"Sudah mulai banyak yang masuk ke Indonesia, seperti dari Malaysia. Bagusnya pemerintah melakukan proteksi, jadi semua pembangunan infrastruktur made and by Indonesian people," kata Ketua Umum Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII), Lea Aviliani Aziz, Jumat (7/9/2018).
Di temui di sela HOMEDEC 2018 di ICE BSD, Tangerang Selatan, Lea mengungkap bahwa para desainer asing biasanya mengerjakan proyek pembangunan dan infrastruktur dari kontraktur atau pengembang asing. Mereka bagian dari paket kesepakatan proyek milik asing tersebut.
Pemerintah bisa mempelajari praktek di negara tetangga. Di Malaysia, Vietnam dan Singapura juga banyak proyek properti dengan kontraksi asal negara lain tetapi interiornya tetap dikerjakan tenaga lokal.
"Di sana para desainer asing tidak bisa sembarangan masuk dan mengerjakan proyek dalam negeri," jelasnya.
Di negara tersebut, para desainer akan terikat dengan regulasi serta standar kelayakan seperti pengecekan building code, jumlah uang di rekening bank yang harus sesuai. Bahkan jika perusahaan desain, maka akan dilakukan pengecekan usia perusahaan tersebut.
"Aturan seperti itu harus dibuat oleh Kementerian PUPR, bagaimana menjaga desain infrastruktur agar menggunakan desainer dari Indonesia," ungkap Lea.
Fenomena lain yang diamati desainer senior ini adalah perusahaan funiture berbasis di Eropa dan Korea membuka 'pabrik' di Indonesia. Kolaborasi tersebut memang sangat baik sebab membuka banyak lapangan kerja dan memutar roda perekonomian daerah.
Namun di sisi lain para perajin menjadi tak lebih dari tukang yang menerima upah sebagai tukang. Urusan desain, menajemen dan pemasaran tetap dikendalikan dari luar negeri. Artinya pendapatan terbesar tetap di tangan para pedangang dengan keuntungan berkali lipat.
"Ini kan enak buat mereka, tapi tidak buat kita. Mereka produksi murah di Indonesia, lalu ekspor dengan dolar yang tinggi. Ini yang selalu saya sampaikan jangan jadi tamu di negeri sendiri," tegas Lea.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News