Cirebon: Adanya dugaan mahar politik dikhawatirkan bakal menjegal potensi bagus putra daerah yang ingin maju menjadi pemimpin daerah. Bisa jadi seseorang enggan maju di perebutan kursi pimpinan daerah karena adanya mahar politik.
"Sangat mungkin, banyak orang hebat akhirnya tidak berani maju karena berat di mahar politik," kata Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat di Cirebon, Jawa Barat, Rabu, 17 Januari 2018.
Arief yang juga mantan anggota DPD ini menyebut, politik yang terjadi di Indonesia sudah sangat tidak sehat. Hampir semuanya membutuhkan uang tidak sedikit.
Selain mahar politik, lanjut Arief, para calon kepala daerah juga masih dibebani pembiayaan lainnya. Di antaranya uang saksi dan alat peraga kampanye.
"Kalau baru mencalonkan saja butuh uang banyak, maka nanti ketika menjabat harus mencari uang yang banyak juga," ujar Arief.
Menurut Arief, pemerintah seharusnya membuat aturan agar politik tak lagi berkaitan dengan uang. Jika mahar politik dibiarkan berlanjut, dimungkinkan menjadi awal kehancuran Indonesia.
"Kalau begini terus, Indonesia bisa hancur," pungkasnya.
(Baca: Pembongkar Mahar Politik Harus Dilindungi)
Sebelumnya, pasangan Brigjen Siswandi-Euis Fety Fatayati yang diusung Koalisi Umat gagal mendaftar untuk Pemilihan Wali Kota Cirebon 2018. Ini terjadi karena rekomendasi dari PKS batal keluar, syarat kursi tak terpenuhi.
Menurut Siswandi, PKS tak mengeluarkan rekomendasi karena permintaan mahar tak bisa dipenuhi. Nominal mahar disebut hingga miliaran rupiah.
Nominal mahar, lanjut Siswandi, terlontar dari salah satu pengurus PKS pada H-1 pendaftaran. Ia mengaku nilai mahar yang diminta pada detik-detik terakhir itu naik hingga lima kali lipat.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((NIN))