Keempat term tersebut menjadi domain komunikasi Islam. Apa pun bentuk komunikasinya, ketika mengatasnamakan Islam, hendaknya tidak keluar dari keempat ranah tersebut.
Dalam konteks media massa pun, berlaku empat ketentuan ini. Apa pun bentuk medianya, baik yang tradisional, konvensional, hingga modern. Media massa tradisional bisa meliputi pesantren, madrasah, hingga masjid. Media massa konvensional meliputi majalah, buku, koran, radio televisi, dan film. Dan media massa modern seperti media digital dan internet dengan segala fungsi dan variannya.
Ketiga bentuk media massa itu merupakan pengembangan dari teknologi komunikasi dengan berbagai fitur dan aplikasinya. Maka, arah media massa Islam dapat dilihat dalam alur sebagai berikut: Ajaran Islam → Semua Media (tradisional, konvensional, dan modern) → Dakwah, Tablig, Amar Makruf Nahi Mungkar, dan Akhlak → Umat sebagai Sasaran. Dari rumusan di atas, maka penyelenggara media adalah lembaga dakwah, ormas, dan lembaga pendidikan Islam. Tujuannya tak lain adalah untuk berdakwah. Pemiliknya muslim, kontennya sesuai dengan ajaran Islam, audiensnya masyarakat muslim secara khusus dan khalayak umum secara lebih luas, serta pembiayaan bisa dari iklan atau dari zakat dan infak sebagai sponsor kegiatan dakwah. Dalam konteks ini khalayak sasaran dipandang sebagai sasaran pembinaan.
Film produksi santri
Tiga tahun lalu (30 Maret 2019), pada Halaqah VII Komite Khitthah 1926 Nahdlatul Ulama (KK26NU) di Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta, penulis berbincang dengan santri senior Tebuireng yang mendampingi Gus Solah (Salahuddin Wahid). Santri tersebut bercerita tentang film yang sedang digarap oleh PP Tebuireng bersama dengan Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) PP Muhammadiyah.Santri itu bercerita, untuk menggalang persatuan, Gus Solah ingin membuat film yang menyajikan titik-titik kesamaan antara dua tokoh ulama pendiri NU dan Muhammadiyah. Tujuannya, agar bangsa Indonesia ini tidak terbelah dan melahirkan perpecahan. Selanjutnya, santri itu mengatakan bahwa para pemain dari film tersebut terdiri atas para santri dan ustaz dari Pondok Pesantren Tebuireng.
Mendengar cerita itu, penulis bersemangat. Hal ini merupakan sebuah usaha luar biasa dalam konteks kebangsaan dan perfilman. Hanya, dalam hati bergumam; kalau pemerannya para santri apa bisa bagus dan representatif? Apa akan ada penontonnya? Karena kita tahu bahwa masyarakat kita pada umumnya agak kurang menyukai film-film sejarah.
Berkaca pada film Cut Nyak Dien
Kasus film Tjoet Nja Dhien (Cut Nyak Dien) garapan Eros Djarot pada 1988 bisa menjadi contoh. Pada sebuah diskusi di IAIN Jakarta, Cristine Hakim (pemeran Cut Nyak Dien) mengatakan masyarakat kita kurang menyukai film-film yang berkualitas.Penulis khawatir, film sejarah garapan santri ini pun akan sama nasibnya seperti Tjoet Nja Dhien. Akankah film yang diberi judul Jejak Langkah 2 Ulama itu akan kering penonton? Pertanyaan itu kemudian terjawab belakangan ini.
Film yang ditunggu-tunggu untuk ditonton itu akhirnya rampung. Jejak Langkah 2 Ulama dirilis 17 April 2021 setelah terhambat oleh pandemi covid-19. Kini film garapan Sutradara Sigit Ariansyah itu sudah bisa ditonton khalayak.
Film ini ternyata mendapat sambutan luar biasa dari berbagai kalangan. Mulai dari presiden, para menteri, hingga pejabat merasa perlu menonton film tersebut. Ini juga menunjukkan bahwa dugaan penulis saat itu meleset.
