Perumahan bersubsidi yang dibangun oleh Kementerian PUPR. Foto: Kementerian PUPR
Perumahan bersubsidi yang dibangun oleh Kementerian PUPR. Foto: Kementerian PUPR

Mengapa Rumah Subsidi Jauh dari Tempat Kerja?

Ade Hapsari Lestarini • 26 November 2021 12:45
Bandung: Mempunyai rumah sendiri menjadi impian banyak orang. Khususnya bagi mereka yang masuk dalam golongan Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR).
 
Golongan MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli, sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah. Biasanya, golongan ini meminati rumah subsidi yang sudah disediakan pemerintah, karena harganya sesuai dengan kantong mereka.
 
Rumah subsidi adalah rumah yang dijual dengan harga terjangkau. Pembeli rumah subsidi pun mendapat kemudahan untuk mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan bunga flat. Bunga KPR rumah subsidi flat karena telah disubsidi oleh Pemerintah dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Namun sayangnya, akses rumah subsidi ini cukup jauh, khususnya dari lokasi tempat kerja. Lalu, mengapa para pengembang lebih memilih membangun di lokasi yang jauh dari kota besar?
 
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia (DPP REI) Royzani Sjachril menjelaskan, keterbatasan harga menjadi salah satu faktor utamanya. Sehingga harga pun disesuaikan dengan harga dasar tanah yang dibebaskan.
 
"Kenapa jauh? Dari sisi bisnis untuk rumah MBR ada keterbatasan harga, disesuaikan dengan harga dasar tanah yang dibebaskan. Kebanyakan, jika hampir mendekati kota atau perbatasan kota, harga sudah tinggi," ungkap dia, Kamis, 25 November 2021.
 
Oleh karena itu, pengembang pun mengikuti harga batasan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), yang paling tinggi dipatok sekitar Rp160 juta-an. Sehingga membuat pengembang mencari daerah yang bisa dikembangkan.
 
"Infrastruktur, tapi belum running well, tapi biasanya pengembang di kota dan daerah akan kesulitan, juga soal penyediaan transportasi yang mandiri. Selain itu ada birokrasi, RTRW, lokasi itu membuat NJOP meningkat," jelasnya.
 
Di sisi lain, lanjut dia, pihaknya cukup terbantu dengan adanya aplikasi yang disediakan untuk kalangan pengembang untuk menampilkan listing produk perumahannya, yakni SiKumbang. Sehingga pengembang bisa bersaing secara sehat dalam meningkatkan kualitas rumah subsidi.
 
"SiKumbang dan ada aturan dari dirjen untuk peningkatan kualitas rumah, ada persaingan ketat dan ingin bisnis jalan, tentunya kita akan jadikan produk yang bagus. Baik dari fasilitas di kawasan tersebut, di sini ke depan adanya persaingan ini dilihat dari kelayakan bangunan, sehingga pengembang susah bermain untuk menurunkan speknya, karena ada aturan dari pemerintah. tingkat hunian akan ada persaingan di daerah perbatasan dan cocok harga dasar tanahnya," paparnya.
 
 

Ekosistem perumahan

Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna juga menyadari hal ini. Dirinya berharap ke depan, ini menjadi evaluasi seluruh stakeholder terkait. Menurut dia, kondisi ini merupakan tanggung jawab dari ekosistem perumahan.
 
"Ini potret yang ada di Indonesia saat ini, ke depannya bagaimana bisa lebih baik lagi. Ini bagian dari evaluasi kita, kenapa lama-lama rumah makin jauh, walau mudah punya rumah, tapi harus bangun lebih pagi. ini ekosistem perumahan yang harus bertanggung jawab," ujar Herry.
 
Menurut Herry, nantinya, agar masyarakat bisa mempunyai rumah dekat dengan tempat kerja, harus ada upaya menyediakan fasilitas tersebut. Dengan adanya kebutuhan permintaan rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan kapasitas penyaluran KPR subsidi hingga 250 ribu per tahun, perhitungan dasarnya adalah rumah landed
 
"Kami berdiskusi keras bagaimana fasilitas tadi juga menyasar rumah vertikal, ini PR kami, kalau FLPP bisa masuk Rp2,5 jutaan dengan bunga lima persen, tergantung harga rumah. Bagaimana subsidi tadi tidak hanya menyasar landed yang makin lama makin jauh, tapi rumah harus dekat dengan public transpor dan yang diharapkan konsumen," paparnya.
 
Direktur Utama BTN Haru Koesmahargyo menjelaskan kondisi ini sejalan dengan konsep urbanisasi. Yakni adanya perpindahan masyarakat dari suburban ke urban. Baik itu untuk kelompok MBR maupun MBT (Masyarakat Berpenghasilan Tanggung).
 
"Kita ada program antara Kementerian BUMN dan BTN, salah satunya perumahan milenal. Pola tren masyarakat Indonesia maunya praktis, saya mau dekat dengan moda transportasi, kita sudah tetapkan target Maret 2022 diluncurkan, lokasinya ada di Tanjung Barat, Pondok Cina, Cisauk, kita beli apartemen dapat kereta api, turun langsung naik kereta api. Karena itu vertikal, harganya memang di atas plafon dari MBR, tapi cocok buat MBT, itu ada skema khusus dari developer. Nah dari BTN mencari pendanaan jangka panjang diibkin pola pembayaran graduated payment mortgage, disesuaikan dengan tingkat penghasilan. Rumah-rumah ini nanti ditawarkan, sudah pasti affordable," tutupnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KIE)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan