumahan rakyat dapat ditanggani kembali oleh satu kementerian khusus yang terpisah dengan urusan infrastruktur seperti telah berlangsung selama satu dekade terakhir. Kehadiran kementerian khusus perumahan dinilai mutlak jika pemerintah baru memiliki program 3 juta rumah per tahun di seluruh Indonesia. 
 
Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto mengatakan pembangunan 3 juta rumah yang ditargetkan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo-Gibran bukanlah program kaleng-kaleng tetapi suatu rencana yang dahsyat karena butuh dukungan besar dari sisi penganggaran dan kebijakan. 
 
“Oleh karena itu, program ini mustahil berjalan tanpa desk khusus. Kita tahu bahwa banyak ketentuan dan regulasi di sektor perumahan yang selama ini kontra-produktif bahkan tidak bersahabat dengan dunia usaha sehingga menghambat penyediaan perumahan,” ujarnya pada talkshow yang diadakan Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) di Novotel Jakarta Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 20 Agustus 2024.

REI menegaskan, program 3 juta rumah mau tidak mau haruslah ditanggani kementerian yang khusus memahami persoalan pembangunan perumahan. Tiga fungsi penting adanya kementerian perumahan adalah sebagai pengatur koordinasi lintas sektoral, perencana program, serta sekaligus eksekutor. Menurut Joko, ketiga fungsi kementerian itu harus ada karena program ini merupakan pekerjaan khusus yang menjadi prioritas Prabowo-Gibran.
 
Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Pengembangan Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali menilai selama ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tidak fokus kepada masalah perumahan karena lebih banyak terkonsentrasi dengan urusan pembangunan infrastruktur. 
 
“Untuk itu, agar program pembangunan 3 juta rumah Prabowo-Gibran ini dapat berhasil diperlukan kementerian khusus perumahan dan badan khusus perumahan,” ungkap dia.
 
Menurut Daniel, selama ini beberapa masalah terjadi akibat pemerintah tidak fokus pada persoalan dan isu perumahan seperti kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk rumah subsidi yang pada tahun 2024 ini sudah habis pada bulan Agustus. Dia menegaskan, kuota rumah subsidi yang terbatas akan berdampak karena perumahan memiliki multiplier effect yang besar terhadap sektor lainnya.
 
Baca juga: 484.119 Rumah Sudah Terbangun untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah

“Kementerian khusus perumahan juga bisa mengatasi kendala aturan dan perizinan yang saat ini masih menghambat pembangunan perumahan,” jelas dia.
 
Wakil Ketua Umum DPP Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Aviv Mustaghvirin berpendapat bahwa saat ini kementerian yang mengurusi kebutuhan pokok masyarakat seperti pangan dan sandang sudah ada, namun yang menanggani urusan papan tidak ada. Hal itu yang menyebabkan backlog perumahan sulit terselesaikan.
 
“Soal perumahan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah. Karena itu, Himperra merekomendasikan untuk dihidupkan kembali kementerian perumahan rakyat. Tanpa kementerian khusus, maka sulit sekali untuk mewujudkan program 3 juta rumah tersebut,” kata Aviv.
 
Pemerintah perlu melakukan intervensi dalam pembangunan perumahan terlebih dari sisi kebijakan diantaranya untuk mengendalikan harga tanah yang semakin tinggi di perkotaan. Akibatnya, lokasi perumahan subsidi semakin jauh dari pusat aktivitas masyarakat.
 
Ketua Umum DPP Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Appernas Jaya) Andriliwan Muhamad menegaskan bahwa program 3 juta rumah yang dicanangkan Prabowo-Gibran akan mampu mengurangi backlog perumahan di Indonesia. Asosiasi itu sangat mendukung program positif ini untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memiliki rumah. 
 
“Kami mengusulkan dibentuknya kembali kementerian khusus perumahan, karena perumahan dan infrastruktur sama pentingnya. Oleh karena itu, urusan perumahan tidak cukup hanya ditanggani oleh pejabat setingkat direktur jenderal,” kata Andriliwan.
 
Dia mengingatkan agar program 3 juta rumah ini diikuti dengan penyempurnaan terhadap regulasi dan skema-skema pembiayaan termasuk membenahi undang-undang yang terkait perumahan. Pengembang selama ini sangat kesulitan dalam mengurus perizinan, salah satunya karena tidak adanya kementerian khusus. 
 
Appernas Jaya merekomendasikan kementerian khusus perumahan ini nantinya harus fokus kepada tiga target yaitu membuat skema baru tentang pembiayaan perumahan, membuat perizinan agar lebih mudah, dan harus ada kesepahaman bersama tentang rumah atau hunian yang akan dibangun untuk masyarakat. 

Dukungan 

Menteri Negara Perumahan dan Permukiman periode 1998-1999, Theo L. Sambuaga juga turut mendukung pembentukan kementerian khusus perumahan. Menurutnya, angka backlog kepemilikan rumah masih sangat besar di Indonesia. Hal itu menjadi tantangan serius yang harus diatasi dengan meningkatkan langkah-langkah yang super extra. 
 
“Program 3 juta rumah ini menjadi langkah strategis yang perlu didukung agar terlaksana dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, perlu diwujudkan gagasan agar urusan perumahan dapat kembali ditangani dan menjadi tanggung jawab satu kementerian tersendiri yang mempunyai struktur fungsional sampai ke daerah-daerah,” ungkap Theo.
 
Theo juga mendorong pemerintah memberikan insentif agar kalangan swasta ikut berpartisipasi dalam program pemerintah untuk membangun jumlah rumah yang reasonable untuk penyediaan rumah layak huni dan terjangkau untuk masyarakat khususnya MBR.
 
Sementara itu, Presiden EAROPH Indonesia, Andira Reoputra yang dihubungi terpisah mengatakan bahwa program 3 juta rumah yang digagas pemerintahan Prabowo-Gibran nanti akan menjadi magnet yang besar bagi masyarakat termasuk masyarakat perkotaan. Pemerintahan baru mendatang diharapkan dapat merangkul semua stakeholder agar program perumahan tersebut dapat berjalan optimal. 
 
Menurut dia, selain penting adanya zonasi perumahan yang link and match dengan 
konsep penataan kota agar masyarakat bisa mendapatkan hunian terjangkau, koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah kota juga dibutuhkan.
 
“Di Jakarta misalnya, pemerintah pusat memiliki aset properti termasuk lahan yang luar biasa besar, demikian pula pemerintah provinsi. Karena itu butuh yang dinamakan property bucket. Jadi di dalam property bucket ini, nanti ada aset pusat dan ada aset daerah,” kata Reo.
 
Kalau semua aset properti itu dapat dikumpulkan dan dikonsolidasikan, maka nantinya persoalan lahan atau lokasi untuk pembangunan hunian di perkotaan seperti di Jakarta akan bisa terselesaikan. Aset-aset yang ada di dalam property bucket, ungkap Reo, juga memungkinkan untuk dikerjasamakan melalui skema pembangunan Skema Build Operate Transfer (BOT), Build,Transfer,Operate (BOT) atau Kerja Sama Pemanfaatan atau KSP. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KIE)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan