Menanggapi isu tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa informasi itu tidak benar dan berpotensi menyesatkan.
“Kami tegaskan bahwa informasi terkait tanah girik yang tidak didaftarkan hingga 2026 akan diambil oleh negara adalah tidak benar,” ujar Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (Dirjen PHPT) Kementerian ATR Asnaedi.
Apa itu Girik, Verponding, dan Letter C?
Untuk memahami isu ini secara utuh, masyarakat perlu mengetahui terlebih dahulu istilah girik, verponding, dan letter C, yang kerap digunakan dalam transaksi atau dokumen pertanahan:1. Girik
Girik adalah bukti pembayaran pajak tanah yang dikeluarkan oleh desa atau kelurahan. Dokumen ini bukan bukti kepemilikan tanah secara hukum, tetapi bisa menjadi petunjuk bahwa seseorang telah menguasai atau menggunakan tanah tersebut secara turun-temurun atau adat.2. Letter C
Letter C adalah daftar administrasi pertanahan desa yang mencatat siapa yang menguasai atau menggarap sebidang tanah, serta riwayat kepemilikannya. Seperti girik, letter C bukan bukti hak milik, tetapi bisa digunakan sebagai data pendukung dalam proses sertipikasi.3. Verponding
Verponding adalah istilah lama dari zaman kolonial yang merujuk pada pembayaran pajak tanah (verponding Indonesia). Ini juga bukan bukti hak milik, tetapi sering digunakan untuk menunjukkan keberadaan penguasaan tanah sebelum adanya sistem pertanahan nasional yang modern.Baca juga: Mau Ubah Girik jadi SHM? Segini Biayanya |
“Girik dan bekas hak lama lainnya bukan alat bukti kepemilikan tanah, tetapi bisa digunakan sebagai petunjuk bahwa seseorang pernah memiliki atau menguasai tanah tersebut. Sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), tanah dengan bukti tersebut masih dapat dilakukan pengakuan, penegasan hak, dan konversi menjadi hak milik melalui prosedur resmi,” jelas Asnaedi.
Apa sebenarnya aturan 2026?
Isu bermula dari pemahaman yang keliru terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021, khususnya Pasal 96, yang menyebutkan bahwa tanah bekas milik adat wajib didaftarkan paling lambat lima tahun sejak aturan tersebut berlaku. Karena PP tersebut mulai berlaku tahun 2021, maka tenggat waktu pendaftaran jatuh pada tahun 2026.Namun, tenggat waktu tersebut bukan berarti tanah yang belum terdaftar akan otomatis diambil alih negara.
“Kalau giriknya ada, tanahnya ada, dan pemiliknya masih menguasai, maka tidak ada alasan negara untuk mengambil alih tanah tersebut. Ini bukan tentang perampasan, tapi tentang mendorong legalisasi agar masyarakat memiliki kepastian hukum,” jelas Asnaedi.
Pemerintah melalui ATR/BPN justru mendorong masyarakat untuk segera mendaftarkan tanahnya ke kantor pertanahan guna memperoleh sertipikat sebagai bukti hak yang sah dan kuat secara hukum.
“Negara hadir untuk memberikan perlindungan hukum, bukan mengambil hak masyarakat. Sertipikasi tanah ini penting untuk mencegah sengketa dan memberi kepastian atas hak atas tanah,” jelas dia.
Program pendaftaran tanah ini juga merupakan bagian dari Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang telah dijalankan pemerintah untuk menjangkau seluruh bidang tanah di Indonesia.
Asnaedi mengimbau masyarakat agar tidak mudah percaya pada informasi tidak resmi yang beredar, khususnya terkait pertanahan. Semua informasi valid dapat diperoleh langsung melalui kanal resmi Kementerian ATR/BPN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News