Jakarta: Proses pencalonan bupati dan wakil bupati di Kutai Kartanegara kembali disorot menjelang pelaksanaan
Pilkada Kutai Kartanegara 2024. Jajaran Komisi Pemilihan Umum (
KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diminta mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pencalonan Edi Damansyah.
"Apabila sampai terjadi pemungutan suara ulang (PSU) karena ketidakpatuhan terhadap keputusan MK di belasan kabupaten, secara faktual telah terjadi kerugian negara yang sangat besar. Bukan hanya kerugian materiil, tapi juga terutama kerugian imaterial, yaitu rusaknya demokrasi," ujar Koordinator MPPI Arifin Nur Cahyono dalam keterangannya, Selasa, 19 November 2024.
.
Arifin menjelaskan pihaknya telah melayangkan somasi terbuka kepada penyelenggara pemilu terkait dugaan pelanggaran hukum pada pencalonan Edi Damansyah di Pilkada Kutai Kartanegara. Dalam somasinya, mereka meminta dan mendesak KPU-Bawaslu membatalkan pencalonan Edi Damansyah sebagai calon bupati Kutai Kartanegara karena sudah menjabat sebagai Bupati Kutai Kartanegara dua periode sebagai bentuk tindakan tak patuh dan menghormati hukum.
Bahkan, kata dia, pihaknya berencana membawa perkara ini ke ranah hukum jika somasi permintaan dan desakan untuk membatalkan pencalonan Edi Damansyah sebagai calon bupati Kutai Kartanegara tidak dilaksanakan dalam kurun waktu 2x24 jam terhitung mulai hari ini.
"Mereka (KPU dan Bawaslu RI) wajib proaktif cari tahu tentang hal ini dan segera bertindak melaksanakannya tanpa ada alasan apa pun lagi," kata dia.
Adapun dasar hukum dan perundangan-undangan yang membatalkan pencalonan Edi Damansyah sebagai calon bupati Kutai Kartanegara pada Pilkada 2024, sehubungan dengan telah adanya kepastian hukum mengenai cara penghitungan masa jabatan Kepala Daerah, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 129/PUU-XXII/2024, pada 14 November 2024.
Dalam pertimbangan hukumnya, dengan tegas MK mengatakan, menimbang bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 2/PUU-XXI/2023, Mahkamah dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Nomor 10 Tahun 2016 menyatakan, "kata ‘menjabat’ adalah masa jabatan yang dihitung satu periode, yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari masa jabatan kepala daerah".
Oleh karena itu, lanjut Arifin, melalui putusan a quo Mahkamah perlu menegaskan yang dimaksudkan dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan ‘masa jabatan yang telah dijalani’ tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara.
Menurut Arifin, berdasarkan kutipan pertimbangan hukum demikian, tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret yang dipersoalkan para Pemohon, pendirian Mahkamah dimaksud sudah cukup jelas bagi semua pihak, khususnya lembaga yang mempunyai kewenangan menyusun peraturan pelaksana dari UU Nomor 10 Tahun 2016, masa jabatan yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Nomor 10 Tahun 2016 merujuk pada masa jabatan yang telah dijalani secara nyata (riil atau faktual) dan bukan masa jabatan yang dihitung berdasarkan waktu pelantikan.
Kemudian, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan tersebut menegaskan, masa jabatan yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Nomor 10 Tahun 2016 merujuk pada masa jabatan yang telah dijalani secara nyata (riil atau faktual) dan bukan masa jabatan yang dihitung berdasarkan waktu pelantikan, yang mana putusan Makahmah Konstitusi didasarkan pada pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((AZF))