Jakarta: Sebanyak 36 daerah berpotensi diisi calon tunggal pada
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Hal tersebut dinilai merusak demokrasi.
"Calon tunggal mau bagaimana dikatakan demokrasi kalau tidak ada kontestasinya lagi. Yang pasti sudah merusak demokrasi," kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formapi) Lucius Karus saat dihubungi, Kamis, 3 September 2020.
Lucius mengatakan partai politik bertanggung jawab menghadirkan calon kepala daerah (
cakada) berkualitas. Sehingga kasus calon tunggal tidak lagi terjadi.
“Butuh keberanian dari parpol untuk keluar dari arus besar dan mengedepankan kepentingan masyarakat,” tegas dia.
Menurut Lucius, parpol tidak boleh mengambil keputusan politik yang pragmatis. Sebab, nasib masyarakat lima tahun ke depan ada di tangan pemenang pilkada.
“Jadi tanggung jawab mereka (parpol) tidak hanya memperhitungkan kepentingan sendiri tapi mempersiapkan kader jauh-jauh hari,” ujar Lucius.
Lucius menyebut calon tunggal berpotensi memperluas celah politik uang. Apalagi jika cakada sempat terlibat praktik korupsi.
Baca: Berstatus Tersangka, Pencalonan Johan Anuar Menuai Kritik
Dia menyinggung cakada yang berstatus tersangka koruptor di Ogan Komering Ulu. Seharusnya cakada yang terjerat praktik kotor itu tidak boleh maju dalam pemilihan umum.
“Karena itu negara kita tidak pernah beres sampai saat ini," tutur Lucius.
Sebanyak 36 daerah yang berpotensi melahirkan calon tunggal. Fenomena itu tersebar di 30 tingkat pemilihan bupati dan enam tingkat pemilihan wali kota.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((ADN))