Untuk memenuhi rasa penasaran di satu sisi dan memberikan edukasi kepada para santri di sisi lain, akhirnya kita adakan nonton bareng (nobar) film Jejak Langkah 2 Ulama di pesantren. Pesantren kita senantiasa memutar film untuk santri sedikitnya satu judul dalam satu semester.
Film-film yang dinilai berkualitas baru kita bolehkan tayang, setelah di-review tentu saja. Dengan harapan pemutaran film tersebut bisa menjadi hiburan sekaligus edukasi. Para santri diharapkan bisa mengetahui tontonan apa, siapa, tentang apa, dan pelajarannya apa?
Waktu menonton mengambil jadwal muhadoroh--latihan pidato bahasa Inggris. Jadi, sebelum pemutaran film dimulai, penulis sampaikan bahwa ini acara muhadoroh, dan pembicaranya adalah film. Sebuah film yang mengangkat sisi kehidupan dua tokoh besar yang luput dari konten dua film sebelumnya, yakni Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013). Film ini sebagai pelengkap informasi historis dari kedua film tersebut.
Usai pemutaran film, beberapa santri diminta mengambil kesimpulan atau pelajaran. Di luar dugaan, seorang santri menyampaikan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah itu merupakan organisasi perjuangan. Keduanya tidak usah dipertentangkan satu sama lain.
Sampai di sini terlihat bahwa “pesan” dari film ini sudah tersampaikan. Bahkan bisa dipahami oleh anak usia belasan.
Keistimewaan Jejak Langkah 2 Ulama
Keistimewaan Jejak Langkah 2 Ulama itu mampu menguak informasi yang dalam buku sejarah sering kali disajikan secara parsial dan tidak terkoneksi dengan informasi tokoh-tokoh semasanya. Salah satu contohnya adalah saat menceritakan sosok Kartini.Sebagai pahlawan nasional, kebanyakan kita hanya tahu bahwa Kartini adalah sosok perempuan yang rajin menulis surat-surat dan dikirimkan kepada rekan-rekannya di Belanda. Surat itu sebagian besar berisi cita-cita beliau.
Surat-surat Kartini diterbitkan di negeri Belanda pada 1911 oleh Mr JH Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht. Lantas, diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Film Jejak Langkah 2 Ulama ternyata mampu menghadirkan informasi lain mengenai sosok Kartini. Surat-surat yang dibuat Kartini ternyata terinspirasi dari Surat Al-Baqarah ayat 257.
Film ini menginformasikan kebersamaan para tokoh pahlawan tersebut dalam satu guru dan hidup semasa antara Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, dan Kartini. Ini informasi mahal dalam menggambarkan perjuangan kebangsaan dan pendidikan.
Keistimewaan lain dapat ditemukan saat tokoh Basyir mengadukan masalah yang ada di Kauman kepada Hasyim Asyari. Beliau menyatakan bahwa di Kauman ada ajaran sesat. Melakukan perubahan arah kiblat serta mengajari anak-anak perempuan untuk belajar.

Santri nonton bareng film Jejak Langkah 2 Ulama. Foto: Dok Pesantren Al-Ikhlash
Ini pesan yang sangat luar biasa yang tersampaikan dalam dialog antara Hasyim Asyari dan Basyir dan patut diketahui oleh khalayak umum. Melalui dua visualisasi ini saja sang sutradara sudah mampu menemukan titik-titik persatuan para tokoh terdahulu. Belum lagi dipungkasi oleh semangat perang melawan penjajah pasca-Resolusi Jihad yang disambut oleh santri dari kedua tokoh tersebut.
Dalam wawancaranya dengan sutradara Sigit, Neno Warisman (pemeran Sayekti dalam film Sayekti dan Hanafi 1988) mengusulkan akronim JL2U untuk memopulerkan film Jejak Langkah 2 Ulama kepada generasi Z.
Akronim itu akan lebih analitik lagi kalau dibaca dengan Jey El To Yu (Jump the Line Toward Unity) atau diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Meloncati Garis Menuju Persatuan. Sesuai dengan temuan, kreasi, dan target dari film tersebut.[]