Pekerja menyelesaikan keramik lantai bermotif 'jadul' di industri rumahan Keniten, Tamanmartani, Kalasan, DI Yogyakarta. Tegel ini pesanan berbagai hotel dan cafe dari Jakarta, Kalimantan, Bali dan Lombok. file/Antara Foto/Hendra Nurdiyansyah
Pekerja menyelesaikan keramik lantai bermotif 'jadul' di industri rumahan Keniten, Tamanmartani, Kalasan, DI Yogyakarta. Tegel ini pesanan berbagai hotel dan cafe dari Jakarta, Kalimantan, Bali dan Lombok. file/Antara Foto/Hendra Nurdiyansyah

Keramika 2018

Bea Masuk dan Harga Gas Pukul Industri Keramik

Rizkie Fauzian • 28 Februari 2018 22:23
Jakarta: Pasar keramik nasional masih saja lesu. Serbuan keramik impor semakin memukul  produsen dalam negeri sehingga banyak pelaku industri memilih menghentikan produksi dan memberhentikan karyawan karena tak sanggup lagi menanggung rugi.
 
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Elisa Sinaga perkirakan tahun ini situasinya bertambah parah. Keramik made in China semakin menbanjiri pasar 'berkat' adanya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang menekan bea masuk impor.
 
"Ketika bea masuk 20 persen, impor keramik naik 22 persen. Apalagi sekarang bea masuk 5 persen?  Maka kami imbau pemerintah memberi perlindungan dengan mengendalikan impor keramik dari Tiongkok," ujarnya dalam press conference Keramika 2018 di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (28/2/2018).

Perlindungan dan dukungan kemudahan pemerintah Tiongkok yang membuat industri kemariknya melanglang buana. Meski kapasitas produksinya tidak besar tapi dumping membuat keramik made in China semakin menggerogoti pasar Indonesia,.
 
Data tahunan Asaki menunjukkan produksi keramik nasional pada 2016 sebesar 350 juta meter persegi. Jumlah tersebut menurun dibandingkan dengan produksi sebelumnya yang mencapai 400 juta meter persegi.
 
Bea Masuk dan Harga Gas Pukul Industri Keramik
 
Harga gas industri
 
Elisa Sinaga juga menyebut harga gas industri sebagai faktor memperlemah daya saing keramik made in Indonesia. Menurutnya biaya gas bisa mencapai 40 persen dari total biaya produksi keramik.
 
Harga per MMBTU gas industri yang saat ini antara USD 8 hingga USD 9 memang lebih tinggi dibandingnegara lain yang juga memiliki industri manufaktur. Perbedaan harga antar propinsi ini juga membuat rumit perhitungan pengusaha.
 
"Kami tidak minta harga gas diturunkan, karena itu perhitungannya meliputi hulu hingga hilir. Kami hanya ingin harga disamakan dan kompetitif. Permintaan pasar turun, biaya produksi jadi tinggi. Jangan sampai produsen memilih jadi importir sebab modalnya lebih murah," papar Elisa.
 
Menurutnya biaya produksi pabrik keramik di Tiongkok bisa lebih rendah dibandingkan Indonesia karena menggunakan batu bara sebagai bahan bakar yang harganya hanya 1/3 dari gas. Uniknya sebagian besar batu bara tersebut didatangkan dari Kalimantan.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LHE)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan