Jakarta: Teknis penyelenggaraan debat publik kandidat pemilihan umum (
pemilu) dikritik. Sebanyak tiga poin dianggap penting untuk dibenahi.
"Kalau saya mengatakan tiga sesat pikir debat politik pemilu di Indonesia pada saat ini," kata pakar komunikasi politik dari Universitas Moestopo Beragama Effendi Gazali dalam Webminar Debat Terbuka antar Pasangan Calon dan Iklan Kampanye pada Pemilihan Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam COVID-19, Jumat, 6 November 2020.
Pertama, debat publik selalu diselenggarakan dengan meriah. Kemeriahan ini ditandai dengan kehadiran pendukung dalam jumlah banyak di lokasi debat.
Kehadiran pendukung dikhawatirkan mengganggu netralitas penyelenggara dan moderator. "Seakan-akan kalau ada apa-apa dia akan berhadapan dengan massa pendukung," ungkap dia.
Effendi mengaku penyelenggaraan debat publik di tengah pandemi covid-19 mengembalikan muruah debat publik. Sehingga, fokus seluruh pihak tertuju pada debat publik tersebut.
"Tidak perlu lagi ada massa pendukung di dalam gedung itu justru kita konsentrasi pada debat itu sendiri," sebut dia.
Kritik kedua yakni terkait jeda iklan. Dia menyebut hanya Indonesia yang memberikan durasi iklan komersil pada debat publik
pemilihan umum.
"Coba tunjukkan kepada saya negara maju mana yang debat politiknya diselingi iklan," kata dia.
Effendi mengaku kecewa dengan adanya iklan komersil tersebut. Penyelenggara dianggap menggadaikan kehormatan upaya mencari pemimpin kepada kapitalisme.
Kritik terakhir debat publik politik di Indonesia yaitu adanya bocoran materi atau pertanyaan yang diberikan kepada para kandidat. Menurutnya, berbagai alasan memberitahukan materi tidak dapat diterima.
"Kalau tidak mampu menjawab pertanyaan jangan maju sebagai calon presiden sebagai calon kepala daerah," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((ADN))