Bangunan ini tak hanya jadi ikon arsitektur yang fungsional, tetapi juga sarat simbol. Bentuk buku terbuka dipilih sebagai representasi keterbukaan akses terhadap ilmu pengetahuan dan arus ide tanpa batas.
Konsep tersebut dituangkan secara detail pada rancangan visualnya. Atap bangunan dibuat melengkung dinamis, menyerupai halaman buku yang sedang dibalik. Saat malam tiba, fasad atap dihiasi garis-garis cahaya menyerupai teks tulisan, menciptakan suasana hidup dan dramatis.
Detail bangunan

Dari sisi struktur, bangunan ini mengandalkan sistem kantilever beton yang membuat massa utama tampak melayang. Area di bawahnya dirancang menjadi ruang publik terbuka yang menampung fasilitas parkir, akses masuk utama, hingga kolam air yang memberi nuansa tenang bagi pengunjung.
Baca juga: Singha Durbar, Istana Megah Nepal yang Kembali Jadi Saksi Gejolak Zaman |
Interior perpustakaan pun konsisten dengan tema besar “halaman buku”. Setiap lantai diibaratkan sebagai lembaran berisi ruang baca dan koleksi, lengkap dengan balkon untuk beristirahat sambil menikmati panorama kota.
Bagian tengah bangunan difungsikan sebagai “tulang buku” yang menjadi pusat sirkulasi vertikal, menghubungkan dua sayap utama auditorium dan ruang koleksi melalui jembatan layang yang menawarkan pengalaman ruang berbeda.
Detail kecil turut memperkaya simbolisme. Nama perpustakaan, misalnya, diletakkan pada fasad yang menjulur menyerupai pembatas buku (bookmark). Sementara itu, jika dilihat dari depan, siluet keseluruhan bangunan menyerupai pohon—simbol pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara keseluruhan, rancangan Thilina Liyanage ini memadukan fungsi perpustakaan modern dengan ekspresi arsitektur simbolis. Ia menghadirkan sebuah visi baru bagi wajah bangunan publik di masa depan, di mana ruang belajar bukan hanya tempat membaca, tetapi juga sumber inspirasi visual dan budaya. (Sultan Rafly Dharmawan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News